Pembaharuan Hukum Keluarga Yordania
http://syariahalauddin.wordpress.com/2011/10/17/pembahuruan-hukum-keluarga-yordania/
Reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania antara lain terkait dengan masalah usia menikah, janji pernikahan, perkawinan beda agama, pencatatan perkawinan, perceraian, dan wasiat wajibah. Mengenai usia pernikahan dinyatakan bahwa syarat usia perkawinan adalah 17 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Apabila perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mempunyai keinginan untuk menikah sementara walinya tidak mengizinkan tanpa alasan yang sah, maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar prinsip-prinsip kafaah dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan. Demikian juga apabila perempuan telah mencapai umur 18 tahun dan walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan dapat memberi izin pernikahan32. Sementara itu, janji untuk mengadakan pernikahan diatur pada pasal dua dan tiga undang-undang tahun 1951.
Pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa janji menikah tidak akan membawa akibat pada adanya pernikahan. Namun setelah adanya perjanjian, kemudian salah satunya meninggal atau perjanjian itu batal, maka beberapa hadiah pemberian sebelumnya dapat diambil kembali oleh pihak laki-laki. Mengenai pernikahan beda agama diatur dalam pasal 32 undang-undang 1976. Menurut pasal ini, perkawinan akan menjadi batal jika seorang wanita muslimah kawin dengan pria non-muslim. Begitu juga sebaliknya, perkawinan akan batal jika seorang pria muslim menikah dengan seorang wanita non- kitabiyah.
Mengenai ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam undang-undang 1976 pasal 17. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa mempelai pria berkewajiban untuk mendatangkan qaadi atau wakilnya dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana yang ditunjuk oleh qaadi mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka orang yang mengadakan upacara perkawinan, kedua mempelai, dan saksi- saksi dapat dikenakan hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar. Sedangkan mengenai perceraian (talaq) diatur dalam pasal 101 dan 134 undang-undang no. 25 tahun 1977. Menurut pasal-pasal ini, suami harus mencatatkan talaknya kepada hakim. Bila suami telah mentalak isterinya di luar pengadilan, dan ia tidak mencatatkannya dalam masa 15 hari, ia harus datang ke pengadilan syariah untuk mencatatkan talaknya.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat diancam dengan hukuman pidana di bawah ketentuan Hukum Pidana Yordania. Dan jika seorang suami telah mentalak isterinya secara sepihak tanpa ada alasan yang layak dibenarkan, maka isteri dapat mengajukan permohonan ganti rugi ke pengadilan.
Ganti rugi yang diberikan tidak boleh lebih dari nafkah selama setahun sebagai tambahan bagi nafkah iddah. Untuk pembayarannya suami dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur36. Selain itu, undang-udang No. 25 tahun 1977 juga mengatur kewenangan isteri untuk meminta cerai. Dalam pasal 114, 116, 123, dan 130 dijelaskan bahwa isteri memiliki kewenangan untuk meminta cerai dalam kondisi antara lain;
1) apabila suami menderita impotensi dan sakit yang dapat membahayakan isteri apabila mereka hidup bersama. Namun jika penyakit yang diderita suami (selain impotensi) sudah diketahui isteri sebelum perkawinan, maka isteri tidak punya hak meminta perceraian. Dalam hal penyakit kelamin atau lepra, harus ada pendapat ahli kedokteran. Bila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda selama setahun untuk memberi kesempatan penyembuhan.
2) suami meninggalkan isteri dalam jangka waktu satu tahun atau lebih tanpa alasan yang jelas, meskipun suami meninggalkan nafkah untuknya.
3) Suami divonis penjara selama tiga tahun, meski ia mempunyai harta yang cukup untuk menafkahi isterinya selama ia menjalani hukuman. Perkawinan bisa dibubarkan setahun setelah vonis dijatuhkan37. K
Khusus mengenai wasiat wajibah dijelaskan pada pasal 182 undang-undang 1976. Secara eksplisit pasal ini menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah meninggal terlebih dahulu, maka ada sebuah kewajiban wasiat kepada cucu-cucunya tidak lebih dari 1/3 harta warisan dengan ketentuan ;
1) wasiat wajibah untuk cucu-cucu ini harus sama bagiannya dengan yang semestinya diperoleh ayahnya bila dia masih hidup, tetapi tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan,
2) cucu-cucu ini tidak berhak mendapatkan harta wasiat jika mereka berkedudukan sebagai ahli waris dari ayah, kakek, atau nenek mereka, atau mereka telah diberi bagian oleh pewaris di bawah jumlah wasiat wajibah. Jika mereka telah menerima lebih dari jumlah wasiat wajibah tersebut, maka kelebihannya harus dianggap sebagai sebuah pemberian bebas. Dan jika pewaris telah memberikan bagian harta kepada sebagian cucu tersebut, maka cucu-cucu lain yang belum mendapatkan harus tetap diberi,
3) wasiat wajibah ini hanya diberikan kepada cucu dari anak laki-laki dari garis ayah dan seterusnya ke bawah dengan ketentuan dua bagian untuk cucu laki-laki, dan
4) wasiat wajibah ini harus diutamakan dari segala macam jenis pemberian dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar