KAJIAN FIQH DAN HUKUM KONTEMPORER ATAS
KEDUDUKAN WALI
Oleh SUGIRI PERMANA
Dalam pandangan mazhab
Maliki, Syafi‟i dan Hanbali,
wali merupakan syarat dalam pernikahan[1],
sehingga dianggap tidak sah apabila pernikahan tidak memakai wali.[2] Para
ulama sepakat mengenai kedudukan wali untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila
ataupun yang kurang kemampuan akalnya. Akan tetapi apabila anaknya sudah balig,
berakal Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Menurut Abu
Hanifah, bagi yang berakal, baligh apalagi statusnya janda ia berhak untuk
menikahkan dirinya sendiri. Jumhur ulama tetap dengan pendapatnya semula, yaitu
pernikahan akan sah jika adanya wali baik anak tersebut kecil, dewasa, balig
ataupun janda. Menurut mazhab Hanabilah, tetap harus ada izin (persetujuan)
baik janda ataupun gadis, sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi‟i persetujuan hanya untuk janda, apabila
masih gadis tidap perlu mendapat persetujuan dari anak tersebut meskipun adanya
persetujuan akan lebih baik bagi pernikahan yang akan dilangsungkan.[3]
Dalam pandangan Abu
Hanifah dan Abu Yusuf, meskipun izin wali tidak diperlukan dalam sebuah
pernikahan, wali mempunyai kewenangan apabila pernikahan yang dilangsungkan
oleh anaknya ternyata dilakukan dengan lelaki yang tidak sekufu. Perbedaan yang
cukup jauh antara pendapat Abu Hanifah dengan jumhur ulama, lebih karena
disebabkan metodologi dalam pengambilan hukum. Aqad nikah dalam mazhab
Hanafiyah dipersamakan dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup
ijab dan qabul, kedudukan wali hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri
yang masih kecil. Di sisi lain ulama Hanafiyah memandang tidak adanya ketentuan
yang tegas mengenai status wali baik dalam al Quran maupun hadits. Beberapa
hadits Rasulullah yang menjelaskan mar’ah tidak boleh menikahkan
sendiri, memberi makna sesuai lafadnya di mana mar’ah merupakan anak
kecil yang belum dewasa sehingga tidak sah apabila ia menikahkan dirinya.[4]
Di samping itu, dalam
ushul fiqh mazhab Hanafiyah, hanya menganggap sebagai suatu kewajiban (fardl)
ketika dalil yang ditetapkan berasa dari Al Quran ataupun hadits mutawatir dengan
penunjukkan hukum yang tegas.[5]
Dalil-dalil al Quran yang menjadi hujjah keharusan wali oleh ketiga Imam,
dipandang memberikan petunjuk secara langsung (z}onniy al dilalah)
sehingga tidak dapat diambil kesimpulan bahwa wali adalah satu keharusan dalam
sebuah pernikahan. Demikian halnya dengan hadits-hadits yang mengharuskan
adanya wali statusnya tidak termasuk dalam kelompok mutawatir. Penerapan hukum
keluarga pada negara Saudi Arabia, Jordania, Maroko dan Malaysia merupakan
cerminan dari ke empat mazhab sunni. Demikian halnya dengan penerapan kedudukan
wali dalam hukum perkawinan. Jordania merupakan negara hasil penetrasi Inggris
(dengan corak common law), namun dalam menerapkan hukum keluarga lebih
bersifat legalistik mengikuti Turki yang terpengaruh dengan sistem hukum
Prancis code cipil, di mana hukum terwujud dalam sebuah
perundang-undangan. Dengan latar belakang mazhab Hanafi, Jordania menerapkan
hukum keluarga dengan pengaruh yang kuat dari mazhab Hanafi. Diantara penegasan
mazhab Hanafi berkenaan dengan urutan wali dan hukum waris yang menisbahkan
langsung pada mazhab Hanafi.
Dalam pembahasan
mengenai wali nikah, hukum keluarga Jordania tidak mengharuskan wali pada
pengantin perempuan di atas usia 18 tahun. Wali mujbir ayah dan kakek hanya
sampai batas usia 18 tahun, sedangkan bagi selain ayah dan kakek hingga usia 15
tahun.[6] Seperti
halnya dalam mazhab Hanafii, wali dapat mengajukan pembatalan nikah apabila
anaknya menikah dengan lelaki yang tidak sekufu. Demikian pula dengan batasan
umur untuk menikahkan sendiri, Imam Abu Hanifah memberi batasan 18 tahun bagi
perempuan yang dapat menikahkan dirinya sendiri. Di Saudi Arabia dengan latar
belakang penduduknya yang bermazhab Hanbali, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dengan pelaksanaannya, karena hukum yang berlaku pun bersifat
tradisional (hukum adat dalam katagorisasi sistem hukum Indonesia) yakni
tidak dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Hukum diterapkan
merujuk pada Al Quran dan hadits dengan mengedepankan mazhab Hanbali dalam
penerapannya. Malaysia termasuk negara yang cenderung memegang teguh mazhab
yang selama ini berkembang di negaranya. Ketentuan mengenai perkawinan
cenderung menerapkan apa yang terdapat dalam mazhab Syafi‟i. Demikian halnya dengan ketentuan wali, menjadi satu
keharusan dalam pelaksanaan pernikahan. Ketentuan wali di dalam hukum keluarga
di Indonesia jauh lebih rinci bila dibandingkan dengan Malaysia yang sama-sama
mayoritas muslimnya bermazhab Syafi‟i. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali di bahas mengenai wali nasab dan wali
hakim. Wali nasab dijelaskan mengenai kedudukan dan golongannya secara rinci.
Demikian pula dengan status wali hakim yang dapat bertindak ketika wali nasab
tidak ada atau karena adlolnya wali. Perbedaan ini terjadi karena sistem administrasi
pernikahan di Malaysia dan Indonesia berbeda.
Di Malaysia pendaftaran
pernikahan dapat saja dilangsungkan setelah pernikahan tersebut dilakukan
sebelumnya. Sedangkan di Indonesia untuk melangsungkan pernikahan terlebih
dahulu harus didaftarkan minimal 10 hari sebelumnya dan pada saat akad nikah
harus dihadiri oleh pejabat Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karenanya pengaturan
wali nikah yang rinci merpakan pedoman bagi pegawai pencatat nikah dalam
memeriksa sebuah pendaftaran (rencana) pernikahan.
Pemberlakuan hukum keluarga di Maroko
berbeda dengan tiga negara sebelumnya. Di
mana pada tiga negara tersebut menerapkan hukum keluarga yang diwarnai oleh
corak mazhab yang menjadi pegangan sebagian besar umat muslimin di negara
tersebut. Selama ini, muslim Maroko mayoritas penganut mazhab Maliki. Namun
dalam hukum keluarga cenderung mengikuti mazhab Hanafi. Perbedaan wali nikah
dalam mazhab Hanafi dengan hukum keluarga di Maroko berkenaan dengan status
wali dan kewenangan menikahkan. Wali dalam hukum keluarga di Maroko, tidak
menjadi hak ayah ataupun kakek, tetapi menjadi hak anak perempuan yang sudah
baligh dan berakal. Kalaupun si ayah menikahkan anak perempuannya, tindakan
ayah tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari anaknya.
H.
Kesimpulan
Dari
uraian yang sudah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai
penerapan wali dalam pernikahan di negara Jordania, Maroko, Saudi Arabia dan
Malaysia.
1. Penerapan hukum wali dalam hukum keluarga
sangat dipengaruhi oleh mazhab mayoritas yang dianut oleh masyarakat muslim di
negara tersebut, kecuali di Maroko yang mayoritas mengikuti mazhab Maliki,
tetapi berkenaan dengan wali mengikuti mazhab Hanafi seperti di Jordania.
Sementara itu di Saudi Arabia mempergunakan mazhab Hanbali secara tradisional
(tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan) sedangkan di Malaysia dan
Indonesia, benar-benar mempergunakan mazhab Syafi‟i dalam mengatur wali nikah.
2. Jordania dan Maroko merupakan negara yang
berpenduduk muslim yang memberikan penghargaan lebih kepada status perempuan
dengan memberikan hak kepada perempuan yang sudah dewasa untuk menikahkan
dirinya dengan orang lain. Arab Saudi dengan latar belakang mazhab Hanbali,
Malaysia dan Indonesia yang berlatar mazhab Syafi‟i termasuk negara yang tidak memberikan hak
kepada perempuan untuk menikahkan dirinya, karena wali nikah dipandang sebagai
rukun dalam pernikahan.
[1] Hal ini didasarkan pada surat al Baqarah ayat 221 Dan
janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musyrik sebelum
mereka beriman, ayat ini ditujukan kepada wali nikah. Demikian pula dalam
surat al Baqarah ayat 232 Janganlah kamu menghalang-halangi mereka (para
isteri) untuk menikah kembali dengan bekas suami mereka jika mereka saling
meridoi dengan cara yang ma’ruf. Ma'qil bin Yasar menceritakan bahwa ayat
ini turun berkenaan dengan dirinya. Katanya, "Saya menikahkan salah
seorang saudara perempuanku dengan seorang pria, tetapi kemudian diceraikannya.
Ketika iddahnya habis, ia datang lagi meminangnya."Maka saya jawab,“Dulu
kamu saya jodohkan, saya nikahkan dan saya muliakan, tetapi kemudian kamu
ceraikan. Dan kini kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah kamu tidak
dapat kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya. Lelaki ini orangnya biasa
saja, tetapi bekas istrinya itu ingin kembali kepadanya. Dalam hadits Abu Musa
sesungguhnya Rasulullah telah bersabda Tidak syah nikah tanpa wali.
[2] Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa
adillatuhu Juz VII, (Berut: Darul Fikr, 1985), hal 192
[4] Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum
Perkainan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Al Fikris, 2009, hal. 3 36 Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir:
Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal 33
[5] Muhammad
al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal
33
[6] Sebagai pemahaman dari ketentuan wali adhol
bagi anak usia kurang dari 15 tahun dan usia 15-18 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar