Kamis, 15 Maret 2012

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM



KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
Oleh : T a u f i q

Menurut ilmu hukum, hukum mencerminkan masyarakat. Hanya hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang mencerminkan system kekeluargaan dalam masyarakat. Menurut ilmu antropologi budaya system kekekuargaan dalam masyarakat dapat didasarkan atas system keturunan yang unilateral dan yang bilateral. Sistem keturunan yang unilateral ialah setiap orang dalam masyarakat menarik garis keturunan ke atas hanya melalui penghubung lelaki saja sampai kepada seorang lelaki sebagai leluhur mereka. Sistem kekeluagaan ini disebut sstem kekeluargaan unilateral patreleneal. Selanjutnya ada kekeluargaan yang anggautanya menarik garis keturunan ke atas hanya melalui penghubung perempuan saja sampai kepada seorang perempuan sebagai leluhur mereka. Sistem kekeluagaan ini disebut sstem kekeluargaan unilateral matreleneal. Di samping itu ada system kekeluargaan yang anggautanya menghubungkan dirinya baik kepada garis bapak maupun garis ibu. Sistem kekeluagaan ini disebut sstem kekeluargaan bilateral atau parelental.[1]
Masyarakat Arab pra Islam menganut system masyarakat berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal murni. Masyarakat tersebut terdiri dari suku-suku yang anggautanya terdiri dari orang yang menarik garis keturunannya ke atas hanya melalui penghubung lelaki saja sampai kepada seorang lelaki sebagai leluhur mereka dan mereka disebut „ashabah. Kini masyarakat Islam di Negara-negara di Timur Tengah, Mesir, Tunisia, Marokko, Yordania, Suriah, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Irak menganut system masyarakat berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal. Demikian halnya dengan masyarakat Islam di Pakistan dan India menganut system masyarakat berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal juga. Sementara itu masyarakat Islam di Negara Republik Iran, menganut system masyarakat berdasarkan kekeluargaan bilateral.
Masyarakat Arab pra Islam yang berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal terdiri dari masyarakat nomaden dan masyarakat yang menetap di kota Mekkah dan Madinah. Kota Mekkah merupakan kota metropolitan yang merupakan pusat perdagangan. Sedang kota Madinah, penduduknya mayoritas mata pencaharian mereka sebagai petani. Oleh karena itu Hukum kewarisan adat Arab pra Islam, hukum kewarisan berdasarkan system kekeluargaan unilateral patereleneal. Maka mereka tidak memasukkan orang-orang perempuan sebagai ahli waris. Bahkan anak-anak kecil, laki-laki maupun perempuan, tidak dimasukkan sebagai ahli waris, sebab mereka lemah, tidak dapat melindungi suku.[2]2 Sementara itu masyarakat Arab yang bermukim wilayak kekuasaan Romawi, dikuasai oleh hukum kewarisan Romawi yang membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, kelompok pertama terdiri dari keturunan pewaris, kelompok kedua terdiri orang-orang yang menurunkan pewaris, dan kelompok ketiga terdiri dari orang-orang yang memiliki hubungan darah menyamping. Kelompok pertama terdiri dari anak-anak laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka. Kelompok kedua terdiri dari orang tua, kakek nenek dan setrusnya ke atas. Kelompok ketiga terdiri dari saudara-saudara, paman, bibi, terus kesamping.
Kelompok pertama menjadi ahli waris utama. Kelompok kedua menjadi ahli waris, kalau kelompok pertama tidak ada. Kelompok ketiga menjadi ahli waris, kalau kelompok pertama dsn kedua tidak ada. Apabila salah seorang ahli waris meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan keturunannya. Hukum kewarisan Romawi terdiri hukum kewarisan testamenter dan intestamenter, Sementara itu hukum kewarisan Yunani, pertama-tama menentukan yang berhak menjadi ahli waris ialah anak laki-laki tertua, tetapi kemudian ketentuan ini diperbaharui oleh ahli hukum Solon menjadi ahli waris terdiri anak laki-laki saja, tertua dan selainnya[3]. Sementara itu sebagian penduduk kota Mekkah, mulai terpengaruh hukum kewarisan Romawi tersebut, yaitu menjadikan anak perempuan sebagai ahli waris[4].
Syariat Islam merubah hukum kewarisan adat Arab tersebut secara bertahap sebagai berikut :
1. Membiarkan hukum kewarisan adat Arab tetap berlaku bagi orang-orang Islam yang telah memeluk Islam.
2. Menetapkan kewarisan berdasarkan hijrah.
3. Menghapus kewarisan berdasarkan pengangkatan anak, tetapi membiarkan tetap berlakunya kewarisan baerdasarkan perjanjian.
4. Memerintahkan mereka agar berwasiat untuk menentukan bagian kedua orang tua dan sanak keluarga mereka, dari harta peninggalan mereka. (Al-Baqarah : 180 – 182)
5. Menghapus kewarisan berdasarkan pengangkatan anak (Al-Ahzab : 5)
6. Menghapus kewarisan berdasar hijrah dan perjanjian dan menetapkan kewarisan berdasarkan hubungan darah).
7. Menetapkan bahwa kewarisan berdasarkan hubungan kekerabatan, baik menurut garis laki-laki maupun perempuan.
8. Menetapkan bahwa kewarisan dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan Allah dan berdasarkan kehendak pewaris dalam wasiatnya.[5]

Bahan dasar hukum kewarisan Islam ialah antara lain :
1.     Kewarisan berdasarkan wasiat : Surah Baqarah 180-182, Surah Al-Baqarah 240, Surah An-Nisa : 11- 12, dan surah Al-Maidah : 106.
2.     Kewarisan berdasarkan nash : An-Nisa ayat 7, 11, 12, 33, dan 176.6

Ada dua paradigma yang dapat menjadi dasar untuk mengolah ayat-ayat kewarisan tersebut di atas. Paradigma pertama yaitu bahwa hukum kewarisan adat Arab, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas. Paradigma ini dipergunakan oleh aliran sunni untuk menyusun ilmu faraidl ajaran mereka. Paradigma kedua yaitu bahwa dengan turunnya ayat-ayat tersebut, maka system kekeluargaan unilateral patreleneal dan hukum kewarisan turunannya tidak berlaku lagi dan yang berlaku ialah system kekeluargaan dan kewarisan bilateral. Paradigma ini dipergunakan oleh golongan syiah untuk menyusun fikih kewarisan mereka.
Ilmu faraidl sunni membagi ahli waris mejadi tiga golongan :
1.     Dzawul furudl, yaitu ahli waris yang bagiannya dari warisan telah ditetapkan oleh al-Quran, dengan pasti.
2.     Ashabah, yaitu semua kerabat pewaris, baik keturunan mereka, maupun asal usul mereka menurut garis bapak. Ashabah dibagi menjadi tiga golongan :
a. Ashabah binafsihi ialah tiap-tiap kerabat lelaki yang tidak diselingi dalam hubungannya kepada yang meninggal oleh seorang perempuan, tetapi oleh seorang lelaki, seperti saudara lelaki sebapak dan anaknya, paman sebapak dan anaknya. Yang termasuk golongan ini hanya laki-laki saja. Mereka ini antara lain anak laki-laki, cucu laki-laki dalam garis patreleneal terus ke bawah, bapak, dan datuk dari pihak bapak dalam garis patreleneal terus ke atas.
b. Ashabah bighairihi ialah ashabah dengan sebab orang lain, seperti anak perempuan menjadi „ashabah karena bersama anak laki-laki.
c. Ashabah maa ghairihi, ialah „ashabah bersama-sama dengan orang lain.
Pembagian ini merupakan fiksi hukum dari aliran sunni.
3. Dzawul arham ialah anggauta keluarga yang termasuk dzawul furudl dan juga tidak termasuk „ashabah, yaitu anggauta keluarga perempuan di garis bapak, dan anggauta keluarga di garis ibu, lelaki maupun perempuan. Maka anak laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka termasuk dzawul arham.

Menurut golongan Sunni :
1. keluarga dekat didahulukan daripada keluarga jauh, kecuali orang tua
2. Dzawul arham mewaris, kalau dzawul furudl dan/atau „ashabah tidak ada, kecuali suami atau isteri
3. Pembagian warisan di lingkungan dzawul arham, berlaku doktrin tanzil, yaitu masing-masing dzul arham ditempatkan pada tempat asalnya, tempat ahli waris yang digantikannya

Menurut golongan Syiah yang menggunakan paradigma kedua bahwa ahli waris dikelompokkan menjadi dua kelompok :
1. Dzawul furudl yaitu sanak keluarga pewaris yang bagian warisannya telah ditentukan dengan pasti dalam al-Quran.
2. Dzawul qarabat, yaitu semua sanak keluarga, laki-laki dan perempuan yang tidak termasuk dzawul faraidl, baik menurut garis bapak maupun ibu. [6]

Dalam hal dzawul qarabat yang orang tuanya meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka x golongan syiah menggunakan doktrin waris pengganti (reprentasi). Maka cucu dari anak perempuan mendapatkan bagian ibunya.

Pada pertengahan abad ke-20 perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi dan kominikasi berlangsung dengan sangat cepat. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan masyarakat juga terjadi dengan cepat. Perubahan masyarakat yang terjadi di suatu tempat, dengan cepat menjalar ke masyarakat di tempat lain. Perubahan system masyarakat berdasarkan system kekeluargaan bilateral mulai mempengaruhi system kekeluargaan masyarakat Islam. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa ini merangsang timbulnya gerakan-gerakan yang menuntut pembaharuan-pembaharuan kembali kepada al-Quran serta Sunnah, dibukanya kembali pintu ijtihad, dan ditinggalkan doktrin taqlid. Sementara itu kaum perempuan mendapatkan pendidikan serta bekerja di luar rumah tangga, maka terjadi perubahan kedudukan mereka di bidang social, budaya, politik, ekonomi dan lain-lain. Faktor-faktor ini merangsang tuntutan masyarakat untuk adanya perubahan hukum, termasuk hukum keluarga Islam, yang berlaku.
Pada pertengahan abad ke-20 tersebut masyarakat Islam mulai bangun kembali dan mulai mencoba mempelajari secara ilmiah dasar-dasar hukum Islam bagi masyarakat modern. Ilmiah yang dimaksud terutama ilmu antropologi social yang baru lahir pada abad ke-19 dan memberikan pengertian yang dalam kepada soal-soal hukum untuk membukakan jalan bagi penelitian lebih lanjut tentang suatu persoalan hukum. Sementara itu pandangan-pandangan hukum ulama Islam sebagaimana diuraikan di muka, mulai terbuka dan cair. Maka Negara-negara Islam di di Timur Tengan dan Timur jauh, mulai memperbaharui hukum keluarga Islam termasuk hukum kewarisan Islam, melalui undang-undang atau kodifikasi dan yurisprudensi, seiring dengan perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat. Metoda untuk memperbaharui hukum keluarga Islam tersebut antara lain :
1. Takhshish, membatasi kewenangan hakim;
2. Takhayyur, memilih diantara pendapat-pendapat dalam satu mazhab yang dominan, atau daiantara mazhab empat, bahkan di luar mazhab sunni;
3. Menafsir kembali ayat-ayat al-AlQuran dan Hadits;
4. Siyasah Syariyyah, menetapkan hukum berdasarkan maslahat atau manfaat;
5. Putusan hakim. [7]

Masyarakat Islam Timur Tengah dan sekitarnya merupakan masyarakat berdasarkan kekeluargaan patreleneal dan beraliran sunni. Maka hukum kewarisan yang berlaku di masyarakat, hukum kewarisan yang bersifat unilateral patreleneal. Orang-orang perempuan yang tidak termasuk dzawul furudl tidak mendapatkan bagian dari harta warisan. cucu perempuan dari anak perempuan serta keturunan mereka tidak berhak mendapatkan harta warisan. Maka masyarakat Islam di kawasan tersebut, menuntut pembaharuan hukum kewarisan yang berlaku tersebut. Oleh karena itu Negara-negara Islam di kawasan tersebut melakukan pembaharuan hukum kewarisan tersebut dengan metoda pembaharuan hukum Islam, di muka. Negara-negara tersebut antara lain :
1. Menurut Undang-undang Mesir Nomor 77 Tahun 1943, cucu dari anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewaris terhijab oleh saudara ibunya, karena aliran sunni yang menjadi mazhab mayoritas penduduk Mesir, tidak mengakui doktrin representasi, atau waris pengganti. Perkembangan selanjutnya , hukum kewarisan Mesir, menjamin cucu tersebut, mendapatkan bagian warisan melalui ketentuan dalam Undang-undang Wasiat Nomor 71 Tahun 1948 (sesuai dengan artikel 76 sampai 79). Menurut ketentuan undang-undang wasiat tersebut, seorang pewaris diwajibkan meninggalkan wasiat bagi cucu-cunya, melalui anak-anaknya yang meninggal lebih dahulu yang jumlahnya tidak [8]
lebih dari sepertiga dari harta peninggalannya, bagi cucu-cucunya. Apabila pewaris tidak meninggalkan wasiat tersebut, maka hakim menganggap wasiat tersebut telah dilakukannya dan membagikannya kepada cucu-cucu tersebut. Fiksi hukum ini terkenal dengan sebutan washiat wajibah.
2. Undang-undang Tunisia Tahun 1953, mengadopsi fiksi washiyah wajibah dari undang-undang washiat Mesir tersebut dengan sedikit perubahan.
3. Marokko pada tahun 1958 juga menerapkan doktrin fiksi washiayah wajibah undang-ung kewarisan Mesir tersebut dalam kofikasi hukum keluarganya. Kemudian dokrin ini juga diikuti kodifikasi hukum keluaga Siria.
4. Pakistan terakhir menerapkan doktrin reprentasi atau waris pengganti dalam hukum kewarisannya.8

Dengan ringkas dapat dinyatakan, peraturan perundang-udangan tentang kewarisan Islam di Negara-negara kawasan Timur Tengah, telah memperbaharui kedudukan perempuan dalam hukum kewarisan tersebut, antara lain dengan memberikan warisan kepada cucu dari anak perempuan yang meninggal lebih dahulu, melalui doktrin fiksi washiyah wajibah dan waris pengganti.

Sebagaimana di dalam masyarakat Islam di Timur Tengah tersebut, pada pertengahan abad ke-20, di dalam masyakat Islam Indonesia juga terjadi perubahan, termasuk perubahan kedudukan perempuan di bidang politik, ekonomi, social dan hukum. Maka terjadilah gelombang tuntutan pembaharuan kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan Islam yang berasal dari ajaran mazhab SyafiI dan tidak sejalan dengan perubahan kedudukan perempuan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 memperbahrui hukum perkawinan tersebut dengan menggunakan metoda-metoda pembaharuan hukum perkawinan oleh Negara-negara Islam sebagaimana dijelaskan di muka.
Sementara itu hukum kewarisan Islam menurut mazhab syafiI yang bersifat unilateral patreleneal, tidak berlaku secara eketif, karena bertentangan dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Islam Indonesia sebagian masyarakatnya berdasarkan kekeluargaan matreleneal, dan sebagian yang lain berdasarkan kekeluargaan bilateral.
Maka untuk mengefektifkan berlakunya hukum kewarisan Islam, yang dicita-citakan menjadi kewenagan Pengadilan Agama, perlu pembaharuan hukum kewarisan Islam Indonesia, Gelombang pembaharuan hukum kewarisam tersebut, membesar, setelah Menteri Agama Prof.Dr Munawir Syadzali melempari masyarakat Islam dengan issue pembagian warisan yang sama antara perempuan dengan laki-laki. Kewarisan Islam ajaran tersebut menjadi ganjalan bagi usaha untuk memasukkan penyelsaian sengketa kewarisan antara orang-orang Islam, menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Sebagian anggauta DPR dan pakar hukum, mempertanyakan masalah bagian warisna ahli waris non muslim dari harta peninggalan pewaris, kedudukan anak angkat, kedudukan cucu-cucu dari anak perempuan, dan bagian anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Maka Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam usaha memperbaharui hukum keluarga Islam, hukum perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, shadaqah, dan wakaf, yang akan menjadi hukum terapan pengadilan Agama, dalam bentuk Kompilasi, melemparkan issue-issue tersebut di tengah-tengah ormas-ormas Islam, perguruan-perguruan tinggi Islam dan jajaran Pengadilan Agama, untuk dibahas. Kemudian disusunlah draft KHI dari hasil-hasil bahasan terbut, yurisprudensi Pengadilan Agama, dan peraturaturan perundang-undangan tentang perkawinan dan wakaf. Kemudian draft tersebut diseminarkan dalam seminar nasional yang dihadiri oleh ormas-ormas Islam, para ulama, cendikiawan muslim dan ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia. Hasil seminar tersebut dalam KHI yang sekarang berlaku. Paradigma yang digunakan dalam membahas masalah-masalah tersebut ialah :
1. “Hukmul hakim yarfaul hilaf”
2. “Fainnal amri idza amara „alal qadli „adamal hukmi fi amrin makh shushin uttubia”
3. “Ikhtatha fl budl-I ma la yukhtathu yukhtathu fi ghairihi”

Mengenai issue kedudukan “anak angkat”, para ulama baik yang tergabung dalam Ormas Islam Nahdlatul Ulama, Muhammadiyyah seta ormas-ormas Islam lainnya, melalui pembahasan dalam bahtsul masail, serta seminar-seminar ulama, para cendikiawan dalam seminar ilmiah, rapat-rapat jajaran peradilan Agama, mereka semuanya sepakat bahwa anak angkat bukan ahli waris, tetapi mendapat bagian dari harta peninggalan, sebagaimana dinyatakan kalimat kedua dari surat An-Nisa ayat 33 yang menyatakan sebagai berikut :

“…………..Walladzina „aqadat aimanukumfa atuhum nasibuhum, inna Allaha „ala kulli saiin sayahida.” [9]
Kemudian seminar KHI memutuskan digunakannya doktrin fiksi hukum.[10] washiyah wajibah, yang besarnya tidak lebih dari sepertiga. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibnul Musayyab dalam mengomentari kalimat dalam ayat 33 surat an-Nisa tersebut. Beliau menyatakan bahwa ayat tersebut turun di tengah masyarakat Arab yang memberlakukan ketentua bahwa anak angkat mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Ayat tersebut membatalkan ketentuan hokum adat arab tersebut, tetapi orang tua angkatnya harus meninggalkan wasiat bagi anak-anak angkat mereka.[11]
Para ulama dan cendikiawan muslim Indonsia sepakat bahwa semua kerabat pewaris baik melalui garis laki-laki maupun garis perempuan merupakan ahli waris pewarisnya, sesuai dengan ketentuan surah An-Nisa ayat 7. Maka cucu dari anak perempuan atau anak laki-laki yang ibunya atau bapaknya meninggal dahulu dari pada neneknya mendapat bagian warisan dari neneknya, meskipun saudara ibunya atau bapaknya masih hidup. Hanya mereka berbeda pendapat dasar pemberian bagian tersebut. Ada tiga aliran :

1. Ulama aliran salafiyyah, berpendapat bahwa dasar pemberian bagian warisan bagi cucu dari anak perempuan yang ibunya meninggal lebih dahulu ialah metoda tanzil yang diperluas yaitu memberikan kedudukan cucu tersebut, dengan kedudukan ibunya dalam kewarisan. Sebenarnya metoda tanzil oleh aliran sunni hanya diterapkan pembagian warisan antara zawul arham. M.Arsyad Lubis menyatakan :

Tanzil maksudnya menempatkan dzawul arham pada tempat waris yang mula-mula menghubungkan dia dengan mayat. Ia akan menerima pusaka sebanyak pendapatan yang diterima waris itu. Misalnya cucu perempuan dari anak perempuan adalah dzawul arham.Waris yang mula-mula menghubungkan dia dengan mayat ialah anak perempuan. Maka cucu perempuan itu ditempatkan pada anak perempuan dan akan menerima pusaka sebanyak pendapatan anak perempuan.”[12]
Khusus cucu dari anak laki-laki yang bapaknya meninggal lebih dahulu dari pewaris, mereka menggunakan doktrin waris pengganti dari zaid bin Stabit dalam hadist mauqufnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dan garis-garis hukumnya ialah sebagai berikut :
a. Cucu laki-laki dari anak laki-laki berkedudukan sederajat dengan anak laki-laki, sebab cucu laki-laki tersebut dapat mengganti kedudukan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu daripada pewaris.
b. Anak perempuan dari anak laki-laki, berkedudukan sederajat dengan anak perempuan, karena cucu perempuan tersebut dapat menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu daripada pewqris, asalkan pewaris juga tidak meninggalkan anak laki-laki maupun perempuan atau hanya anak perempuan saja dari pewaris;
c. Apabila pewaris meninggalkan seorang anak perempuan, dan seorang anak laki-laki dari anak laki-laki, maka bagian cucu kai-laki tersebut tidak dua kali anak perempuan, akan tetapi cucu laki-laki dari anak laki tersebut mendapatkan sisanya saja.
d. Cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan, tidak berhak menduduki kedudukan anak laki-laki atau perempuan dengan menggantikan kedudukan ibu atau ayahnya, karena keduanya tergolong dzawul arham.[13]

Gagasan tersebut di lontarkan oleh antara lain K.H.Abdul Halim,SH., dekan Fakultas Hukum Universitas Jember dan K.H.Aziz Masyhuri dari Pondok Pesanten Den Anyar Jombang.

2. Para sarjana hukum yang dalam seminar KHI dipelopori oleh alm.KH.Khalid SH dan Yahya Harahap SH, keduanya menjabat hakim Agung, berpendirian bahwa anak-anak dari anak perempuan pewaris merupakan waris pengganti mawali dari ibunya, sesuai dengan ajaran kewarisan bilateral drai Prof.DR. Hazairin yang sejajar dengan ajaran kewarisan aliran Syiah. Menurut beliau ayat 7 surah Annisa telah menghapus system kewarisan hukum adat Arab pra Islam yang bersifat unilateral patreleneal. Maka cucu-cucu keturunan anak perempuan atau anak laki-laki, menduduki ibunya atau bapaknya yang meninggal lebih dahulu, sewbagai waris pengganti sebagaimana dimaksud oleh ayat 33 Surat An-Nisa.
3. Para cendikiawan dan ulama yang tidak termasuk golongan kesatu dan kedua tersebut menafsir ulang ayat 33 surat An-Nisa. Alur berfikir mereka ialah sebagai bereikut :
a. Di belakang kata “walikullin” ada kata mudlaf ilaih yang dibuang serta digantikan dengan tanwin.kata-kata yang dibuang tersebut, kemungkinan berupa kata “muristin”, atau kata “malin” atau kata “waristin” atau “nasin”.[14]14 Kelompok ketiga berpendapat bahwa kata yang dibuang tersebut ialah “waritsin”, sesuai dengan system kewarisan yang dipancang kan oleh ayat 7 surat an-Nisa tersebut.
b. Sedang kata mawali artinya “waratsah muwallun” artinya ahli warits yang diberi kuasa menduduki kedudukan dari ahli waris yang menurunkannya.[15]15
c. Maka tafsir ayat 33 surah an-Nisa tersebut ialah : “walikulli waritsin waratsatun mualluna muakkalina au lahum aw menazzalina manzilatahum………………….”

Penafsiran tersebut diperkuat oleh hadist diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dengan sanad yang kuat bahwa Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Masud keduanya menempatkan bintul binti, cucu dari anak perempuan, sama dengan binti dan bintul akh sama dengan akh dan bintul ukhti sama dengan ukhti, kedudukan „ammah sama dengan ayah, dan khalah menerima sama dengan ibu.[16]
Akhirnya semua peserta seminar KHI sepakat bahwa keturunan laki-laki atau perempuan yang bapaknya atau ibunya meniggal lebih dahulu daripada pewaris, mendapatkan bagian warisan sebagai waris pengganti. Dasar pendapat ini ialah ketiga argumentasi tersebut di atas ditambah bahwa Undang-undang kewarisan Pakistan terakhir mengadopsi doktrin waris pengganti.[17]

1. Bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan, sebab ayat 11 surat Anisa telah menetapkan bahwa “lidza-dzakari mitslu hadhdhil untsayain” dan ini merupakan nash yang “qathiyyul wurud waddalalah .
2. Bagian anak perempuan separo bagian anak laki-laki, dapat dirubah, sebab ketentuan ayat 11 surat Ani-nisa masih mungkin difahami bahwa bagian anak laki-laki dua kali bagian perempuan dan ketentuan syariat merupakan batas (hudud) yang tidak boleh dilanggar, menurut teori dari Zainuddin Sardar.
3. Bagian anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan, ketentuannya dapat berubah, sebab menurut KH.Ammar dan KH Jamaluddin, ketentuan tersebut dilator belakangi kodisi social masyarakat Arab ketika turunnya ayat tersebut, sedang menurut ketentuan dasar syariiat bahwa kedudukan perempuan setara dengan kedudukan laki-laaki, apabila kondisi social berubah, maka ketentuan tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan sosia, sesuai dengan kaidah “al-hukmu yaduru maal „illati wujudan wa „adaman”

Mayoritas peserta seminar KHI mendukung pendapat bahwa bagian laki-laki dalam kewarisan dua kali bagian perempuan, sebab kalau ketentuan ini dirubah akan merubah subsistem hukum keluarga Islam, tetapi mereka setju dicantumka klausul pada akhir KHI bahwa hakim dalam mengadili harus memperhatikan perubahan social.

Dari uraian di muka dapat disimpulkan bahwa di dunia Islam termasuk Indonesia kini, telah dilakukan pembaharuan hukum Kewarisan Islam, seirama dengan perubahan social di era modern. Perempuan telah mendapatkan perlakuan hukum yang setara dengan kaum laik-laki. Khusus di Indonesia, pembaharuan hukum kewarisan Islam terbur terletak di putusan hakim Peradilan Agama.

K E P U S T A K A A N
Abdullah Al-Imam, Muhammad bin. Ilamu An-Nubala bi Ahkami Mirasti An-Nisa “.(Jakarta :Emb un Publishing.2008).
Ahmad Ibrahim Darrakah, Yasin. “Al-Miratst fi Asy-Syariah Al-Islamiyyah”. ( „Amman : Daru Al-Arqam : 1983)
Al-Ajhuri, Muhammad Ridla. “Al-Juzdur At-Tarihiyyah li Majjalati Al-Ahwali Asy-Syakhshiyyah”. (Tunis : Irhaqshat Rukyah Jadidah :1999)
Ali, Ashghar. The Right of Women in Islam.(Selangor : IBS Buku Sdn Bhd. 1992)
An-Naim, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation”. (New York : Cyracus Univerity Press, 1996)
„Azizy, A.Qadri. Hukum Nasional (elektisme Hukum Islam & Hukum Umum. (Jakarta : Traju.2004)
Arto, Mukti Arto. Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam. (Solo : Balqus Qween , 2009).
Bugha,Mushthafa Dib. “Ar-Rahbiyyah fi „Ilmi All-Faraidl” (Damascus : Dar Al-Qalam.1984)
Coulson, Noel J. Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta : P3M.1987)
Departemen Agama.Undang-undan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam. (Jarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.2004) 16
Doi. Bdur-Rahman. Women in Shariah.(Kuala Lumpur : A.S.Noordeen.1990)
Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum (Perspektif Imlu Sosial). (Bandung : Penerbit Nusa Media. 2009)
Fadllu Allah, Mahdi, Al-„Aqlu wa Asy-Syariah (Beirut : Dar Ath-Thibaah 1995)
Hassan, Rifat. “Al-Islam wa Huququ An-Nisa. (Damascus :Dar Al Hashad lin-Nasyri wa At-Tauzi1998)
Kulliatu Asyariah Bi Jamiah Alazhar. “Ahkam Al-Mawarist fi Alfiqhi Al-Islami”. (Kairo : Maktabah Ar-Risalah.2001)
Mallat, Chibli dan Jane Connor. Islamic Famly Law. (London :Graham&Trotman. 199)
Muhammad Jafar, „Ali. “ nasy-„ah Al-Qwanin wa Taththawwuruha” (Beirut : Al-Muassah llil Jamah liddirasah wan Alnasyr wat At-Tauzi. 2002)
Musthafa dan Abdul Wahid. Hukum Islam Kontemporer. (Jakarta : Sinar Grafika.2009)
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial. (Yogyakarta : Genta. 2009)
Al.Sayis, Muhammad „Ali. “Tafsir Ayati Al-Ahkam”.
Siddik, Abdullah. Hukum Waris Islam.(Jakarta : Wijaya.1984)
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Keluarga. (Jakarta : Rineka Cipta. 2004)
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta : Sinar Grafika.2004)
Usman, Rahmadi. Hukum Kewarisan Islam. (Bandung : Mandor Maju. 2009)
Az-Zuhaili, Wahbah. “At-Tafsir Al-Munir”(Beirut : Dar Al-Fikri al-Muashir.1991)


[1] Abdullah Siddik., Hukum waris Islam, (Jakarta : Wijaya, 1984), hal.1
[2] Yasin Ahmad Ibrahim Darrakah, Al-Mirast fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, (‘Amman : Dar ar-Arqam), hal 37-38 3
[3] Ibid. hal. 21-38
[4] Ibid. hal. 38.
[5] Ibid. hal. 49-50
[6] ghghg
[7] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformatiom, (New York : Syracuce University Press,199o), ha.44-46
[8] Abdullah Siddik, Opcit. Hal.15-26
[9] Wahbah Azzuhaili dalam bujkunya At-Tafsir al-Munir jilid V halaman 50 memberikan komentar antara lain : “Ringkasnya bahwa harta peninggalan dibagi sebagaimana dijelaskan surat an-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176, yaitu sanak keluarga dari pewaris menurut garis hubungan keluarga ke atas, ke bawah, dan kesamping. Namun demikuian tidak dilarang berwasiat, bagi saudara-saudara yang diikat dengan perjanjian persaudaraan atau bagi anak-anak angkat
[10] Fiksi hukum menurut ilmu fikih disebut hilah, jamaknya hial. Fikh mazhzb Hanafi, dan hukum ekonomi Islam banyak menggunakan ini.
[11] Yasin Ahmad Darrakah, Opsit. Hal,44
[12] Abdullah Siddik. Opcih. Halaman 135
[13] Rahmadi Usman, SH. Mh,HUKUM kewarisan Islam. (Bandung : Mandar Maju. 2009), hal. 105-106
[14] Muhammad Ali Sayis. Tafsir Ayatil Ahkam. Juz II hal.93
[15] Wahbah Az-Zuhaili. Opcit. Juz VI Hal. 46
[16] Syaikh Muhammad bin Abdullah Al- Imam. Hukum Waris Wanita. (Jakarta : Embun, 2008)
[17] Akhtar Ali Kureshe, “Family Laws Digest (1978-2006, (Lahore : National Law Book House, -.-), hal.321 : “Applicability and, scope. Predeceased son or daughter. Inheritance. Right to receive ashare equal to share wich predesead son or daughter, if alive, wouled resived. Given only to children of predecead son doughter. Any other heir (e.g. widow or husband respectively of predeceased son or daughter). Notentiteled to inhirit share.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar