JORDANIA
Oleh SUGIRI PERMANA
Oleh SUGIRI PERMANA
Jordania merupakan negara yang baru diakui
kemerdekaannya pada tahun 1946, sebelumnya masih bernama Transyordania dan
sebutan negara diganti menjadi Yordania di tahun 1949. Sebelum merdeka,
Jordania merupakan bagian dari territorial kerajaan Otoman, yang akhirnya
berakhir setelah perang dunia satu, wilayah bagian ini sempat menjadi suatu
wilayah kontrol dari Perancis dan Inggris dimana bagian wilayah dari sungai
Jordan ke arah Timur berada di bawah kontrol Inggris sampai ke wilayah Palestina
di bagian Barat sungai Jordan.[1]
Sebagaimana negara-negara Arab lainnya,
berdirinya negara Yordania yang dikenal dengan sebutan al-Mamlakah
al-Urdunniyah al-Hashimiyah (al-Urdun) tidak lepas dari politik penjajahan
imperialis Barat di Timur Tengah pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Sama seperti
Saudi, Irak dan negeri-negeri Arab lainnya, Kerajaan Yordania merupakan
bentukan penjajah Inggris yang memberontak terhadap Khilafah Islam yang
berpusat di Turki. Tidak aneh jika penguasa Yordan kemudian menjadi penguasa
yang tunduk pada kepentingan penjajah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang merugikan umat.[2]
Pasca Perang Dunia I,
Yordania, yang sebelumnya dikenal dengan Trans Yordania, merupakan bagian dari
Kerajaan Arab Suriah. Inggris dan Prancis kemudian bersepakat untuk saling
membagi daerah ini. Suriah berada di bawah pengaruh Perancis, sementara Inggris
mendapat bagian Trans-Yordania berdasarkan konferensi di San Remo. Inggris
kemudian mengangkat Abdullah ibn Hussein sebagai pemimpin wilayah
Trans-Yordania. Abdullah sendiri adalah saudara dari Faisal yang memimpin
Revolusi Arab untuk memberontak dari Kekhilafahan Islam. Faisal berasal dari
keluarga Hashemite (Hasyimiyah). Ia pernah menjadi penguasa di Makkah namun
kemudian diganti oleh penduduk setempat. Jadi, sejarah pembentukan negara
Yordania tidak bisa dilepaskan dari keluarga Hashemite dengan bantuan Inggris.
Abdullah menjadi pemimpin Trans-Yordania
setelah ditunjuk oleh sekretari kolonial Inggris saat itu, Winston Churchill.
Dia dikukuhkan pada 1 April 1921 dengan subsidi dari Inggris sebesar 5.000
poundterling setiap bulan. Negeri ini hidup di bawah bantuan Inggris yang
memberikan subsidi 100.000
pounsterling setiap tahun pada tahun
1920-an dan meningkat menjadi 200.000 pounsterling pada tahun 1940-an. Inggris
kemudian memberikan hadiah kemerdekaannya kepada Yordania pada 22 Maret 1946.
Namun jelas, pemberian kemerdekaan ini hanyalah „akal-akalan‟ Inggris saja untuk tetap mempertahankan
penjajahannya di Dunia Islam. Inggris tentu ingin agar penguasaannya di
Yordania tetap ada. Karena itu, berdasarkan perjanjian aliansi di London
tanggal 26 Maret 1946, Inggris memberikan kemerdekaan dengan pola yang sama
dengan perjanjian Inggris-Irak. Melalui perjanjian ini, Inggris mengakui
kemerdekaan Trans-Yordania (Yordania), menyetujui perwakilan diplomatik,
sanggup memberikan subsidi kepada Legiun Arab, dan berusaha mempertahankan
Emirat dari pihak luar. Sebagai imbalannya, Inggris berhak menempatkan
tentaranya di wilayah Trans-Yordania, menggunakan fasilitas komunikasinya, dan
melatih angkatan perang Abdullah. Kedua negara setuju dengan „konsultasi penuh dan terbuka‟ dalam segala urusan politik luar negeri
yang bisa mempengaruhi kepentingan bersama mereka.
Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Jordania
Di wilayah Jordania
sebenarnya sudah berlaku mengenai hukum keluarga sejak tahun 1917 yaitu
berdasarkan mazhab Hanafi yang ditetapkan di Kerajaan Turki Usmani yang dikenal
dengan The Turkish Ottoman Law of Family Rigt 1917. Pada tahun 1951,
pemerintah (lembaga Legislatif) Jordania mengganti undang-undang tersebut
dengan hukum yang baru yang dikenal dengan al Qanun al huquq al-‘Aila (the
law of Family Rigt).
Undang-Undang ini telah
diamandemen pada tahun 1976 The Code of Personal Status 1976 dan amandemennya
UU Nomor 25 tahun 1977.[3] Ketentuan
wali dijelaskan pada Pasal 9 hingga Pasal 13. Wali dalam pernikahan adalah
urutan ashobah binafsihi dalam urutan waris menurut mazhab Hanafi.[4] Seorang wali
haruslah berakal, baligh dan seorang muslim. Apabila kedudukan wali berada pada
beberapa orang yang sama derajatnya, kerelaan seorang wali diantara para wali
akan menggugurkan hak lainnya. Jika ternyata wali aqrob tidak ada, demi
kemaslahatan urutan wali tersebut berpindah pada wali berikutnya. Tidak
dipersyaratkan adanya kesesuaian kehendak antara wali dengan janda yang berusia
18 tahun atau lebih.
Hukum keluarga Jordania juga membahas
mengenai wali adlol pada pasal 6. Ketentuan wali juga berhubungan dengan usia
pernikahan. Wali adhol ditetapkan oleh hakim apabila ternyata walinya enggan
menikahkan anaknya. Dalam hal tidak ada wali ayah dan kakek, penetapan wali
adlol dapat dilakukan sampai batas usia 15 tahun, akan tetapi apabila ada wali
ayah atau kakek, wali adlol baru dapat dipertimbangkan apabila usia calon
mempelai 18 tahun. Kedudukan wali dalam pernikahan dapat saja diabaikan
terhadap janda yang berusi 18 tahun atau lebih.
Apabila diteliti pasal demi pasal yang
berkaitan dengan wali, terdapat ambiguitas mengenai kedudukan wali tersebut.
Pasal 14 dan 16 hanya mengharuskan sahnya sebuah pernikahan dengan adanya ijab
qabul yang disertai dua orang saksi. Seorang wali nikah menjadi penting bagi
peremuan (gadis maupun janda) apabila berusia kurang dari 18 tahun, sehingga
apabila perempuan tersebut lebih dari usia 18 tahun ia dapat menikahkan dirinya
sendiri. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 22 menyebutkan bahwa, ….seorang
gadis atau janda yang berusia 18 tahun dan tidak ada walinya, kemudian ia
menikahkan dirinya…. Dengan demikian, kedudukan wali bukan menjadi suatu
keharusan dalam akad nikah.
Meskipun wali bukan satu kewajiban dalam
pernikahan, dalam beberapa hal, kedudukan wali menjadi penting, yaitu :
1. Seorang wali
(juga pihak istri) dapat mengajukan fasakh nikah, dalam hal seorang wali
menikahkan anaknya (gadis/janda) dengan seseorang yang telah diketahuinya dan
dipersyaratkan adanya sekufu dalam pernikahan, namun kemudian ternyata si suami
tidak sekufu (pasal 21). Sebaliknya apabila tidak dipersyaratkan sekufu dalam
akad, maka ketidak tahuan tidak sekufunya tersebut tidak memberikan hak bagi
wali ataupun pihak istri untuk mengajukan fasakh nikah.
2. Seorang wali
dapat mengajukan pembatalan fasakh nikah, apabila ternyata anaknya
(gadis ataupun janda) yang menikahkan dirinya kepada seorang lelaki yang tidak
sekufu. Penilaiannya terletak pada kufu, bukan pada besarnya mahar,
karena meskipun maharnya bukan mahar mitsil akan tetapi masih sekufu, wali
tidak dapat mengajukan fasakh nikah (pasal 22). Hakim akan mengabulkan
permohonan fasakh tersebut apabila si istri tidak ternyata dalam keadaan hamil
(Pasal 23). Penilaian kafaah dilihat pada saat akad nikah yakni kemampuan
untuk membayar mahar kontan serta kemampuan untuk membiayai kehidupan bersama
istrinya.
3. Kedudukan
wali yang bukan haknya untuk menikahkan menyebabkan pernikahannya menjadi
fasid.
Yang menjadi wali nikah adalah ayah dan
kakek serta laki-laki dalam garis ashobah binafsihi. Seseorang dapat menjadi
wali setelah diketahui bahwa dia adalah mukallaf. Meskipun Jordan mayoritas
bermazhab Hanafi, namun hukum keluarga Jordan menganggap penting posisi wali
dalam pernikahan padahal dalam mazhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban dalam
melakukan pernikahan.[5] Terlepas
dari usaha penghargaan terhadap kualifikasi perempuan di depan hukum, dengan
berpedoman pada mazhab Hanafi Jordania selangkah lebih maju dalam menempatkan
perempuan untuk melakukan pernikahan. Bagi seorang perempuan yang telah berusia
18 tahun atau lebih (tingkat kedewasaan perempuan), ia dapat menikahkan dirinya
sendiri dengan seorang laki-laki yang ia pilih. Adanya kewenangan orang
tua/wali dalam pernikahan bagi perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun,
menunjukkan adanya tanggung jawab orang tua bagi anaknya yang belum dewasa.
[1] Potensi Jordania Menjadi Negara Adi Daya,
http://jokoyordania.wordpress.com/potensi-yordania-menjadi-negara-adidaya/
[3] Tahir Mahmood, Family law
Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis (New
Delhi:Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 73-76 Oleh karena landasan
walinya berdasarkan hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki
hingga derajat ke bawah, ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandaung
dan saudara seayah. Apabila anak dari wali dan ayahnya ada,
yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya (saudara dari perempuan/mempelai
istri), lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul Ahwal al Syakhsiyyah fii
Syari’ati al Islamiyah, Kuwait: Darul Qolam, 1990, hal. 60
[4] Oleh karena landasan walinya berdasarkan
hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah,
ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandaung dan saudara seayah. Apabila anak
dari wali dan ayahnya ada, yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya
(saudara dari perempuan/mempelai istri), lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul
Ahwal al Syakhsiyyah fii Syari’ati al Islamiyah, Kuwait: Darul Qolam, 1990,
hal. 60
[5] Hukum keluarga dalam mazhab Hanafi tidak
memasukan wali sebagai rukun pernikahan, karena ijab dapat dilakukan mempelai
istri atau wakilnya, atau oleh wali, lihat Abdu al Wahha>b Khala>f, Ahka>m
al ahwa>l al syakhsiyyah ‘ala wafqi maz\habi Abi> Hani>fah wama al
‘amal fil al muha>kam, (Kuwait: Da>r al Qolam, 1990), hal. 22. Jumhur ulama
berpendapat bahwa wali menjadi syarat dalam pernikahan, seorang perempuan tidak
dapat menikahkan dirinya kecuali mazhab Abu Hanifah dan Abu Yusuf, bahwa
perempuan yang baligh dan berakal dapat menikahkan dirinya, lihat Sayyid Sabiq,
Fiqh Al Sunnah, (Mesir: al Fath li al ‘llamil ‘Arab, tanpa
tahun), hal. 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar