Hukum
keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum
yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan
tak hadir).
Kekeluargaan
sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang
mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan
karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan
antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Satu
bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan.
Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian :
1.
Hukum perkawinan :
Hukum
perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan dengan
suatu perkawinan.
2.
Hukum kekayaan
Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah
keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami
dan istri di dalam perkawinan.
Didalam mempelajari
Hukum Perkawinan ada beberapa asas yang harus diperhatikan.
I. Perkawinan didasarkan pada asas monogamy
(pasal 27 BW).
Penegasan
ini tercantum pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama
seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya
seorang suami.
II. Undang – undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungannya perdata (pasal 26 BW).
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil.
III.
Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan
di dalam bidang hukum keluarga.
Menurut
pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua
calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu
persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang
termuat di dalam buku III.
IV. Perkawinan supaya dianggap sah, harus
memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh undang-undang.
Mengenai
syarat-syarat perkawinan ada beberapa yang harus diindahkan. Syarat-syarat ini
dibeda-bedakan antara :
a. Syarat materiil (syarat inti)
Syarat
ini masih dapat diperinci lagi antara syarat materiil absolut dan syarat
materil relatif.
Syarat
materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang harus
diindahkan untuk perkawinan pada umumnya.
Syarat
ini adalah sebagai berikut :
1.
Monogamy
2.
Persetujuan antara kedua calom suami istri
3.
Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas
umur minimal (pasal 29)
4.
Seoang perempuan yang pernah kawin dan hendak
kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu
dibubarkan (pasal 34)
5.
Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara
orang (pasal 35-49)
Syarat
materiil relatif adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan
bagi seorang untuk kawin dengan orang tertentu.
Ketentuan-ketentuan
ini ada 2 macam :
1.
Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat
dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan.
2.
Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa
orang itu pernah melakukan perbuatan zinah.
3.
Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah
adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
b. Syarat Formal
Ini
dapat dibagi dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan
perkawinan, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya
perkawinan itu sendiri.
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan perkawinan adalah :
1.
Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin
2.
Pengumuman tentang maksud untuk kawin
Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya
perkawinan diatur dalam pasal 71-82 yang antara lain menentukan :
1.
Calon suami istri harus memperlihatkan akta
kelahirannya masing-masing.
2.
Akta yang memuat izin untuk perkawinan dari
mereka yang harus memberi izin, atau akta dimana ternyata telah ada perantara
dari pengadilan.
3.
Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus
diperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau di dalam hal ketidak hadiran
suami (istri) yang dahulu, turunan izin hakim untuk kawin.
4.
Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung,
tanpa pencegahan.
5.
Dispensasi untuk kawin, di dalam hal dispensasi
itu diperlukan
6.
Jika ada perselisihan pendapat antara Pegawai
Catatan Sipil dan calon suami istri tentang soal lengkap atau tidaknya
surat-surat yang diperlukan untuk kawin, maka hal ini dapat diajukan kepada
pengadilan yang akan memberi keputusan tanpa banding.
(Diambil
dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar