Sejarah Pemberlakuan Hukum Keluarga di Pakistan.
http://syariahalauddin.wordpress.com/2011/10/17/sejarah-pemberlakuan-hukum-keluarga-di-pakistan/
Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta Jiwa merupakan Negara Muslim terbesar kedua di dunia. Negara ini dihuni oleh beragam kelompok etnis yang berbeda, yang seluruhnya hidup berdampingan secara damai di bawah panji Agama yang beragam pula. Islam tercatat sebagai Agama terbesar yang dianut oleh 97% jumlah penduduk Pakistan. Sementara Agama lain seperti Kristen, Hindu dan lainnya, hidup secara damai di Negara yang berbatasan dengan Iran di Barat, Afganistan di Barat Laut, di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut.
Negara yang beribukota Islamabad ini adalah bekas koloni Inggris ketika menjadi bagian dari wilayah India. Di mana penjajahan Inggris telah menghancurkan posisi politik tertinggi yang dimiliki umat Islam. Kehidupan pribumi, pedagang kecil, pengrajin dan kaum buruh sangat menderita. Tidak hanya kerugian dalam bidang ekonomi dan politik, kolonisasi ini juga mempunyai dampak dan kerugian yang lebih jauh pada budaya. Jadi dalam situasi ini Islam adalah Agama Negara sedangkan hukum Islam mengatur tingkah laku orang-orang yang beriman, namun secara konstitusional kelompok Agama lain juga diberi kebebasan untuk melaksanakan Agama mereka menurut kehendak mereka. Mayoritas Muslim di Pakistan adalah pengikut Mazhab Hanafi, hal ini lebih jelas lagi dalam praktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran mazhab tersebut.
Ragam Karakteristik Status Wali Nikah.
Hukum Keluarga Pakistan, The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961, pasal 8 tentang perkawinan anak menyebutkan bahwa usia minimal menikah bagi pria adalah 18 tahun dan wanita adalah 16 tahun. Dan barang siapa yang melanggar maka akan dikenai sanksi penjara beberapa bulan atau membayar denda sampai 1000 Rupee. Begitu juga dengan petugas pencatatan yang melanggar juga akan dikenai sanksi. Dengan adanya klausul ini maka sebenarnya perkawinan di Pakistan adalah bagi mereka perempuan yang sudah dewasa tanpa mengenal paksaan walaupun dalam akad masih dihantarkan oleh walinya.
1. Ragam Karakteristik Poligami
Pakistan dengan The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961 menetapkan boleh poligami dengan izin terlebih dahulu dari Pengadilan (Arbitration Council). Sementara bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda. Secara histories, jauh sebelum pemisahan India-Pakistan pada tahun 1947, poligami sudah menjadi budaya dan tradisi umum yang banyak dipraktekkan oleh umat Islam saat itu.di Pakistan malah diatur dalam Ordonansi tentang hukum keluarga Pakistan tahun 1961. peraturan poligami yang tercantum dalam pasal 6 tersebut menyatakan :
Selama masih terikat perkawinan, tidak seorang lelakipun yang boleh melakukan perkawinan dengan orang lain kecuali ia telah mendapat izin tertulis dari Dewan Arbitrase.
Permohonan izin akan diserahkan kepada ketua dengan cara yang ditentukan sekaligus dengan biaya yang ditetapkan dan melampirkan alasan-alasan untuk mengajukan perkawinan dengan menerangkan apakah izin tertulis dari istri atau istrinya telah membolehkan.
Dalam hal penerimaan permohonan ketua akan meminta pemohon dan istri atau istri-istrinya yang sah untuk mengajukan wakil masing-masing dan Dewan Arbitrase akan memberikan izin poligami apabila dewan memandang perkawinan tersebut perlu dan adil sesuai dengan pertimbangan kesehatan.
Dalam memutuskan permohonan tersebut Dewan Arbitrase mencatat alasan terhadap putusan tersebut dan pihak pemohon boleh melebihkan surat permohonan untuk revisi surat keterangan tersebut dan menyerahkannya kepada kolektor dan putusannya akan berlaku serta tidak akan dipertanyakan lagi di Pengadilan.
Seseorang yang melakukan perkawinan yang lain tanpa izin dari Dewan arbitrase (a) akan membayar seluruh mahar dengan segera kepada istri atau istri-istrinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa, (b) dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal 5000 Rupee atau kedua-duanya.
Dalam pasal ini poligami dapat dilakukan dengan syarat diperlakukan izin tertulis dari dewan arbitrase (Hakim) sebelum seseorang dapat menikahi istri kedua. Izin tersebut hanya dapat diberikan bila Dewan Arbitrase itu yakin bahwa perkawinan yang diajukan itu memang diperlukan dan benar. Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuan dari istri terdahulu kecuali kalau dia sakit ingatan, cacat jasmani atau mandul.
Walau bagaimanapun juga izin dewan hakim harus didapatkan sebelum melangsungkan perkawinan kedua. Orang yang melanggarnya dapat dihukum penjara paling lama satu tahun atau membayar denda sampai 5000 Rupee atau bahkan keduanya sekaligus. Bila maharnya ditunda, dia tetap harus membayarnya dengan semestinya sedangkan istri yang ada berhak menuntut cerai. Selain semua pembatasan ini, jika telah dijalin perkawinan kedua tanpa izin dewan, maka perkawinan tersebut dapat dianggap batal secara hukum.
Pada hakikatnya, ketentuan yang diperkuat ini merupakan upaya untuk mengurangi atau membatasi praktek poligami beserta implikasi negatif yang ditimbulkannya, terutama ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
2. Argumentasi Pemberlakuan Hukum Wali Nikah dan Poligami
Adapun tentang argumentasi status wali nikah ternyata merupakan usaha keberanjakan dari konsep fikih mazhab. Di mana pada negeri Pakistan yang nota bene masyarakatnya menganut mazhab Hanafi ternyata secara lebih ketat mengharuskan wali nikah dalam prosesi perkawinan, ini tidak terlepas dari ketentuan siyasah syar’iyyah yang ia terapkan.
Undang-undang poligami di Pakistan merupakan personifikasi di antara enam model penafsiran yang berkembang, yakni pertama menekankan ketentuan berlaku adil sebagaimana ditetapkan dalam Al Qur’an, kedua memberi hak kepada istri untuk menyertakan pernyataan anti poligami dalam surat perjanjian perkawinan. Ketiga harus memperoleh izin lembaga peradilan. Keempat hak menjelaskan dan mengontrol dari lembaga perkawinan kepada pihak yang akan berpoligami. Kelima benar-benar melarang poligami. Dan keenam memberi sangsi pidana bagi yang melanggar aturan poligami.
Dari beberapa argumentasi di atas, UU Negara tersebut sekali lagi masih mendasarkan secara normatif terhadap teks-teks Al Qur’an walaupun dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang, kedua mendasarkan pada siyasah syar’iyyah berupa adanya sanksi denda dan pidana bagi mereka yang melanggar atau persyaratan administratif izin poligami dengan persetujuan istri sebelumnya dan anutan mazhab masyarakat yang terus diikuti sebagaimana dalam kasus wali nikah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar