Sabtu, 10 Maret 2012

Hukum keluarga


Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian :
1.      Hukum perkawinan :
Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan.
2.      Hukum kekayaan
Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.
Didalam mempelajari Hukum Perkawinan ada beberapa asas yang harus diperhatikan.
I. Perkawinan didasarkan pada asas monogamy (pasal 27 BW).
Penegasan ini tercantum pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami.

II. Undang – undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal 26 BW).
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil.

III. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga.
Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang termuat di dalam buku III.

IV. Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh undang-undang.

Mengenai syarat-syarat perkawinan ada beberapa yang harus diindahkan. Syarat-syarat ini dibeda-bedakan antara :
a. Syarat materiil (syarat inti)
Syarat ini masih dapat diperinci lagi antara syarat materiil absolut dan syarat materil relatif.
Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya.
Syarat ini adalah sebagai berikut :
1.   Monogamy
2.   Persetujuan antara kedua calom suami istri
3.   Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal (pasal 29)
4.   Seoang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan (pasal 34)
5.   Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara orang (pasal 35-49)

Syarat materiil relatif adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan orang tertentu.
Ketentuan-ketentuan ini ada 2 macam :
1.   Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan.
2.   Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah melakukan perbuatan zinah.
3.   Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.

b. Syarat Formal
Ini dapat dibagi dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan itu sendiri.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan perkawinan adalah :
1. Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin
2. Pengumuman tentang maksud untuk kawin

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan diatur dalam pasal 71-82 yang antara lain menentukan :
1.      Calon suami istri harus memperlihatkan akta kelahirannya masing-masing.
2.      Akta yang memuat izin untuk perkawinan dari mereka yang harus memberi izin, atau akta dimana ternyata telah ada perantara dari pengadilan.
3.      Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau di dalam hal ketidak hadiran suami (istri) yang dahulu, turunan izin hakim untuk kawin.
4.      Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung, tanpa pencegahan.
5.      Dispensasi untuk kawin, di dalam hal dispensasi itu diperlukan
6.      Jika ada perselisihan pendapat antara Pegawai Catatan Sipil dan calon suami istri tentang soal lengkap atau tidaknya surat-surat yang diperlukan untuk kawin, maka hal ini dapat diajukan kepada pengadilan yang akan memberi keputusan tanpa banding.
(Diambil dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar