Kamis, 15 Maret 2012

Jordania Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga


JORDANIA
Oleh SUGIRI PERMANA
Jordania merupakan negara yang baru diakui kemerdekaannya pada tahun 1946, sebelumnya masih bernama Transyordania dan sebutan negara diganti menjadi Yordania di tahun 1949. Sebelum merdeka, Jordania merupakan bagian dari territorial kerajaan Otoman, yang akhirnya berakhir setelah perang dunia satu, wilayah bagian ini sempat menjadi suatu wilayah kontrol dari Perancis dan Inggris dimana bagian wilayah dari sungai Jordan ke arah Timur berada di bawah kontrol Inggris sampai ke wilayah Palestina di bagian Barat sungai Jordan.[1]
Sebagaimana negara-negara Arab lainnya, berdirinya negara Yordania yang dikenal dengan sebutan al-Mamlakah al-Urdunniyah al-Hashimiyah (al-Urdun) tidak lepas dari politik penjajahan imperialis Barat di Timur Tengah pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Sama seperti Saudi, Irak dan negeri-negeri Arab lainnya, Kerajaan Yordania merupakan bentukan penjajah Inggris yang memberontak terhadap Khilafah Islam yang berpusat di Turki. Tidak aneh jika penguasa Yordan kemudian menjadi penguasa yang tunduk pada kepentingan penjajah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat.[2]
Pasca Perang Dunia I, Yordania, yang sebelumnya dikenal dengan Trans Yordania, merupakan bagian dari Kerajaan Arab Suriah. Inggris dan Prancis kemudian bersepakat untuk saling membagi daerah ini. Suriah berada di bawah pengaruh Perancis, sementara Inggris mendapat bagian Trans-Yordania berdasarkan konferensi di San Remo. Inggris kemudian mengangkat Abdullah ibn Hussein sebagai pemimpin wilayah Trans-Yordania. Abdullah sendiri adalah saudara dari Faisal yang memimpin Revolusi Arab untuk memberontak dari Kekhilafahan Islam. Faisal berasal dari keluarga Hashemite (Hasyimiyah). Ia pernah menjadi penguasa di Makkah namun kemudian diganti oleh penduduk setempat. Jadi, sejarah pembentukan negara Yordania tidak bisa dilepaskan dari keluarga Hashemite dengan bantuan Inggris.
Abdullah menjadi pemimpin Trans-Yordania setelah ditunjuk oleh sekretari kolonial Inggris saat itu, Winston Churchill. Dia dikukuhkan pada 1 April 1921 dengan subsidi dari Inggris sebesar 5.000 poundterling setiap bulan. Negeri ini hidup di bawah bantuan Inggris yang memberikan subsidi 100.000
pounsterling setiap tahun pada tahun 1920-an dan meningkat menjadi 200.000 pounsterling pada tahun 1940-an. Inggris kemudian memberikan hadiah kemerdekaannya kepada Yordania pada 22 Maret 1946. Namun jelas, pemberian kemerdekaan ini hanyalah „akal-akalan Inggris saja untuk tetap mempertahankan penjajahannya di Dunia Islam. Inggris tentu ingin agar penguasaannya di Yordania tetap ada. Karena itu, berdasarkan perjanjian aliansi di London tanggal 26 Maret 1946, Inggris memberikan kemerdekaan dengan pola yang sama dengan perjanjian Inggris-Irak. Melalui perjanjian ini, Inggris mengakui kemerdekaan Trans-Yordania (Yordania), menyetujui perwakilan diplomatik, sanggup memberikan subsidi kepada Legiun Arab, dan berusaha mempertahankan Emirat dari pihak luar. Sebagai imbalannya, Inggris berhak menempatkan tentaranya di wilayah Trans-Yordania, menggunakan fasilitas komunikasinya, dan melatih angkatan perang Abdullah. Kedua negara setuju dengan „konsultasi penuh dan terbuka dalam segala urusan politik luar negeri yang bisa mempengaruhi kepentingan bersama mereka.

Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Jordania
Di wilayah Jordania sebenarnya sudah berlaku mengenai hukum keluarga sejak tahun 1917 yaitu berdasarkan mazhab Hanafi yang ditetapkan di Kerajaan Turki Usmani yang dikenal dengan The Turkish Ottoman Law of Family Rigt 1917. Pada tahun 1951, pemerintah (lembaga Legislatif) Jordania mengganti undang-undang tersebut dengan hukum yang baru yang dikenal dengan al Qanun al huquq al-‘Aila (the law of Family Rigt).
Undang-Undang ini telah diamandemen pada tahun 1976 The Code of Personal Status 1976 dan amandemennya UU Nomor 25 tahun 1977.[3] Ketentuan wali dijelaskan pada Pasal 9 hingga Pasal 13. Wali dalam pernikahan adalah urutan ashobah binafsihi dalam urutan waris menurut mazhab Hanafi.[4] Seorang wali haruslah berakal, baligh dan seorang muslim. Apabila kedudukan wali berada pada beberapa orang yang sama derajatnya, kerelaan seorang wali diantara para wali akan menggugurkan hak lainnya. Jika ternyata wali aqrob tidak ada, demi kemaslahatan urutan wali tersebut berpindah pada wali berikutnya. Tidak dipersyaratkan adanya kesesuaian kehendak antara wali dengan janda yang berusia 18 tahun atau lebih.
Hukum keluarga Jordania juga membahas mengenai wali adlol pada pasal 6. Ketentuan wali juga berhubungan dengan usia pernikahan. Wali adhol ditetapkan oleh hakim apabila ternyata walinya enggan menikahkan anaknya. Dalam hal tidak ada wali ayah dan kakek, penetapan wali adlol dapat dilakukan sampai batas usia 15 tahun, akan tetapi apabila ada wali ayah atau kakek, wali adlol baru dapat dipertimbangkan apabila usia calon mempelai 18 tahun. Kedudukan wali dalam pernikahan dapat saja diabaikan terhadap janda yang berusi 18 tahun atau lebih.
Apabila diteliti pasal demi pasal yang berkaitan dengan wali, terdapat ambiguitas mengenai kedudukan wali tersebut. Pasal 14 dan 16 hanya mengharuskan sahnya sebuah pernikahan dengan adanya ijab qabul yang disertai dua orang saksi. Seorang wali nikah menjadi penting bagi peremuan (gadis maupun janda) apabila berusia kurang dari 18 tahun, sehingga apabila perempuan tersebut lebih dari usia 18 tahun ia dapat menikahkan dirinya sendiri. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 22 menyebutkan bahwa, ….seorang gadis atau janda yang berusia 18 tahun dan tidak ada walinya, kemudian ia menikahkan dirinya…. Dengan demikian, kedudukan wali bukan menjadi suatu keharusan dalam akad nikah.
Meskipun wali bukan satu kewajiban dalam pernikahan, dalam beberapa hal, kedudukan wali menjadi penting, yaitu :
1. Seorang wali (juga pihak istri) dapat mengajukan fasakh nikah, dalam hal seorang wali menikahkan anaknya (gadis/janda) dengan seseorang yang telah diketahuinya dan dipersyaratkan adanya sekufu dalam pernikahan, namun kemudian ternyata si suami tidak sekufu (pasal 21). Sebaliknya apabila tidak dipersyaratkan sekufu dalam akad, maka ketidak tahuan tidak sekufunya tersebut tidak memberikan hak bagi wali ataupun pihak istri untuk mengajukan fasakh nikah.
2. Seorang wali dapat mengajukan pembatalan fasakh nikah, apabila ternyata anaknya (gadis ataupun janda) yang menikahkan dirinya kepada seorang lelaki yang tidak sekufu. Penilaiannya terletak pada kufu, bukan pada besarnya mahar, karena meskipun maharnya bukan mahar mitsil akan tetapi masih sekufu, wali tidak dapat mengajukan fasakh nikah (pasal 22). Hakim akan mengabulkan permohonan fasakh tersebut apabila si istri tidak ternyata dalam keadaan hamil (Pasal 23). Penilaian kafaah dilihat pada saat akad nikah yakni kemampuan untuk membayar mahar kontan serta kemampuan untuk membiayai kehidupan bersama istrinya.
3. Kedudukan wali yang bukan haknya untuk menikahkan menyebabkan pernikahannya menjadi fasid.

Yang menjadi wali nikah adalah ayah dan kakek serta laki-laki dalam garis ashobah binafsihi. Seseorang dapat menjadi wali setelah diketahui bahwa dia adalah mukallaf. Meskipun Jordan mayoritas bermazhab Hanafi, namun hukum keluarga Jordan menganggap penting posisi wali dalam pernikahan padahal dalam mazhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban dalam melakukan pernikahan.[5] Terlepas dari usaha penghargaan terhadap kualifikasi perempuan di depan hukum, dengan berpedoman pada mazhab Hanafi Jordania selangkah lebih maju dalam menempatkan perempuan untuk melakukan pernikahan. Bagi seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun atau lebih (tingkat kedewasaan perempuan), ia dapat menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki yang ia pilih. Adanya kewenangan orang tua/wali dalam pernikahan bagi perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun, menunjukkan adanya tanggung jawab orang tua bagi anaknya yang belum dewasa.


[1] Potensi Jordania Menjadi Negara Adi Daya, http://jokoyordania.wordpress.com/potensi-yordania-menjadi-negara-adidaya/
[2] http://farid1924.wordpress.com/2008/03/05/yordania/
[3] Tahir Mahmood, Family law Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 73-76 Oleh karena landasan walinya berdasarkan hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah, ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandaung dan saudara seayah. Apabila anak dari wali dan ayahnya ada, yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya (saudara dari perempuan/mempelai istri), lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul Ahwal al Syakhsiyyah fii Syari’ati al Islamiyah, Kuwait: Darul Qolam, 1990, hal. 60
[4] Oleh karena landasan walinya berdasarkan hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah, ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandaung dan saudara seayah. Apabila anak dari wali dan ayahnya ada, yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya (saudara dari perempuan/mempelai istri), lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul Ahwal al Syakhsiyyah fii Syari’ati al Islamiyah, Kuwait: Darul Qolam, 1990, hal. 60
[5] Hukum keluarga dalam mazhab Hanafi tidak memasukan wali sebagai rukun pernikahan, karena ijab dapat dilakukan mempelai istri atau wakilnya, atau oleh wali, lihat Abdu al Wahha>b Khala>f, Ahka>m al ahwa>l al syakhsiyyah ‘ala wafqi maz\habi Abi> Hani>fah wama al ‘amal fil al muha>kam, (Kuwait: Da>r al Qolam, 1990), hal. 22. Jumhur ulama berpendapat bahwa wali menjadi syarat dalam pernikahan, seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya kecuali mazhab Abu Hanifah dan Abu Yusuf, bahwa perempuan yang baligh dan berakal dapat menikahkan dirinya, lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, (Mesir: al Fath li al ‘llamil ‘Arab, tanpa tahun), hal. 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar