Minggu,
17 Oktober 2010 01:20 Dr. Nur Rofi’ah
Hukum Keluarga adalah segala aturan, hukum,
dan perundangan yang menyangkut kehidupan berkeluarga. Beberapa negara
mempunyai aturan perundangan yang satu dan betul-betul disebut dengan Hukum
Keluarga (Family Law). Sementara negara lainnya mempunyai hukum keluarga yang
tersebar di berbagai aturan perundangan.
Dalam sejarah, sejak dulu hingga kini
hukum keluarga ini adalah satu-satunya hukum Islam yang selalu diterapkan oleh
masyarakat Muslim; baik mereka yang hidup di negara dan kerajaan Islam, seperti
Mesir dan Saudi Arabia; negara semi sekuler, seperti Indonesia dan Malaysia; negara
sekuler atau non Muslim, seperti komunitas Muslim di Singapura dan Amerika yang
tentu saja hanya diberlakukan untuk komunitasnya sendiri. Hal ini berarti bahwa
hukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan sebuah keluarga hampir bisa
dipastikan diterapkan baik secara formal maupun non formal oleh komunitas
Muslim tanpa menunggu sebuah negara menjadi Islam atau masyarakat menjadi
mayoritas dalam sebuah negara.
Upaya reformasi hukum keluarga yang adil
dan setara salah satunya dapat kita pelajari dari Maroko dengan dengan
Mudawanah-nya. Mudawanah telah mencapai prestasi yang cukup spektakuler dalam
melakukan reformasi hukum keluarga Islam yang didasarkan pada cara pandang yang
adil dan setara pada laki-laki dan perempuan baik dalam kedudukan mereka
sebagai suami dan istri, maupun orangtua dan anak.
Mudawanah
Maroko adalah sebuah negara berbentuk
kerajaan Islam dengan populasi sebanyak 31.993.000 jiwa. Jumlah ini sedikit
lebih banyak dari populasi Propinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk 30.775.846
jiwa. Bahasa utamanya adalah Arab dan bahasa Asing terpopulernya adalah
Perancis. Penganut Muslim mencapai 99 persen dengan mazhab Sunni. Jadi Muslim
Sunni dapat disebut sebagai mayoritas tunggal di negara ini. Pada 2004, Maroko
mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah, selanjutnya
disebut Mudawanah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang
ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah
abad.
Beberapa capaian signifikan dalam Hukum
Keluarga ini adalah adanya ketentuan sebagai berikut; (1) Keluarga adalah
tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya
bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga; (2) perempuan tidak
membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi
UU untuk menentukan sendiri calon suaminya dan menolak untuk dipaksa menikah
dengan lelaki yang bukan pilihannya; (3) batas usia minimum pernikahan bagi
laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di
mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, yang mengatur agar laki-laki
dan perempuan dari praktik pernikahan dini; (4) poligami mempunyai syarat yang
sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.
Capaian tersebut tentu saja diawali dengan
sejarah panjang dalam menentukan dan melaksanakan langkah-langkah strategis. Pertama,
melakukan koordinasi dengan aktifis-aktifis perempuan lintas sektoral. Koalisi
para aktifis perempuan diakui sebagai kekuatan dahsyat yang memungkinkan revisi
Hukum Keluarga ini. Kedua, merumuskan Hukum Keluarga seperti apa yang ingin
dicapai dan perubahan-perubahan apa yang dikehendaki. Ketiga, membangun
argumentasi teologis maupun non teologis yang kuat dari berbagai perspektif
termasuk HAM dan CEDAW. Keempat, melakukan advokasi ke pengambil kebijakan. Tuntutan
perubahan Hukum Keluarga dengan berbagai argumentasi tersebut dikemukakan
kepada anggota DPR yang mempunyai otoritas membuat UU, pemerintahan, dan partai.
Kelima, membentuk opini publik agar masyarakat memahami dan menyadari apa yang
sedang diperjuangkan, baik melalui media, demonstrasi di jalan-jalan dan
memobilisasi massa dari berbagai elemen masyarakat dan kekuatan politik.
Keberhasilan gerakan Mudawanah dalam
melahirkan hukum keluarga (al-Mudawanah al-Usrah) yang adil dan setara ini
tidak bisa dilepaskan dari peran penting Raja Muhammad al-Malik as-Sa'id
sebagai pemilik otoritas tertinggi di bidang politik sebagai pemimpin negara
sekaligus otoritas tertinggi di bidang agama sebagai pemimpin para Ulama di
Maroko. Pada awalnya perlunya revisi hukum keluarga untuk menjamin keadilan
bagi laki-laki sekaligus perempuan ini selalu dibahas di mana saja hingga ke
kerajaan. Setelah proses yang cukup lama akhirnya tuntutan perubahan Hukum
Keluarga tersebut mendapat sambutan yang positif dari Raja dengan dibentuknya
Komisi Khusus yang menelaah draft usulan
perubahan Hukum Keluarga dan selalu melibatkan kalangan aktifis perempuan dalam
setiap pembahasannya. Setelah tiga tahun diproses oleh Komisi Khusus ini, akhirnya
Raja mengesahkan Revisi Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) pada 2004.
Proses perjuangan tidak kalah penting
dengan hasilnya. Ditetapkannya Hukum Keluarga yang mengakomodir perempuan dalam
setiap prosesnya merupakan jalan bagi terwujudnya demokrasi bagi perempuan di
Maroko. Tentu peran serta Raja tidak bisa diabaikan dalam hal ini karena ia
sendirilah yang menghadapi serangan dari kelompok Muslim Konservatif. Namun
tidak sedikit dari kalangan konservatif yang kemudian menyetujui revisi
tersebut dan menyadari bahwa penolakan tersebut bukanlah soal agama melainkan
politik. Misalnya, mereka mengatakan bahwa keharusan ijin wali bagi perempuan
untuk menikah hanyalah soal politik (bukan agama).
Salah satu catatan penting dari
keberhasilan reformasi Hukum Keluarga di Maroko ini adalah pentingnya membangun
argumentasi yang didasarkan pada tradisi agama dan sosial Maroko sendiri
sehingga masyarakat dapat diyakinkan bahwa reformasi ini adalah dari dan untuk
mereka sendiri. Perspektif sosial merupakan argumen yang utama. Perubahan
sosial saat ini telah memungkinkan banyak perempuan terlibat dalam mengurus
negara dengan menjadi anggota legislatif dan menjalankan tugas negara. Tidak
mungkin ketika perempuan bisa mengendalikan negara, tidak bisa mengendalikan
diri sendiri. Artinya, dalam era di mana seorang perempuan yang sudah bisa
mengendalikan negara dengan menempati berbagai jabatan strategis negara, pastilah
para perempuan lainnya telah bisa mengendalikan diri sendiri.
Secara teologis pun ternyata banyak
ditemukan tradisi pemikiran Islam di berbagai bidang yang dapat dijadikan
argumentasi untuk mendukung perubahan Hukum Keluarga ini. Sayangnya baik ayat, hadis,
maupun pandangan para ulama klasik yang mendukung dan mendorong lahirnya
keadilan gender dalam keluarga Muslim ini kalah dengan berbagai macam
kepentingan yang bertentangan dengannya. Apa yang terjadi di Maroko
sesungguhnya merupakan contoh konkrit di mana Islam selalu ditafsirkan ulama
dalam konteks politik tertentu, lebih-lebih jika melibatkan penguasa. Tafsir
dapat melahirkan ketidakadilan bila dilakukan dengan asumsi yang tidak adil dan
oleh subyek yang tidak adil. Namun, juga bisa melahirkan dan menjamin keadilan
bila dilakukan oleh pemegang otoritas yang adil dan mempunyai cara pandang yang
adil pada laki-laki dan perempuan sebagaimana terjadi Maroko.
Jika keadilan gender telah terjadi
semenjak dalam keluarga, maka mimpi tentang dunia yang adil pun dapat lebih
mudah menjadi nyata. Wallahu a'lam. [] (Sumber tulisan: Diskusi bersama Rabea
dan Amina; aktifis perempuan Maroko di Kantor Komnas Perempuan Jakarta, pada
tanggal 14 April 2010 dan sumber lainnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar