Kamis, 15 Maret 2012

KEDUDUKAN PEREMPUAN SEBAGAI WALI NIKAH PERBANDINGAN HUKUM WALI NIKAH DI JORDANIA, ARAB SAUDI, MAROKO, MALAYSIA DAN INDONESIA



KEDUDUKAN PEREMPUAN SEBAGAI WALI NIKAH PERBANDINGAN HUKUM WALI NIKAH DI JORDANIA, ARAB SAUDI, MAROKO, MALAYSIA DAN INDONESIA

Oleh SUGIRI PERMANA[1]

A. Pendahuluan

Turki menjadi trigger dalam memodernisasi hukum keluarga, bermula dari Majallah al-ahkam al adhiya yang telah dipersiapkan sejak tahun 1876 M. Kemudian pada tahun 1917 disahkannya the ottoman law of family rights[2]. Kalahnya Turki dalam perang dunia I [3]membuat situasi dalam negeri berubah. Tepatnya tanggal 3 Maret 1924 M, Musthafa Kamal “Ataturk” mengumumkan penghapusan Khilafah, sekaligus memproklamirkan berdirinya Republik Turki Sekuler, seraya melepaskan tanggung jawabnya terhadap negeri-negeri Islam yang telah diduduki orang-orang non muslim pada Perang Dunia I.3 Pada tahun 1926 Turki menetapkan hukum keluarga baru The Turkish civil code of 1926 yang mengadopsi hukum keluarga Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland, 1912). Beberapa undang-undang ini diamandemen, pertama kurun waktu 1933-1956 dan 1988-1992 (salah satunya perceraian dapat terjadi karena kesepakatan).[4]
Usaha kodifikasi hukum Turki, dengan segala akibat dari sistem politiknya yang telah melepaskan daerah kekuasaan Ottomannya, telah menyebabkan usaha yang sama pada negara muslim lainnya. Kemudian menyusul Mesir pada tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan Pada tahun 1961 dan Indonesia pada tahun 1974 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.[5]
Tahir Mahmood membagi penerapan hukum keluarga pada negara-negara (berpenduduk) muslim menjadi tiga bentuk : Pertama negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional yang banyak di jazirah Arab dan beberapa negara Afrika yaitu Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia, dan lain-lain. Kedua Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler, dalam kategori ini adalah Turki, Albania, Tanzania, minoritas muslim Philiphina dan Uni Sovyet. Bagi negara berpenduduk mayoritas muslim, mengganti hukum keluarga dengan hukum yang bersumber dari Eropa (Turki dari Swiss), atau negara dengan penduduk minoritas muslim tapi harus tunduk pada aturan hukum negaranya. Ketiga adalah Negara yang menerapkan hukum keluarga yang diperbarui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei, Singapore dll.[6]
Setidaknya ada tiga belas permasalahan hukum keluarga dalam proses transformasi hukum keluarga yaitu Pembatasan umur perkawinan, Kedudukan wali nikah, Pencatatan nikah, Aspek biaya dalam pernikahan, seperti mahar dan biaya nafkah, Poligami dan hak istri, Pemeliharaan terhadap istri dan keluarga selama pernikahan, Perceraian, Nafkah istri setelah cerai, Masa iddah, Hak kedua orang tua terhadap pemeliharaan anak, Hak waris, Wasiat wajibah dan wakaf Dari permasalahan hukum keluarga di atas, masing-masing negara mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan hukumnya. Kondisi adat istiadat serta dominasi mazhab tertentu seringkali menjadi latar belakang untuk menentukan suatu peraturan hukum. Berkenaan dengan permasalahan di atas, makalah ini akan membahas mengenai kedudukan perempuan sebagai wali nikah merupakan penelitian terhadap wali nikah dengan mengambil obyek penelitian pada hukum keluarga di Jordania, Saudi Arabi, Maroko, Malaysia dan Indonesia. Pilihan ke lima negara tersebut, selain diambil dari tiga benua yang berbeda juga menunjukkan dominasi mazhab yang berbeda. Jordania lebih menonjol mazhab Hanafi, Saudi Arabia mazhab Hanbali, Maroko mazhab Maliki adapun Malaysia dan Indonesia lebih dominan mazhab Syafii.

B. JORDANIA
Jordania merupakan negara yang baru diakui kemerdekaannya pada tahun 1946, sebelumnya masih bernama Transyordania dan sebutan negara diganti menjadi Yordania di tahun 1949. Sebelum merdeka, Jordania merupakan bagian dari territorial kerajaan Otoman, yang akhirnya berakhir setelah perang dunia satu, wilayah bagian ini sempat menjadi suatu wilayah kontrol dari Perancis dan Inggris dimana bagian wilayah dari sungai Jordan ke arah Timur berada di bawah kontrol Inggris sampai ke wilayah Palestina di bagian Barat sungai Jordan.[7]
Sebagaimana negara-negara Arab lainnya, berdirinya negara Yordania yang dikenal dengan sebutan al-Mamlakah al-Urdunniyah al-Hashimiyah (al-Urdun) tidak lepas dari politik penjajahan imperialis Barat di Timur Tengah pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Sama seperti Saudi, Irak dan negeri-negeri Arab lainnya, Kerajaan Yordania merupakan bentukan penjajah Inggris yang memberontak terhadap Khilafah Islam yang berpusat di Turki. Tidak aneh jika penguasa Yordan kemudian menjadi penguasa yang tunduk pada kepentingan penjajah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat.[8]
Pasca Perang Dunia I, Yordania, yang sebelumnya dikenal dengan Trans Yordania, merupakan bagian dari Kerajaan Arab Suriah. Inggris dan Prancis kemudian bersepakat untuk saling membagi daerah ini. Suriah berada di bawah pengaruh Perancis, sementara Inggris mendapat bagian Trans-Yordania berdasarkan konferensi di San Remo. Inggris kemudian mengangkat Abdullah ibn Hussein sebagai pemimpin wilayah Trans-Yordania. Abdullah sendiri adalah saudara dari Faisal yang memimpin Revolusi Arab untuk memberontak dari Kekhilafahan Islam. Faisal berasal dari keluarga Hashemite (Hasyimiyah). Ia pernah menjadi penguasa di Makkah namun kemudian diganti oleh penduduk setempat. Jadi, sejarah pembentukan negara Yordania tidak bisa dilepaskan dari keluarga Hashemite dengan bantuan Inggris.
Abdullah menjadi pemimpin Trans-Yordania setelah ditunjuk oleh sekretari kolonial Inggris saat itu, Winston Churchill. Dia dikukuhkan pada 1 April 1921 dengan subsidi dari Inggris sebesar 5.000 poundterling setiap bulan. Negeri ini hidup di bawah bantuan Inggris yang memberikan subsidi 100.000
pounsterling setiap tahun pada tahun 1920-an dan meningkat menjadi 200.000 pounsterling pada tahun 1940-an. Inggris kemudian memberikan hadiah kemerdekaannya kepada Yordania pada 22 Maret 1946. Namun jelas, pemberian kemerdekaan ini hanyalah „akal-akalan Inggris saja untuk tetap mempertahankan penjajahannya di Dunia Islam. Inggris tentu ingin agar penguasaannya di Yordania tetap ada. Karena itu, berdasarkan perjanjian aliansi di London tanggal 26 Maret 1946, Inggris memberikan kemerdekaan dengan pola yang sama dengan perjanjian Inggris-Irak. Melalui perjanjian ini, Inggris mengakui kemerdekaan Trans-Yordania (Yordania), menyetujui perwakilan diplomatik, sanggup memberikan subsidi kepada Legiun Arab, dan berusaha mempertahankan Emirat dari pihak luar. Sebagai imbalannya, Inggris berhak menempatkan tentaranya di wilayah Trans-Yordania, menggunakan fasilitas komunikasinya, dan melatih angkatan perang Abdullah. Kedua negara setuju dengan „konsultasi penuh dan terbuka dalam segala urusan politik luar negeri yang bisa mempengaruhi kepentingan bersama mereka.

Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Jordania
Di wilayah Jordania sebenarnya sudah berlaku mengenai hukum keluarga sejak tahun 1917 yaitu berdasarkan mazhab Hanafi yang ditetapkan di Kerajaan Turki Usmani yang dikenal dengan The Turkish Ottoman Law of Family Rigt 1917. Pada tahun 1951, pemerintah (lembaga Legislatif) Jordania mengganti undang-undang tersebut dengan hukum yang baru yang dikenal dengan al Qanun al huquq al-‘Aila (the law of Family Rigt).
Undang-Undang ini telah diamandemen pada tahun 1976 The Code of Personal Status 1976 dan amandemennya UU Nomor 25 tahun 1977.[9] Ketentuan wali dijelaskan pada Pasal 9 hingga Pasal 13. Wali dalam pernikahan adalah urutan ashobah binafsihi dalam urutan waris menurut mazhab Hanafi.[10] Seorang wali haruslah berakal, baligh dan seorang muslim. Apabila kedudukan wali berada pada beberapa orang yang sama derajatnya, kerelaan seorang wali diantara para wali akan menggugurkan hak lainnya. Jika ternyata wali aqrob tidak ada, demi kemaslahatan urutan wali tersebut berpindah pada wali berikutnya. Tidak dipersyaratkan adanya kesesuaian kehendak antara wali dengan janda yang berusia 18 tahun atau lebih.
Hukum keluarga Jordania juga membahas mengenai wali adlol pada pasal 6. Ketentuan wali juga berhubungan dengan usia pernikahan. Wali adhol ditetapkan oleh hakim apabila ternyata walinya enggan menikahkan anaknya. Dalam hal tidak ada wali ayah dan kakek, penetapan wali adlol dapat dilakukan sampai batas usia 15 tahun, akan tetapi apabila ada wali ayah atau kakek, wali adlol baru dapat dipertimbangkan apabila usia calon mempelai 18 tahun. Kedudukan wali dalam pernikahan dapat saja diabaikan terhadap janda yang berusi 18 tahun atau lebih.
Apabila diteliti pasal demi pasal yang berkaitan dengan wali, terdapat ambiguitas mengenai kedudukan wali tersebut. Pasal 14 dan 16 hanya mengharuskan sahnya sebuah pernikahan dengan adanya ijab qabul yang disertai dua orang saksi. Seorang wali nikah menjadi penting bagi peremuan (gadis maupun janda) apabila berusia kurang dari 18 tahun, sehingga apabila perempuan tersebut lebih dari usia 18 tahun ia dapat menikahkan dirinya sendiri. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 22 menyebutkan bahwa, ….seorang gadis atau janda yang berusia 18 tahun dan tidak ada walinya, kemudian ia menikahkan dirinya…. Dengan demikian, kedudukan wali bukan menjadi suatu keharusan dalam akad nikah.
Meskipun wali bukan satu kewajiban dalam pernikahan, dalam beberapa hal, kedudukan wali menjadi penting, yaitu :
1. Seorang wali (juga pihak istri) dapat mengajukan fasakh nikah, dalam hal seorang wali menikahkan anaknya (gadis/janda) dengan seseorang yang telah diketahuinya dan dipersyaratkan adanya sekufu dalam pernikahan, namun kemudian ternyata si suami tidak sekufu (pasal 21). Sebaliknya apabila tidak dipersyaratkan sekufu dalam akad, maka ketidak tahuan tidak sekufunya tersebut tidak memberikan hak bagi wali ataupun pihak istri untuk mengajukan fasakh nikah.
2. Seorang wali dapat mengajukan pembatalan fasakh nikah, apabila ternyata anaknya (gadis ataupun janda) yang menikahkan dirinya kepada seorang lelaki yang tidak sekufu. Penilaiannya terletak pada kufu, bukan pada besarnya mahar, karena meskipun maharnya bukan mahar mitsil akan tetapi masih sekufu, wali tidak dapat mengajukan fasakh nikah (pasal 22). Hakim akan mengabulkan permohonan fasakh tersebut apabila si istri tidak ternyata dalam keadaan hamil (Pasal 23). Penilaian kafaah dilihat pada saat akad nikah yakni kemampuan untuk membayar mahar kontan serta kemampuan untuk membiayai kehidupan bersama istrinya.
3. Kedudukan wali yang bukan haknya untuk menikahkan menyebabkan pernikahannya menjadi fasid.

Yang menjadi wali nikah adalah ayah dan kakek serta laki-laki dalam garis ashobah binafsihi. Seseorang dapat menjadi wali setelah diketahui bahwa dia adalah mukallaf. Meskipun Jordan mayoritas bermazhab Hanafi, namun hukum keluarga Jordan menganggap penting posisi wali dalam pernikahan padahal dalam mazhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban dalam melakukan pernikahan.[11] Terlepas dari usaha penghargaan terhadap kualifikasi perempuan di depan hukum, dengan berpedoman pada mazhab Hanafi Jordania selangkah lebih maju dalam menempatkan perempuan untuk melakukan pernikahan. Bagi seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun atau lebih (tingkat kedewasaan perempuan), ia dapat menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki yang ia pilih. Adanya kewenangan orang tua/wali dalam pernikahan bagi perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun, menunjukkan adanya tanggung jawab orang tua bagi anaknya yang belum dewasa.

C. SAUDI ARABIA

Saudi Arabia terletak di bagian Barat Daya benua Asia, dan menempati bagian terbesar dari semenanjung Jazirah Arab (2.000.000 km2). Letak yang istimewa ini menjadikannya memiliki hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan kuno yang telah terbentuk di Timur Tengah. Berbatasan di sebelah utara dan timur laut dengan Yordania, Kuwait dan Irak. Di sebelah selatan berbatasan dengan Republik Yaman. Di sebelah Timur Teluk Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kesultanan Oman. Di sebelah barat laut Merah.[12]
Sistem pemerintahan di Saudi Arabia adalah Kerajaan (Monarki). Kabinet bersama Raja merupakan kekuasaan eksekutif dan regulatif dalam Negara. Perdana Menteri adalah Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud, dan Putra Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur Jenderal. Sistem Judikatif bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. [13]

Akar sejarah Kerajaan
Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di "Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M. Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, kembali kota Riyadh yang merupakan ibu kota bersejarah kerajaan ini. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam. Di atas prinsip inilah, para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd. [14]
Sejarah panjang kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran seseorang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang bermazhab Hanbali dan berusaha keras memurnikan ajaran ketauhidan. Ia berasal dari dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dariyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Pada sekitar tahun 1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dariyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin „Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Muhammad bin „Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin „Abdul Wahab. [15]
Tahir Mahmood mengkatagorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki.[16] Namun sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak adanya peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka untuk melacak hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad bin Hanbal. Wali dalam mazhab Hanbali hukumnya wajiib, bahkan pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali.[17]
Seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan tidak dapat menikahkan untuk perempuan yang lainnya baik atas izin walinya ataupun tidak. Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam hal hukuman, mengingat pernikahan tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga tidak ada hukuman bagi pelaku pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek kemudian saudara. Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih dekat masih ada, menyebabkan pernikahannya batal.[18]

D. MAROKO
Saat ini penduduk Maroko berjumlah 33.723.418 jiwa, 99 % adalah muslim penganut sunni Maliki.[19] Maroko adalah negara yang berbentuk kerajaan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-mamlakah al-maghribiah (kerajaan yang di Barat), terkadang juga disebut dengan al maghrib al aqsha (kerajaan yang terjauh di Barat). Dalam Bahasa Inggris disebut dengan Marocco, yang berasal dari bahasa Spanyol Maruecos, bahasa latinnya Morroch, di masa pra modern Arab dikenal dengan Marrakesh. Maroko mencapai kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1956 dengan sistem kerajaan konstitusional yang berada di Barat Laut Afrika[20].

Sejak awal abad 20, Maroko berada di bawah kekuasaan “perlindungan” Prancis. Pada bulan Agustus 1953, Ahmed Belbachir Haskouri, salah seorang tangan kanan Sultan Muhammad V memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah. Pada Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang dibentuk oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung pertahanan dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di atas, bersama peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di kalangan orang Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa revolusi yang digerakkan oleh Raja dan Rakyat atau Taourat al-Malik wa Shaab dan dirayakan setiap tanggal 20 Agustus.[21]

Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga Maroko
Bentuk peraturan hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah lama mendominasinya yaitu Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut adalah adanya kodifikasi hukum keluarga yang dikenal dengan code of Personal Status atau mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah yang terjadi pada tahun 1957-1958. Terakhir hukum keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2004 yang disebut mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah al jadidah fil al maghrib. Undang-Undang ini berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1957.
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi : kebolehannya seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya). Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya.
Apabila dibandingkan dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab Hanafi dalam masalah wali, tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan pemahaman terhadap kewenangan perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap bahwa perwalian bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu sendiri.

E. MALAYSIA
Kekuasaan Malaysia terletak pada Yang di-Pertuan Agong[22]. Sedangkan pelaksanaan eksekutif dilakukan oleh Perdana Menteri. Kekuasaan negara terletak pada kerajaan pusat yang beribu kota di Kuala Lumppur dengan terdiri dari 13 kerajaan negeri federasi yaitu Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak, Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuandiantaranya Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya.[23] Malaysia berpenduduk sekitar 27.300.000 jiwa dengan penduduk muslim 60,4 % dari total penduduknya. Muslim Malaysia mayoritas bermazhab Syafii.[24]

Pemerintah Negeri Melayu. Malaysia telah melakukan pemilihan raja sejak merdeka dari Inggris pada 1957.[25] Dalam tatanan unik, raja dipilih oleh dan digilir di antara para raja dari sembilan negara bagian Malaysia yang masih dipimpin raja. Empat negara bagian lain tak dipimpin oleh raja. Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem Pergiliran kekuasaan.

Negara Malaysia pernah berada di bawah kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits Settlement ( Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States ( Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States (Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan Malaysia. Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957.

Hukum Keluarga Malaysia
Sejak tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk diberlakukan di Negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore). Sebelum masuknya Inggris hukum yang berlaku adalah hokum Islam yang masih bercampur dengan hukum adat, menurut Abdul Munir Yaacob mengatakan bahwa undang-undang yang berlaku dinegara-negara bagian sebelum campur tangan inggris adalah adat pepatuh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negarasembilan dan beberapa kawasan di Malaka, dan adapt Temenggung dibagian semenanjung. Sedangkan orang Melayu di Serawak mengikuti Undang-undang Mahkamah Melayu Serawak.
Undang-undang tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam maslah perkawinan, perceraian dan jual beli. Sementara untuk Negara-negara Melayu bersekutu ( perak, Selangor, Negeri sembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885 dan untuk Negara-negara Melayu tidak bersekutu atau Negara-negara bernaung (kelantan, terengganu, perils, Kedah dan Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907. Menurut Khoiruddin Nasution bahwa setelah terjadinya pembaharuan UU Keluaraga Malaysia maka apabila dikelompokan maka Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di Malaysia akan lahir dua kelompok besar:
1. UU yang mengikuti akta persekutuan yakni Selangor, Negeri Sembilan, pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Serawak dan Sabah
2. Kelantan, Johor, Malaka, dan Kedah meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada perbedaan yang cukup menyolok, yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan sebanyak 49 kali.

Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Malaysia
Pada kurun waktu 1983-1985 terdapat beberapa peraturan hukum keluarga di Malaysia. Tahun 1983, dikeluarkan hukum keluarga Islam di Klantan, Negri Sembilan dan Malaka. Tahun 1984 di Kedah, Selangor dan wilayah Persekutuan serta tahun 1985 di Penang. Hukum Keluarga Islam Malaysia tahun 1984 (yang berlaku di wilayah federal) telah menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu Selangor Enactment tahun 1952 yang terdiri dari 135 Pasal. Undang-Undang ini isinya hampir sama dengan undang-undang yang berlaku di wilayah lainnya yang ditetapkan antara tahun 1983-1985. [26]
Latar belakang mazhab yang dianut di sebagian besar masyarakat muslim Malaysia yaitu mazhab Syafii [27]sangat berpengaruh pada hukum keluarganya27. Perempuan tidak mempunyai hak sama sekali untuk menikahkan dirinya dengan orang lain, karena hak wali berada pada ayahnya (dan seterusnya) bukan pada dirinya sendiri. Hukum keluarga di Malaysia mengenal adanya wali mujbir yaitu ayah dan kakek serta wali raja yang dalam fiqh di kenal wali hakim. Kedudukan wali dalam hukum keluarga Malaysia sangat penting, hal ini dituangkan pada Pasal 7 yang menerangkan bahwa untuk sebuah pernikahan dapat dilakukan oleh seorang wali di depan petugas, oleh wakil wali atau oleh petugas pencatat nikah yang bertindak atas nama wali. Apabila wali nasab tidak ada, wali raja bertindak untuk menjadi wali pernikahan.
F. INDONESIA
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk mayoritas muslim dan merupakan penduduk muslim terbesar di antara negra-negara yang berpenduduk muslim. Dengan jumlah penduduk 228,582,000 jiwa, 86,1 % nya adalah muslim. Sebagian besar muslim di Indonesia merupakan golongan sunni dengan mayoritas menganut mazhab Syafii. Banyak teori yang mengemukakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia bermazhab Syafii.
Tahir Mahmood menyebutkan Malaysia sebagai pusat pengembangan dari mazhab Syafii,Dari sudut pandang sejarah, meskipun terjadi silang pendapat mengenai Islam masuk ke Indonesia baik menurut abad ke tujuh menurut versi sejarawan muslim atau abad ke empat belas menurut versi sejarah Barat, menurut Amir Syarifudin[28], ternyata yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafii.[29]
Setidaknya ada dua kondisi yang memberikan dukungan terhadap perkembangan mazhab Syafii di Indonesia di mana perkembangan Islam di Indonesia (bila memakai teori pertama) pada abad 12 -13 Masehi, menunjukkan bahwa masa tersebut adalah masa di mana perkembangan hukum Islam sedang mengalami stagnan dan mengarah pada pintu ijtihad yang tertutup. Kedua disinyalir bahwa para penyebar Islam waktu itu mereka yang bermazhab Syafii.[30]Demikian juga dengan para kyai sepertinya dengan “sengaja” lebih mengutamakan ajaran dan pendekatan tentang hukum-hukum Islam yang dikembangkan oleh Imam Syafii bila dibandingkan dengan kitab-kita lainnya.[31]

Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga di Indonesia
Hukum keluarga di Indonesia telah hadir sejak tahun 1882, yakni sejak Stb 152 Tahun 1882 di mana pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan peradilan agama sebagai lembaga peradilan yang menyelesaikan sengketa hukum keluarga berkenaan dengan nikah, talak, waris dan waqaf. Sedangkan dalam segi hukum materiil, baru muncul pada tahun 1971 yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975. Sebenarnya sebelum undang-undang perkawinan lahir, telah ada ketentuan mengenai pencatatan nikah dan sanksinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahuun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk. Akan tetapi ketentuan ini kurang efektif dan ternyata undang-undang perkawinan yang dianggap sebagai cikal bakal hukum keluarga di Indonesia. Selain undang-undang perkawinan, sumber hukum keluarga di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam. Meskipun landasannya KHI ini adalah Inpres Nomor 1 Tahun 1991, namun dalam pelaksanaannya sudah menjadi bagian dari living law bahkan kedudukannya sudah menjadi bagian penting dari berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
30 Rumadi, Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri Penerbitan Hasil Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI 2007), h. 67-68 31 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 149.
Ketentuan wali dalam hukum pernikahan di Indonesia dapat ditemukan pada Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 23. Wali merupakan rukun (hal yang mesti ada) dalam suatu perkawinan. Tidak adanya wali dalam perkawinan menyebabkan pernikahannya batal. Wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah ayah, kakek dari pihak ayah, kemudian laki-laki dari pihak saudara, dari pihak paman dan laki-laki dari pihak saudara kakek. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali apabila tidak ada wali bagi calon mempelai istri atau karena adlolnya (tidak mau menikahkan) wali yang ada.

G. KAJIAN FIQH DAN HUKUM KONTEMPORER ATAS KEDUDUKAN WALI
Dalam pandangan mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali, wali merupakan syarat dalam pernikahan[32], sehingga dianggap tidak sah apabila pernikahan tidak memakai wali.[33] Para ulama sepakat mengenai kedudukan wali untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila ataupun yang kurang kemampuan akalnya. Akan tetapi apabila anaknya sudah balig, berakal Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Menurut Abu Hanifah, bagi yang berakal, baligh apalagi statusnya janda ia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Jumhur ulama tetap dengan pendapatnya semula, yaitu pernikahan akan sah jika adanya wali baik anak tersebut kecil, dewasa, balig ataupun janda. Menurut mazhab Hanabilah, tetap harus ada izin (persetujuan) baik janda ataupun gadis, sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafii persetujuan hanya untuk janda, apabila masih gadis tidap perlu mendapat persetujuan dari anak tersebut meskipun adanya persetujuan akan lebih baik bagi pernikahan yang akan dilangsungkan.[34]
Dalam pandangan Abu Hanifah dan Abu Yusuf, meskipun izin wali tidak diperlukan dalam sebuah pernikahan, wali mempunyai kewenangan apabila pernikahan yang dilangsungkan oleh anaknya ternyata dilakukan dengan lelaki yang tidak sekufu. Perbedaan yang cukup jauh antara pendapat Abu Hanifah dengan jumhur ulama, lebih karena disebabkan metodologi dalam pengambilan hukum. Aqad nikah dalam mazhab Hanafiyah dipersamakan dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup ijab dan qabul, kedudukan wali hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri yang masih kecil. Di sisi lain ulama Hanafiyah memandang tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai status wali baik dalam al Quran maupun hadits. Beberapa hadits Rasulullah yang menjelaskan mar’ah tidak boleh menikahkan sendiri, memberi makna sesuai lafadnya di mana mar’ah merupakan anak kecil yang belum dewasa sehingga tidak sah apabila ia menikahkan dirinya.[35]
Di samping itu, dalam ushul fiqh mazhab Hanafiyah, hanya menganggap sebagai suatu kewajiban (fardl) ketika dalil yang ditetapkan berasa dari Al Quran ataupun hadits mutawatir dengan penunjukkan hukum yang tegas.[36] Dalil-dalil al Quran yang menjadi hujjah keharusan wali oleh ketiga Imam, dipandang memberikan petunjuk secara langsung (z}onniy al dilalah) sehingga tidak dapat diambil kesimpulan bahwa wali adalah satu keharusan dalam sebuah pernikahan. Demikian halnya dengan hadits-hadits yang mengharuskan adanya wali statusnya tidak termasuk dalam kelompok mutawatir. Penerapan hukum keluarga pada negara Saudi Arabia, Jordania, Maroko dan Malaysia merupakan cerminan dari ke empat mazhab sunni. Demikian halnya dengan penerapan kedudukan wali dalam hukum perkawinan. Jordania merupakan negara hasil penetrasi Inggris (dengan corak common law), namun dalam menerapkan hukum keluarga lebih bersifat legalistik mengikuti Turki yang terpengaruh dengan sistem hukum Prancis code cipil, di mana hukum terwujud dalam sebuah perundang-undangan. Dengan latar belakang mazhab Hanafi, Jordania menerapkan hukum keluarga dengan pengaruh yang kuat dari mazhab Hanafi. Diantara penegasan mazhab Hanafi berkenaan dengan urutan wali dan hukum waris yang menisbahkan langsung pada mazhab Hanafi.
Dalam pembahasan mengenai wali nikah, hukum keluarga Jordania tidak mengharuskan wali pada pengantin perempuan di atas usia 18 tahun. Wali mujbir ayah dan kakek hanya sampai batas usia 18 tahun, sedangkan bagi selain ayah dan kakek hingga usia 15 tahun.[37] Seperti halnya dalam mazhab Hanafii, wali dapat mengajukan pembatalan nikah apabila anaknya menikah dengan lelaki yang tidak sekufu. Demikian pula dengan batasan umur untuk menikahkan sendiri, Imam Abu Hanifah memberi batasan 18 tahun bagi perempuan yang dapat menikahkan dirinya sendiri. Di Saudi Arabia dengan latar belakang penduduknya yang bermazhab Hanbali, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan pelaksanaannya, karena hukum yang berlaku pun bersifat tradisional (hukum adat dalam katagorisasi sistem hukum Indonesia) yakni tidak dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Hukum diterapkan merujuk pada Al Quran dan hadits dengan mengedepankan mazhab Hanbali dalam penerapannya. Malaysia termasuk negara yang cenderung memegang teguh mazhab yang selama ini berkembang di negaranya. Ketentuan mengenai perkawinan cenderung menerapkan apa yang terdapat dalam mazhab Syafii. Demikian halnya dengan ketentuan wali, menjadi satu keharusan dalam pelaksanaan pernikahan. Ketentuan wali di dalam hukum keluarga di Indonesia jauh lebih rinci bila dibandingkan dengan Malaysia yang sama-sama mayoritas muslimnya bermazhab Syafii. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali di bahas mengenai wali nasab dan wali hakim. Wali nasab dijelaskan mengenai kedudukan dan golongannya secara rinci. Demikian pula dengan status wali hakim yang dapat bertindak ketika wali nasab tidak ada atau karena adlolnya wali. Perbedaan ini terjadi karena sistem administrasi pernikahan di Malaysia dan Indonesia berbeda.
Di Malaysia pendaftaran pernikahan dapat saja dilangsungkan setelah pernikahan tersebut dilakukan sebelumnya. Sedangkan di Indonesia untuk melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus didaftarkan minimal 10 hari sebelumnya dan pada saat akad nikah harus dihadiri oleh pejabat Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karenanya pengaturan wali nikah yang rinci merpakan pedoman bagi pegawai pencatat nikah dalam memeriksa sebuah pendaftaran (rencana) pernikahan.

Pemberlakuan hukum keluarga di Maroko berbeda dengan tiga negara sebelumnya. Di mana pada tiga negara tersebut menerapkan hukum keluarga yang diwarnai oleh corak mazhab yang menjadi pegangan sebagian besar umat muslimin di negara tersebut. Selama ini, muslim Maroko mayoritas penganut mazhab Maliki. Namun dalam hukum keluarga cenderung mengikuti mazhab Hanafi. Perbedaan wali nikah dalam mazhab Hanafi dengan hukum keluarga di Maroko berkenaan dengan status wali dan kewenangan menikahkan. Wali dalam hukum keluarga di Maroko, tidak menjadi hak ayah ataupun kakek, tetapi menjadi hak anak perempuan yang sudah baligh dan berakal. Kalaupun si ayah menikahkan anak perempuannya, tindakan ayah tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari anaknya.

H. Kesimpulan
Dari uraian yang sudah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai penerapan wali dalam pernikahan di negara Jordania, Maroko, Saudi Arabia dan Malaysia.
1. Penerapan hukum wali dalam hukum keluarga sangat dipengaruhi oleh mazhab mayoritas yang dianut oleh masyarakat muslim di negara tersebut, kecuali di Maroko yang mayoritas mengikuti mazhab Maliki, tetapi berkenaan dengan wali mengikuti mazhab Hanafi seperti di Jordania. Sementara itu di Saudi Arabia mempergunakan mazhab Hanbali secara tradisional (tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan) sedangkan di Malaysia dan Indonesia, benar-benar mempergunakan mazhab Syafii dalam mengatur wali nikah.
2. Jordania dan Maroko merupakan negara yang berpenduduk muslim yang memberikan penghargaan lebih kepada status perempuan dengan memberikan hak kepada perempuan yang sudah dewasa untuk menikahkan dirinya dengan orang lain. Arab Saudi dengan latar belakang mazhab Hanbali, Malaysia dan Indonesia yang berlatar mazhab Syafii termasuk negara yang tidak memberikan hak kepada perempuan untuk menikahkan dirinya, karena wali nikah dipandang sebagai rukun dalam pernikahan.



[1] Hakim Pengadilan Agama Tanggamus- wilayah PTA Bandar Lampung
[2] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Moslem World (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972), hlm. 17.
[3] http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/penjajahan-militer-barat-atas-dunia-islam/
[4] Tahir Mahmood, Status of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised Edition (New Delhi:ALR, 1995), hlm. 84
[5] M. Atho Muzdhor (Ed), Hukum Keluarga di Dunia Muslim Modern, studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
[6] Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World (Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD, 1972), hlm. 3-8.
[7] Potensi Jordania Menjadi Negara Adi Daya, http://jokoyordania.wordpress.com/potensi-yordania-menjadi-negara-adidaya/
[8] http://farid1924.wordpress.com/2008/03/05/yordania/
[9] Tahir Mahmood, Family law Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 73-76 Oleh karena landasan walinya berdasarkan hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah, ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandaung dan saudara seayah. Apabila anak dari wali dan ayahnya ada, yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya (saudara dari perempuan/mempelai istri), lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul Ahwal al Syakhsiyyah fii Syari’ati al Islamiyah, Kuwait: Darul Qolam, 1990, hal. 60
[10] Oleh karena landasan walinya berdasarkan hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah, ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandaung dan saudara seayah. Apabila anak dari wali dan ayahnya ada, yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya (saudara dari perempuan/mempelai istri), lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul Ahwal al Syakhsiyyah fii Syari’ati al Islamiyah, Kuwait: Darul Qolam, 1990, hal. 60
[11] Hukum keluarga dalam mazhab Hanafi tidak memasukan wali sebagai rukun pernikahan, karena ijab dapat dilakukan mempelai istri atau wakilnya, atau oleh wali, lihat Abdu al Wahha>b Khala>f, Ahka>m al ahwa>l al syakhsiyyah ‘ala wafqi maz\habi Abi> Hani>fah wama al ‘amal fil al muha>kam, (Kuwait: Da>r al Qolam, 1990), hal. 22. Jumhur ulama berpendapat bahwa wali menjadi syarat dalam pernikahan, seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya kecuali mazhab Abu Hanifah dan Abu Yusuf, bahwa perempuan yang baligh dan berakal dapat menikahkan dirinya, lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, (Mesir: al Fath li al ‘llamil ‘Arab, tanpa tahun), hal. 84
[12] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82597, acessed 13 Desember 2010 13 http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82600
[13] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
[14]http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
 Dari Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/ data.asp?lang=12&id=198218 16 lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. 17 Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, Umdatu al fiqh fi mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah, 2003), hal. 90
[15] Dari Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/ data.asp?lang=12&id=198218
[16] lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah.
[17] Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, Umdatu al fiqh fi mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah, 2003), hal. 90
[18] Ibn Qudamah, Al Kafi fiqh Ahmad ibn Hanbal, kitab nikah, hal 1.
[19] http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries
[20] http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco
[21] Sejarah singkat Maroko, http://www.sahabatmaroko.com/ index.php?option= com_ content&view= article&id=112&Itemid=55
[22] Yang Dipertuan Agong adalah gelar raja tertinggi Malaysia, Jabatan ini digilirkan setiap lima tahun antara sembilan Pemerintah Negeri Melayu. Malaysia telah melakukan pemilihan raja sejak merdeka dari Inggris pada 1957. Dalam tatanan unik, raja dipilih oleh dan digilir di antara para raja dari sembilan negara bagian Malaysia yang masih dipimpin raja. Empat negara bagian lain tak dipimpin oleh raja. Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem Pergiliran kekuasaan. Lihat Yang di-Pertuan Agong, http://id.wikipedia.org/wiki/Yang_di-Pertuan_Agong
[23] Sistem Pemerintahan di Malaysia, http://oneforallblog.blogspot.com/2008/12/sistem-pemerintahan-di-malaysia.html
[24]4http://wikimediafoundation.org/wiki/Special:LandingCheck?landing_page=WMFJA1&language=en&country=ID&utm_source=20101202_JA006A_EN&utm_medium=sitenotice&utm_campaign=20101202JA008
[25]5Hukum Keluarga Islam Di Malaysia,http://fathudin.blogspot.com /2010/02/ hukum-keluarga- islam- di-malaysia.html
[26] Tahir Mahmood, 1987, hal. 221
[27] Malaysia, Brunei, Singapore termasuk Indonesia merupakan negara di bagian Asean yang sebagian besar menganut mazhab Syafi‟i, Tahir Mahmood, 1972, hal. 199, dalam edisi 1987, Tahir Mahmood menyebutkan Malaysia sebagai pusat pengembangan dari mazhab Syafi‟i, Tahir Mahmood, 1987, hal. 219.
[28] 28Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesa, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 27
[29] 29Pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia sejak abad XIII, menyatakan bahwa orang-orang Arab bermazhab Syafi‟i bermigrasi dan menetap di daerah India, kemudian mereka membawa Islam ke Nusantara. Menurut Arnold yang menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari Coromandel dan Malabar menjelaskan bahwa ada kesamaan madzhab fiqh di antara kedua wilayah (Coromandel dan Malabar dengan Nusantara) yaitu mayoritas penduduknya bermazhab Syafi‟i,lihat Mumuh Muhsin Z, Teori Masuknya Islam ke Nusantara Sebuah Diskusi Ulang, (Bandung:2007), h. 5
[30] Rumadi, Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri Penerbitan Hasil Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI 2007), h. 67-68
[31] Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 149.
[32] Hal ini didasarkan pada surat al Baqarah ayat 221 Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musyrik sebelum mereka beriman, ayat ini ditujukan kepada wali nikah. Demikian pula dalam surat al Baqarah ayat 232 Janganlah kamu menghalang-halangi mereka (para isteri) untuk menikah kembali dengan bekas suami mereka jika mereka saling meridoi dengan cara yang ma’ruf. Ma'qil bin Yasar menceritakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Katanya, "Saya menikahkan salah seorang saudara perempuanku dengan seorang pria, tetapi kemudian diceraikannya. Ketika iddahnya habis, ia datang lagi meminangnya."Maka saya jawab,“Dulu kamu saya jodohkan, saya nikahkan dan saya muliakan, tetapi kemudian kamu ceraikan. Dan kini kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah kamu tidak dapat kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya. Lelaki ini orangnya biasa saja, tetapi bekas istrinya itu ingin kembali kepadanya. Dalam hadits Abu Musa sesungguhnya Rasulullah telah bersabda Tidak syah nikah tanpa wali.
[33] Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa adillatuhu Juz VII, (Berut: Darul Fikr, 1985), hal 192
[34] Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa adillatuhu Juz VII, hal 193.
[35] Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkainan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Al Fikris, 2009, hal. 3 36 Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal 33
[36] Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal 33
[37] Sebagai pemahaman dari ketentuan wali adhol bagi anak usia kurang dari 15 tahun dan usia 15-18 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar