KEDUDUKAN
PEREMPUAN DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
Oleh
: T a u f i q
Menurut ilmu hukum, hukum mencerminkan
masyarakat. Hanya hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang mencerminkan system
kekeluargaan dalam masyarakat. Menurut ilmu antropologi budaya system
kekekuargaan dalam masyarakat dapat didasarkan atas system keturunan yang
unilateral dan yang bilateral. Sistem keturunan yang unilateral ialah setiap
orang dalam masyarakat menarik garis keturunan ke atas hanya melalui penghubung
lelaki saja sampai kepada seorang lelaki sebagai leluhur mereka. Sistem
kekeluagaan ini disebut sstem kekeluargaan unilateral patreleneal. Selanjutnya
ada kekeluargaan yang anggautanya menarik garis keturunan ke atas hanya melalui
penghubung perempuan saja sampai kepada seorang perempuan sebagai leluhur
mereka. Sistem kekeluagaan ini disebut sstem kekeluargaan unilateral
matreleneal. Di samping itu ada system kekeluargaan yang anggautanya
menghubungkan dirinya baik kepada garis bapak maupun garis ibu. Sistem
kekeluagaan ini disebut sstem kekeluargaan bilateral atau parelental.[1]
Masyarakat Arab pra Islam menganut system
masyarakat berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal murni. Masyarakat
tersebut terdiri dari suku-suku yang anggautanya terdiri dari orang yang
menarik garis keturunannya ke atas hanya melalui penghubung lelaki saja sampai
kepada seorang lelaki sebagai leluhur mereka dan mereka disebut „ashabah. Kini
masyarakat Islam di Negara-negara di Timur Tengah, Mesir, Tunisia, Marokko,
Yordania, Suriah, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Irak menganut system
masyarakat berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal. Demikian halnya
dengan masyarakat Islam di Pakistan dan India menganut system masyarakat
berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal juga. Sementara itu
masyarakat Islam di Negara Republik Iran, menganut system masyarakat
berdasarkan kekeluargaan bilateral.
Masyarakat Arab pra
Islam yang berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal terdiri dari
masyarakat nomaden dan masyarakat yang menetap di kota Mekkah dan Madinah. Kota
Mekkah merupakan kota metropolitan yang merupakan pusat perdagangan. Sedang
kota Madinah, penduduknya mayoritas mata pencaharian mereka sebagai petani.
Oleh karena itu Hukum kewarisan adat Arab pra Islam, hukum kewarisan berdasarkan
system kekeluargaan unilateral patereleneal. Maka mereka tidak memasukkan
orang-orang perempuan sebagai ahli waris. Bahkan anak-anak kecil, laki-laki
maupun perempuan, tidak dimasukkan sebagai ahli waris, sebab mereka lemah,
tidak dapat melindungi suku.[2]2
Sementara itu masyarakat Arab yang bermukim wilayak kekuasaan Romawi, dikuasai
oleh hukum kewarisan Romawi yang membagi ahli waris menjadi tiga kelompok,
kelompok pertama terdiri dari keturunan pewaris, kelompok kedua terdiri
orang-orang yang menurunkan pewaris, dan kelompok ketiga terdiri dari
orang-orang yang memiliki hubungan darah menyamping. Kelompok pertama
terdiri dari anak-anak laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka.
Kelompok kedua terdiri dari orang tua, kakek nenek dan setrusnya ke atas.
Kelompok ketiga terdiri dari saudara-saudara, paman, bibi, terus kesamping.
Kelompok pertama
menjadi ahli waris utama. Kelompok kedua menjadi ahli waris, kalau kelompok
pertama tidak ada. Kelompok ketiga menjadi ahli waris, kalau kelompok pertama
dsn kedua tidak ada. Apabila salah seorang ahli waris meninggal lebih dahulu,
maka kedudukannya digantikan keturunannya. Hukum kewarisan Romawi terdiri hukum
kewarisan testamenter dan intestamenter, Sementara itu hukum kewarisan Yunani,
pertama-tama menentukan yang berhak menjadi ahli waris ialah anak laki-laki
tertua, tetapi kemudian ketentuan ini diperbaharui oleh ahli hukum Solon
menjadi ahli waris terdiri anak laki-laki saja, tertua dan selainnya[3].
Sementara itu sebagian penduduk kota Mekkah, mulai terpengaruh hukum kewarisan
Romawi tersebut, yaitu menjadikan anak perempuan sebagai ahli waris[4].
Syari‟at Islam merubah hukum kewarisan adat Arab
tersebut secara bertahap sebagai berikut :
1. Membiarkan
hukum kewarisan adat Arab tetap berlaku bagi orang-orang Islam yang telah
memeluk Islam.
2. Menetapkan
kewarisan berdasarkan hijrah.
3. Menghapus
kewarisan berdasarkan pengangkatan anak, tetapi membiarkan tetap berlakunya
kewarisan baerdasarkan perjanjian.
4.
Memerintahkan mereka agar berwasiat untuk menentukan bagian kedua orang tua dan
sanak keluarga mereka, dari harta peninggalan mereka. (Al-Baqarah : 180 – 182)
5. Menghapus
kewarisan berdasarkan pengangkatan anak (Al-Ahzab : 5)
6. Menghapus
kewarisan berdasar hijrah dan perjanjian dan menetapkan kewarisan berdasarkan
hubungan darah).
7. Menetapkan
bahwa kewarisan berdasarkan hubungan kekerabatan, baik menurut garis laki-laki
maupun perempuan.
8. Menetapkan
bahwa kewarisan dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan Allah dan berdasarkan
kehendak pewaris dalam wasiatnya.[5]
Bahan dasar hukum kewarisan Islam ialah
antara lain :
1.
Kewarisan berdasarkan wasiat : Surah
Baqarah 180-182, Surah Al-Baqarah 240, Surah An-Nisa‟ : 11- 12, dan surah Al-Maidah : 106.
2.
Kewarisan berdasarkan nash : An-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, 33, dan 176.6
Ada dua paradigma yang
dapat menjadi dasar untuk mengolah ayat-ayat kewarisan tersebut di atas.
Paradigma pertama yaitu bahwa hukum kewarisan adat Arab, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas. Paradigma ini
dipergunakan oleh aliran sunni untuk menyusun ilmu faraidl ajaran mereka.
Paradigma kedua yaitu bahwa dengan turunnya ayat-ayat tersebut, maka system
kekeluargaan unilateral patreleneal dan hukum kewarisan turunannya tidak
berlaku lagi dan yang berlaku ialah system kekeluargaan dan kewarisan
bilateral. Paradigma ini dipergunakan oleh golongan syi‟ah untuk menyusun fikih kewarisan mereka.
Ilmu faraidl sunni membagi ahli waris
mejadi tiga golongan :
1.
Dzawul furudl, yaitu ahli waris yang
bagiannya dari warisan telah ditetapkan oleh al-Quran, dengan pasti.
2.
Ashabah, yaitu semua kerabat pewaris, baik
keturunan mereka, maupun asal usul mereka menurut garis bapak. Ashabah dibagi
menjadi tiga golongan :
a. Ashabah
binafsihi ialah tiap-tiap kerabat lelaki yang tidak diselingi dalam hubungannya
kepada yang meninggal oleh seorang perempuan, tetapi oleh seorang lelaki,
seperti saudara lelaki sebapak dan anaknya, paman sebapak dan anaknya. Yang
termasuk golongan ini hanya laki-laki saja. Mereka ini antara lain anak
laki-laki, cucu laki-laki dalam garis patreleneal terus ke bawah, bapak, dan
datuk dari pihak bapak dalam garis patreleneal terus ke atas.
b. Ashabah
bighairihi ialah ‟ashabah dengan
sebab orang lain, seperti anak perempuan menjadi „ashabah karena bersama anak
laki-laki.
c. Ashabah ma‟a ghairihi, ialah „ashabah bersama-sama
dengan orang lain.
Pembagian ini merupakan
fiksi hukum dari aliran sunni.
3. Dzawul arham
ialah anggauta keluarga yang termasuk dzawul furudl dan juga tidak termasuk
„ashabah, yaitu anggauta keluarga perempuan di garis bapak, dan anggauta
keluarga di garis ibu, lelaki maupun perempuan. Maka anak laki-laki maupun
perempuan serta keturunan mereka termasuk dzawul arham.
Menurut golongan Sunni :
1. keluarga dekat didahulukan daripada
keluarga jauh, kecuali orang tua
2. Dzawul arham
mewaris, kalau dzawul furudl dan/atau „ashabah tidak ada, kecuali suami atau
isteri
3. Pembagian
warisan di lingkungan dzawul arham, berlaku doktrin tanzil, yaitu
masing-masing dzul arham ditempatkan pada tempat asalnya, tempat ahli waris
yang digantikannya
Menurut golongan Syi‟ah yang menggunakan paradigma kedua bahwa ahli waris
dikelompokkan menjadi dua kelompok :
1. Dzawul furudl yaitu
sanak keluarga pewaris yang bagian warisannya telah ditentukan dengan pasti
dalam al-Quran.
2. Dzawul qarabat,
yaitu semua sanak keluarga, laki-laki dan perempuan yang tidak termasuk dzawul
faraidl, baik menurut garis bapak maupun ibu. [6]
Dalam hal
dzawul qarabat yang orang tuanya meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka
x golongan syi‟ah menggunakan
doktrin waris pengganti (reprentasi). Maka cucu dari anak perempuan mendapatkan
bagian ibunya.
Pada pertengahan abad
ke-20 perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi
dan kominikasi berlangsung dengan sangat cepat. Hal ini mengakibatkan
terjadinya perubahan masyarakat juga terjadi dengan cepat. Perubahan masyarakat
yang terjadi di suatu tempat, dengan cepat menjalar ke masyarakat di tempat
lain. Perubahan system masyarakat berdasarkan system kekeluargaan bilateral
mulai mempengaruhi system kekeluargaan masyarakat Islam. Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa ini merangsang timbulnya gerakan-gerakan yang menuntut
pembaharuan-pembaharuan kembali kepada al-Quran serta Sunnah, dibukanya kembali
pintu ijtihad, dan ditinggalkan doktrin taqlid. Sementara itu kaum perempuan
mendapatkan pendidikan serta bekerja di luar rumah tangga, maka terjadi
perubahan kedudukan mereka di bidang social, budaya, politik, ekonomi dan
lain-lain. Faktor-faktor ini merangsang tuntutan masyarakat untuk adanya
perubahan hukum, termasuk hukum keluarga Islam, yang berlaku.
Pada pertengahan abad
ke-20 tersebut masyarakat Islam mulai bangun kembali dan mulai mencoba
mempelajari secara ilmiah dasar-dasar hukum Islam bagi masyarakat modern. Ilmiah
yang dimaksud terutama ilmu antropologi social yang baru lahir pada abad ke-19
dan memberikan pengertian yang dalam kepada soal-soal hukum untuk membukakan
jalan bagi penelitian lebih lanjut tentang suatu persoalan hukum. Sementara itu
pandangan-pandangan hukum ulama Islam sebagaimana diuraikan di muka, mulai
terbuka dan cair. Maka Negara-negara Islam di di Timur Tengan dan Timur jauh,
mulai memperbaharui hukum keluarga Islam termasuk hukum kewarisan Islam,
melalui undang-undang atau kodifikasi dan yurisprudensi, seiring dengan
perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat. Metoda untuk memperbaharui
hukum keluarga Islam tersebut antara lain :
1. Takhshish,
membatasi kewenangan hakim;
2. Takhayyur,
memilih diantara pendapat-pendapat dalam satu mazhab yang dominan, atau
daiantara mazhab empat, bahkan di luar mazhab sunni;
3. Menafsir
kembali ayat-ayat al-AlQuran dan Hadits;
4. Siyasah Syar‟iyyah, menetapkan hukum berdasarkan
maslahat atau manfaat;
5. Putusan hakim. [7]
Masyarakat Islam Timur Tengah dan sekitarnya
merupakan masyarakat berdasarkan kekeluargaan patreleneal dan beraliran sunni.
Maka hukum kewarisan yang berlaku di masyarakat, hukum kewarisan yang bersifat
unilateral patreleneal. Orang-orang perempuan yang tidak termasuk dzawul furudl
tidak mendapatkan bagian dari harta warisan. cucu perempuan dari anak perempuan
serta keturunan mereka tidak berhak mendapatkan harta warisan. Maka masyarakat
Islam di kawasan tersebut, menuntut pembaharuan hukum kewarisan yang berlaku
tersebut. Oleh karena itu Negara-negara Islam di kawasan tersebut melakukan
pembaharuan hukum kewarisan tersebut dengan metoda pembaharuan hukum Islam, di
muka. Negara-negara tersebut antara lain :
1. Menurut Undang-undang Mesir Nomor 77
Tahun 1943, cucu dari anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewaris
terhijab oleh saudara ibunya, karena aliran sunni yang menjadi mazhab mayoritas
penduduk Mesir, tidak mengakui doktrin representasi, atau waris pengganti.
Perkembangan selanjutnya , hukum kewarisan Mesir, menjamin cucu tersebut,
mendapatkan bagian warisan melalui ketentuan dalam Undang-undang Wasiat Nomor
71 Tahun 1948 (sesuai dengan artikel 76 sampai 79). Menurut ketentuan
undang-undang wasiat tersebut, seorang pewaris diwajibkan meninggalkan wasiat
bagi cucu-cunya, melalui anak-anaknya yang meninggal lebih dahulu yang
jumlahnya tidak [8]
lebih dari sepertiga
dari harta peninggalannya, bagi cucu-cucunya. Apabila pewaris tidak
meninggalkan wasiat tersebut, maka hakim menganggap wasiat tersebut telah
dilakukannya dan membagikannya kepada cucu-cucu tersebut. Fiksi hukum ini
terkenal dengan sebutan washiat wajibah.
2.
Undang-undang Tunisia Tahun 1953, mengadopsi fiksi washiyah wajibah dari
undang-undang washiat Mesir tersebut dengan sedikit perubahan.
3. Marokko pada
tahun 1958 juga menerapkan doktrin fiksi washiayah wajibah undang-ung kewarisan
Mesir tersebut dalam kofikasi hukum keluarganya. Kemudian dokrin ini juga
diikuti kodifikasi hukum keluaga Siria.
4. Pakistan
terakhir menerapkan doktrin reprentasi atau waris pengganti dalam hukum
kewarisannya.8
Dengan ringkas dapat dinyatakan, peraturan
perundang-udangan tentang kewarisan Islam di Negara-negara kawasan Timur
Tengah, telah memperbaharui kedudukan perempuan dalam hukum kewarisan tersebut,
antara lain dengan memberikan warisan kepada cucu dari anak perempuan yang
meninggal lebih dahulu, melalui doktrin fiksi washiyah wajibah dan waris
pengganti.
Sebagaimana di dalam
masyarakat Islam di Timur Tengah tersebut, pada pertengahan abad ke-20, di
dalam masyakat Islam Indonesia juga terjadi perubahan, termasuk perubahan
kedudukan perempuan di bidang politik, ekonomi, social dan hukum. Maka
terjadilah gelombang tuntutan pembaharuan kedudukan perempuan dalam hukum
perkawinan Islam yang berasal dari ajaran mazhab Syafi‟I dan tidak sejalan dengan perubahan kedudukan perempuan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 memperbahrui hukum perkawinan tersebut dengan
menggunakan metoda-metoda pembaharuan hukum perkawinan oleh Negara-negara Islam
sebagaimana dijelaskan di muka.
Sementara itu hukum
kewarisan Islam menurut mazhab syafi‟I yang bersifat unilateral patreleneal, tidak berlaku secara eketif, karena
bertentangan dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Islam Indonesia
sebagian masyarakatnya berdasarkan kekeluargaan matreleneal, dan sebagian yang
lain berdasarkan kekeluargaan bilateral.
Maka untuk
mengefektifkan berlakunya hukum kewarisan Islam, yang dicita-citakan menjadi
kewenagan Pengadilan Agama, perlu pembaharuan hukum kewarisan Islam Indonesia,
Gelombang pembaharuan hukum kewarisam tersebut, membesar, setelah Menteri Agama
Prof.Dr Munawir Syadzali melempari masyarakat Islam dengan issue pembagian
warisan yang sama antara perempuan dengan laki-laki. Kewarisan Islam ajaran
tersebut menjadi ganjalan bagi usaha untuk memasukkan penyelsaian sengketa
kewarisan antara orang-orang Islam, menjadi kewenangan absolut Pengadilan
Agama.
Sebagian anggauta DPR
dan pakar hukum, mempertanyakan masalah bagian warisna ahli waris non muslim
dari harta peninggalan pewaris, kedudukan anak angkat, kedudukan cucu-cucu dari
anak perempuan, dan bagian anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Maka
Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam usaha memperbaharui hukum keluarga
Islam, hukum perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, shadaqah, dan wakaf, yang
akan menjadi hukum terapan pengadilan Agama, dalam bentuk Kompilasi,
melemparkan issue-issue tersebut di tengah-tengah ormas-ormas Islam, perguruan-perguruan
tinggi Islam dan jajaran Pengadilan Agama, untuk dibahas. Kemudian disusunlah
draft KHI dari hasil-hasil bahasan terbut, yurisprudensi Pengadilan Agama, dan
peraturaturan perundang-undangan tentang perkawinan dan wakaf. Kemudian draft
tersebut diseminarkan dalam seminar nasional yang dihadiri oleh ormas-ormas
Islam, para ulama, cendikiawan muslim dan ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama
seluruh Indonesia. Hasil seminar tersebut dalam KHI yang sekarang berlaku.
Paradigma yang digunakan dalam membahas masalah-masalah tersebut ialah :
1. “Hukmul
hakim yarfa‟ul hilaf”
2. “Fainnal
amri idza amara „alal qadli „adamal hukmi fi amrin makh shushin uttubi‟a”
3. “Ikhtatha
fl budl-I ma la yukhtathu yukhtathu fi ghairihi”
Mengenai issue
kedudukan “anak angkat”, para ulama baik yang tergabung dalam Ormas Islam Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyyah seta ormas-ormas Islam lainnya, melalui pembahasan dalam
bahtsul masail, serta seminar-seminar ulama, para cendikiawan dalam seminar
ilmiah, rapat-rapat jajaran peradilan Agama, mereka semuanya sepakat bahwa anak
angkat bukan ahli waris, tetapi mendapat bagian dari harta peninggalan,
sebagaimana dinyatakan kalimat kedua dari surat An-Nisa‟ ayat 33 yang menyatakan sebagai berikut :
“…………..Walladzina „aqadat aimanukumfa
atuhum nasibuhum, inna Allaha „ala kulli saiin sayahida.” [9]
Kemudian seminar KHI memutuskan
digunakannya doktrin fiksi hukum.[10] washiyah
wajibah, yang besarnya tidak lebih dari sepertiga. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ibnul Musayyab dalam mengomentari kalimat dalam ayat 33 surat an-Nisa‟ tersebut. Beliau menyatakan bahwa ayat
tersebut turun di tengah masyarakat Arab yang memberlakukan ketentua bahwa anak
angkat mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Ayat tersebut membatalkan
ketentuan hokum adat arab tersebut, tetapi orang tua angkatnya harus
meninggalkan wasiat bagi anak-anak angkat mereka.[11]
Para ulama dan
cendikiawan muslim Indonsia sepakat bahwa semua kerabat pewaris baik melalui
garis laki-laki maupun garis perempuan merupakan ahli waris pewarisnya, sesuai
dengan ketentuan surah An-Nisa‟ ayat 7. Maka cucu dari anak perempuan atau anak laki-laki yang ibunya atau bapaknya
meninggal dahulu dari pada neneknya mendapat bagian warisan dari neneknya,
meskipun saudara ibunya atau bapaknya masih hidup. Hanya mereka berbeda
pendapat dasar pemberian bagian tersebut. Ada tiga aliran :
1. Ulama aliran
salafiyyah, berpendapat bahwa dasar pemberian bagian warisan bagi cucu dari
anak perempuan yang ibunya meninggal lebih dahulu ialah metoda tanzil yang
diperluas yaitu memberikan kedudukan cucu tersebut, dengan kedudukan ibunya
dalam kewarisan. Sebenarnya metoda tanzil oleh aliran sunni hanya diterapkan
pembagian warisan antara zawul arham. M.Arsyad Lubis menyatakan :
“ Tanzil
maksudnya menempatkan dzawul arham pada tempat waris yang mula-mula menghubungkan
dia dengan mayat. Ia akan menerima pusaka sebanyak pendapatan yang diterima
waris itu. Misalnya cucu perempuan dari anak perempuan adalah dzawul
arham.Waris yang mula-mula menghubungkan dia dengan mayat ialah anak perempuan.
Maka cucu perempuan itu ditempatkan pada anak perempuan dan akan menerima
pusaka sebanyak pendapatan anak perempuan.”[12]
Khusus cucu dari anak
laki-laki yang bapaknya meninggal lebih dahulu dari pewaris, mereka menggunakan
doktrin waris pengganti dari zaid bin Stabit dalam hadist mauqufnya yang
diriwayatkan Imam Bukhari dan garis-garis hukumnya ialah sebagai berikut :
a. Cucu laki-laki dari anak laki-laki berkedudukan sederajat dengan anak
laki-laki, sebab cucu laki-laki tersebut dapat mengganti kedudukan ayahnya yang
sudah meninggal lebih dahulu daripada pewaris.
b. Anak perempuan dari anak laki-laki, berkedudukan sederajat dengan anak
perempuan, karena cucu perempuan tersebut dapat menggantikan kedudukan ayahnya
yang sudah meninggal lebih dahulu daripada pewqris, asalkan pewaris juga tidak
meninggalkan anak laki-laki maupun perempuan atau hanya anak perempuan saja
dari pewaris;
c. Apabila
pewaris meninggalkan seorang anak perempuan, dan seorang anak laki-laki dari
anak laki-laki, maka bagian cucu kai-laki tersebut tidak dua kali anak
perempuan, akan tetapi cucu laki-laki dari anak laki tersebut mendapatkan
sisanya saja.
d. Cucu
laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan, tidak berhak menduduki
kedudukan anak laki-laki atau perempuan dengan menggantikan kedudukan ibu atau
ayahnya, karena keduanya tergolong dzawul arham.[13]
Gagasan tersebut di lontarkan oleh antara
lain K.H.Abdul Halim,SH., dekan Fakultas Hukum Universitas Jember dan K.H.Aziz
Masyhuri dari Pondok Pesanten Den Anyar Jombang.
2. Para sarjana
hukum yang dalam seminar KHI dipelopori oleh alm.KH.Khalid SH dan Yahya Harahap
SH, keduanya menjabat hakim Agung, berpendirian bahwa anak-anak dari anak
perempuan pewaris merupakan waris pengganti mawali dari ibunya,
sesuai dengan ajaran kewarisan bilateral drai Prof.DR. Hazairin yang sejajar
dengan ajaran kewarisan aliran Syi‟ah. Menurut beliau ayat 7 surah Annisa‟ telah menghapus system kewarisan hukum adat Arab pra
Islam yang bersifat unilateral patreleneal. Maka cucu-cucu keturunan anak
perempuan atau anak laki-laki, menduduki ibunya atau bapaknya yang meninggal
lebih dahulu, sewbagai waris pengganti sebagaimana dimaksud oleh ayat 33 Surat
An-Nisa‟.
3. Para
cendikiawan dan ulama yang tidak termasuk golongan kesatu dan kedua tersebut
menafsir ulang ayat 33 surat An-Nisa‟. Alur berfikir mereka ialah sebagai bereikut :
a. Di belakang kata “walikullin” ada kata mudlaf ilaih yang dibuang
serta digantikan dengan tanwin.kata-kata yang dibuang tersebut, kemungkinan
berupa kata “muristin”, atau kata “malin” atau kata “waristin”
atau “nasin”.[14]14
Kelompok ketiga berpendapat bahwa kata yang dibuang tersebut ialah “waritsin”,
sesuai dengan system kewarisan yang dipancang kan oleh ayat 7 surat an-Nisa‟ tersebut.
b. Sedang kata
mawali artinya “waratsah muwallun” artinya ahli warits yang diberi kuasa
menduduki kedudukan dari ahli waris yang menurunkannya.[15]15
c. Maka tafsir
ayat 33 surah an-Nisa‟ tersebut ialah
: “walikulli waritsin waratsatun mualluna muakkalina au lahum aw menazzalina
manzilatahum………………….”
Penafsiran tersebut
diperkuat oleh hadist diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dengan sanad yang kuat
bahwa Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas‟ud keduanya menempatkan bintul binti, cucu dari anak perempuan, sama dengan
binti dan bintul akh sama dengan akh dan bintul ukhti sama dengan ukhti,
kedudukan „ammah sama dengan ayah, dan khalah menerima sama dengan ibu.[16]
Akhirnya semua peserta seminar KHI sepakat
bahwa keturunan laki-laki atau perempuan yang bapaknya atau ibunya meniggal
lebih dahulu daripada pewaris, mendapatkan bagian warisan sebagai waris
pengganti. Dasar pendapat ini ialah ketiga argumentasi tersebut di atas
ditambah bahwa Undang-undang kewarisan Pakistan terakhir mengadopsi doktrin
waris pengganti.[17]
1. Bagian
anak laki-laki dua kali anak perempuan, sebab ayat 11 surat Anisa‟ telah menetapkan bahwa “lidza-dzakari
mitslu hadhdhil untsayain” dan ini merupakan nash yang “qathiyyul wurud
waddalalah‟ .
2. Bagian
anak perempuan separo bagian anak laki-laki, dapat dirubah, sebab ketentuan
ayat 11 surat Ani-nisa‟ masih
mungkin difahami bahwa bagian anak laki-laki dua kali bagian perempuan dan
ketentuan syariat merupakan batas (hudud) yang tidak boleh dilanggar,
menurut teori dari Zainuddin Sardar.
3. Bagian anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan,
ketentuannya dapat berubah, sebab menurut KH.Ammar dan KH Jamaluddin, ketentuan
tersebut dilator belakangi kodisi social masyarakat Arab ketika turunnya ayat
tersebut, sedang menurut ketentuan dasar syariiat bahwa kedudukan perempuan
setara dengan kedudukan laki-laaki, apabila kondisi social berubah, maka
ketentuan tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan sosia, sesuai dengan
kaidah “al-hukmu yaduru maal „illati wujudan wa „adaman”
Mayoritas
peserta seminar KHI mendukung pendapat bahwa bagian laki-laki dalam kewarisan
dua kali bagian perempuan, sebab kalau ketentuan ini dirubah akan merubah
subsistem hukum keluarga Islam, tetapi mereka setju dicantumka klausul pada
akhir KHI bahwa hakim dalam mengadili harus memperhatikan perubahan social.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan bahwa
di dunia Islam termasuk Indonesia kini, telah dilakukan pembaharuan hukum
Kewarisan Islam, seirama dengan perubahan social di era modern. Perempuan telah
mendapatkan perlakuan hukum yang setara dengan kaum laik-laki. Khusus di
Indonesia, pembaharuan hukum kewarisan Islam terbur terletak di putusan hakim
Peradilan Agama.
K E P U S T A K A A N
Abdullah Al-Imam, Muhammad bin. “I‟lamu An-Nubala‟ bi Ahkami Mirasti
An-Nisa‟ “.(Jakarta :Emb
un Publishing.2008).
Ahmad Ibrahim Darrakah, Yasin. “Al-Miratst
fi Asy-Syari‟ah
Al-Islamiyyah”. ( „Amman : Daru Al-Arqam : 1983)
Al-Ajhuri, Muhammad Ridla. “Al-Juzdur
At-Tarihiyyah li Majjalati Al-Ahwali Asy-Syakhshiyyah”. (Tunis : Irhaqshat Rukyah Jadidah :1999)
Ali,
Ashghar. The Right of Women in Islam.(Selangor : IBS Buku Sdn Bhd. 1992)
An-Na‟im, Abdullahi Ahmed. “Toward an Islamic Reformation”. (New York : Cyracus
Univerity Press, 1996)
„Azizy,
A.Qadri. Hukum Nasional (elektisme Hukum Islam & Hukum Umum. (Jakarta :
Traju.2004)
Arto, Mukti Arto. Hukum Waris Bilateral
dalam Kompilasi Hukum Islam. (Solo : Balqus Qween , 2009).
Bugha,Mushthafa Dib. “Ar-Rahbiyyah fi
„Ilmi All-Faraidl” (Damascus : Dar Al-Qalam.1984)
Coulson, Noel J. Hukum Islam dalam
Perspektif Sejarah. (Jakarta : P3M.1987)
Departemen Agama.Undang-undan Nomor 1
Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam.
(Jarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.2004) 16
Doi.
Bdur-Rahman. Women in Shari‟ah.(Kuala
Lumpur : A.S.Noordeen.1990)
Friedman,
Lawrence M. Sistem Hukum (Perspektif Imlu Sosial). (Bandung : Penerbit
Nusa Media. 2009)
Fadllu
Allah, Mahdi, Al-„Aqlu wa Asy-Syari‟ah (Beirut
: Dar Ath-Thiba‟ah 1995)
Hassan,
Rif‟at. “Al-Islam wa Huququ
An-Nisa‟. (Damascus
:Dar Al Hashad lin-Nasyri wa At-Tauzi‟1998)
Kulliatu
Asyari‟ah Bi Jami‟ah Alazhar. “Ahkam Al-Mawarist fi Alfiqhi
Al-Islami”. (Kairo : Maktabah Ar-Risalah.2001)
Mallat,
Chibli dan Jane Connor. Islamic Famly Law. (London :Graham&Trotman. 199)
Muhammad
Ja‟far, „Ali. “ nasy-„ah
Al-Qwanin wa Taththawwuruha” (Beirut : Al-Muassah llil Jam‟ah liddirasah wan Alnasyr wat At-Tauzi. 2002)
Musthafa dan Abdul Wahid. Hukum Islam
Kontemporer. (Jakarta : Sinar Grafika.2009)
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan
Sosial. (Yogyakarta : Genta. 2009)
Al.Sayis, Muhammad „Ali. “Tafsir Ayati
Al-Ahkam”.
Siddik, Abdullah. Hukum Waris Islam.(Jakarta
: Wijaya.1984)
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Keluarga.
(Jakarta : Rineka Cipta. 2004)
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam.
(Jakarta : Sinar Grafika.2004)
Usman, Rahmadi. Hukum Kewarisan Islam.
(Bandung : Mandor Maju. 2009)
Az-Zuhaili, Wahbah. “At-Tafsir Al-Munir”(Beirut
: Dar Al-Fikri al-Mu‟ashir.1991)
[1] Abdullah Siddik., Hukum
waris Islam, (Jakarta : Wijaya, 1984), hal.1
[2] Yasin Ahmad Ibrahim Darrakah, Al-Mirast fi
Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, (‘Amman : Dar ar-Arqam), hal 37-38 3
[3] Ibid. hal. 21-38
[5] Ibid. hal. 49-50
[6] ghghg
[7] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an
Islamic Reformatiom, (New York : Syracuce University Press,199o), ha.44-46
[9] Wahbah
Azzuhaili dalam bujkunya At-Tafsir al-Munir jilid V halaman 50 memberikan
komentar antara lain : “Ringkasnya bahwa harta peninggalan dibagi sebagaimana
dijelaskan surat an-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176, yaitu sanak keluarga dari
pewaris menurut garis hubungan keluarga ke atas, ke bawah, dan kesamping. Namun demikuian tidak dilarang berwasiat, bagi saudara-saudara
yang diikat dengan perjanjian persaudaraan atau bagi anak-anak angkat”
[10] Fiksi hukum
menurut ilmu fikih disebut hilah, jamaknya hial. Fikh mazhzb Hanafi, dan hukum ekonomi Islam banyak
menggunakan ini.
[11] Yasin Ahmad Darrakah, Opsit. Hal,44
[12] Abdullah Siddik. Opcih. Halaman 135
[13] Rahmadi Usman, SH. Mh,HUKUM kewarisan Islam. (Bandung :
Mandar Maju. 2009), hal. 105-106
[14] Muhammad Ali Sayis. Tafsir Ayatil Ahkam. Juz II
hal.93
[15] Wahbah Az-Zuhaili. Opcit. Juz VI Hal. 46
[17] Akhtar Ali Kureshe, “Family Laws Digest
(1978-2006, (Lahore : National Law Book House, -.-), hal.321 : “Applicability
and, scope. Predeceased son or daughter. Inheritance. Right to receive ashare
equal to share wich predesead son or daughter, if alive, wouled resived. Given
only to children of predecead son doughter. Any other heir (e.g. widow or
husband respectively of predeceased son or daughter). Notentiteled to inhirit
share.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar