KEDUDUKAN
PEREMPUAN SEBAGAI WALI NIKAH PERBANDINGAN HUKUM WALI NIKAH DI JORDANIA, ARAB
SAUDI, MAROKO, MALAYSIA DAN INDONESIA
Oleh SUGIRI PERMANA[1]
A. Pendahuluan
Turki menjadi trigger dalam
memodernisasi hukum keluarga, bermula dari Majallah al-ahkam al adhiya yang
telah dipersiapkan sejak tahun 1876 M. Kemudian pada tahun 1917 disahkannya the
ottoman law of family rights[2].
Kalahnya Turki dalam perang dunia I [3]membuat
situasi dalam negeri berubah. Tepatnya
tanggal 3 Maret 1924 M, Musthafa Kamal “Ataturk” mengumumkan penghapusan
Khilafah, sekaligus memproklamirkan berdirinya Republik Turki Sekuler, seraya
melepaskan tanggung jawabnya terhadap negeri-negeri Islam yang telah diduduki
orang-orang non muslim pada Perang Dunia I.3 Pada tahun 1926 Turki menetapkan
hukum keluarga baru The Turkish civil code of 1926 yang mengadopsi hukum
keluarga Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland, 1912).
Beberapa undang-undang ini diamandemen, pertama kurun waktu 1933-1956 dan
1988-1992 (salah satunya perceraian dapat terjadi karena kesepakatan).[4]
Usaha kodifikasi hukum Turki, dengan segala
akibat dari sistem politiknya yang telah melepaskan daerah kekuasaan
Ottomannya, telah menyebabkan usaha yang sama pada negara muslim lainnya.
Kemudian menyusul Mesir pada tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syria pada tahun
1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan Pada tahun 1961 dan Indonesia pada
tahun 1974 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.[5]
Tahir Mahmood membagi penerapan hukum
keluarga pada negara-negara (berpenduduk) muslim menjadi tiga bentuk : Pertama
negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional yang banyak di jazirah
Arab dan beberapa negara Afrika yaitu Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan,
Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia, dan lain-lain. Kedua Negara yang
menerapkan hukum keluarga sekuler, dalam kategori ini adalah Turki, Albania,
Tanzania, minoritas muslim Philiphina dan Uni Sovyet. Bagi negara berpenduduk
mayoritas muslim, mengganti hukum keluarga dengan hukum yang bersumber dari
Eropa (Turki dari Swiss), atau negara dengan penduduk minoritas muslim tapi
harus tunduk pada aturan hukum negaranya. Ketiga adalah Negara yang menerapkan
hukum keluarga yang diperbarui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei,
Singapore dll.[6]
Setidaknya ada tiga belas permasalahan hukum
keluarga dalam proses transformasi hukum keluarga yaitu Pembatasan umur
perkawinan, Kedudukan wali nikah, Pencatatan nikah, Aspek biaya dalam
pernikahan, seperti mahar dan biaya nafkah, Poligami dan hak istri,
Pemeliharaan terhadap istri dan keluarga selama pernikahan, Perceraian, Nafkah
istri setelah cerai, Masa iddah, Hak kedua orang tua terhadap pemeliharaan
anak, Hak waris, Wasiat wajibah dan wakaf Dari permasalahan hukum keluarga di
atas, masing-masing negara mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan
hukumnya. Kondisi adat istiadat serta dominasi mazhab tertentu seringkali
menjadi latar belakang untuk menentukan suatu peraturan hukum. Berkenaan dengan
permasalahan di atas, makalah ini akan membahas mengenai kedudukan perempuan
sebagai wali nikah merupakan penelitian terhadap wali nikah dengan mengambil
obyek penelitian pada hukum keluarga di Jordania, Saudi Arabi, Maroko, Malaysia
dan Indonesia. Pilihan ke lima negara tersebut, selain diambil dari tiga benua
yang berbeda juga menunjukkan dominasi mazhab yang berbeda. Jordania lebih
menonjol mazhab Hanafi, Saudi Arabia mazhab Hanbali, Maroko mazhab Maliki
adapun Malaysia dan Indonesia lebih dominan mazhab Syafi‟i.
B.
JORDANIA
Jordania merupakan negara yang baru diakui
kemerdekaannya pada tahun 1946, sebelumnya masih bernama Transyordania dan
sebutan negara diganti menjadi Yordania di tahun 1949. Sebelum merdeka,
Jordania merupakan bagian dari territorial kerajaan Otoman, yang akhirnya
berakhir setelah perang dunia satu, wilayah bagian ini sempat menjadi suatu
wilayah kontrol dari Perancis dan Inggris dimana bagian wilayah dari sungai
Jordan ke arah Timur berada di bawah kontrol Inggris sampai ke wilayah Palestina
di bagian Barat sungai Jordan.[7]
Sebagaimana negara-negara Arab lainnya,
berdirinya negara Yordania yang dikenal dengan sebutan al-Mamlakah
al-Urdunniyah al-Hashimiyah (al-Urdun) tidak lepas dari politik penjajahan
imperialis Barat di Timur Tengah pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Sama seperti
Saudi, Irak dan negeri-negeri Arab lainnya, Kerajaan Yordania merupakan
bentukan penjajah Inggris yang memberontak terhadap Khilafah Islam yang
berpusat di Turki. Tidak aneh jika penguasa Yordan kemudian menjadi penguasa
yang tunduk pada kepentingan penjajah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang merugikan umat.[8]
Pasca Perang Dunia I,
Yordania, yang sebelumnya dikenal dengan Trans Yordania, merupakan bagian dari
Kerajaan Arab Suriah. Inggris dan Prancis kemudian bersepakat untuk saling
membagi daerah ini. Suriah berada di bawah pengaruh Perancis, sementara Inggris
mendapat bagian Trans-Yordania berdasarkan konferensi di San Remo. Inggris
kemudian mengangkat Abdullah ibn Hussein sebagai pemimpin wilayah
Trans-Yordania. Abdullah sendiri adalah saudara dari Faisal yang memimpin
Revolusi Arab untuk memberontak dari Kekhilafahan Islam. Faisal berasal dari
keluarga Hashemite (Hasyimiyah). Ia pernah menjadi penguasa di Makkah namun
kemudian diganti oleh penduduk setempat. Jadi, sejarah pembentukan negara
Yordania tidak bisa dilepaskan dari keluarga Hashemite dengan bantuan Inggris.
Abdullah menjadi pemimpin Trans-Yordania
setelah ditunjuk oleh sekretari kolonial Inggris saat itu, Winston Churchill.
Dia dikukuhkan pada 1 April 1921 dengan subsidi dari Inggris sebesar 5.000
poundterling setiap bulan. Negeri ini hidup di bawah bantuan Inggris yang
memberikan subsidi 100.000
pounsterling setiap tahun pada tahun
1920-an dan meningkat menjadi 200.000 pounsterling pada tahun 1940-an. Inggris
kemudian memberikan hadiah kemerdekaannya kepada Yordania pada 22 Maret 1946.
Namun jelas, pemberian kemerdekaan ini hanyalah „akal-akalan‟ Inggris saja untuk tetap mempertahankan
penjajahannya di Dunia Islam. Inggris tentu ingin agar penguasaannya di
Yordania tetap ada. Karena itu, berdasarkan perjanjian aliansi di London
tanggal 26 Maret 1946, Inggris memberikan kemerdekaan dengan pola yang sama
dengan perjanjian Inggris-Irak. Melalui perjanjian ini, Inggris mengakui
kemerdekaan Trans-Yordania (Yordania), menyetujui perwakilan diplomatik,
sanggup memberikan subsidi kepada Legiun Arab, dan berusaha mempertahankan
Emirat dari pihak luar. Sebagai imbalannya, Inggris berhak menempatkan
tentaranya di wilayah Trans-Yordania, menggunakan fasilitas komunikasinya, dan
melatih angkatan perang Abdullah. Kedua negara setuju dengan „konsultasi penuh dan terbuka‟ dalam segala urusan politik luar negeri
yang bisa mempengaruhi kepentingan bersama mereka.
Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Jordania
Di wilayah Jordania
sebenarnya sudah berlaku mengenai hukum keluarga sejak tahun 1917 yaitu
berdasarkan mazhab Hanafi yang ditetapkan di Kerajaan Turki Usmani yang dikenal
dengan The Turkish Ottoman Law of Family Rigt 1917. Pada tahun 1951,
pemerintah (lembaga Legislatif) Jordania mengganti undang-undang tersebut
dengan hukum yang baru yang dikenal dengan al Qanun al huquq al-‘Aila (the
law of Family Rigt).
Undang-Undang ini telah
diamandemen pada tahun 1976 The Code of Personal Status 1976 dan amandemennya
UU Nomor 25 tahun 1977.[9] Ketentuan
wali dijelaskan pada Pasal 9 hingga Pasal 13. Wali dalam pernikahan adalah
urutan ashobah binafsihi dalam urutan waris menurut mazhab Hanafi.[10] Seorang wali
haruslah berakal, baligh dan seorang muslim. Apabila kedudukan wali berada pada
beberapa orang yang sama derajatnya, kerelaan seorang wali diantara para wali
akan menggugurkan hak lainnya. Jika ternyata wali aqrob tidak ada, demi
kemaslahatan urutan wali tersebut berpindah pada wali berikutnya. Tidak
dipersyaratkan adanya kesesuaian kehendak antara wali dengan janda yang berusia
18 tahun atau lebih.
Hukum keluarga Jordania juga membahas
mengenai wali adlol pada pasal 6. Ketentuan wali juga berhubungan dengan usia
pernikahan. Wali adhol ditetapkan oleh hakim apabila ternyata walinya enggan
menikahkan anaknya. Dalam hal tidak ada wali ayah dan kakek, penetapan wali
adlol dapat dilakukan sampai batas usia 15 tahun, akan tetapi apabila ada wali
ayah atau kakek, wali adlol baru dapat dipertimbangkan apabila usia calon
mempelai 18 tahun. Kedudukan wali dalam pernikahan dapat saja diabaikan
terhadap janda yang berusi 18 tahun atau lebih.
Apabila diteliti pasal demi pasal yang
berkaitan dengan wali, terdapat ambiguitas mengenai kedudukan wali tersebut.
Pasal 14 dan 16 hanya mengharuskan sahnya sebuah pernikahan dengan adanya ijab
qabul yang disertai dua orang saksi. Seorang wali nikah menjadi penting bagi
peremuan (gadis maupun janda) apabila berusia kurang dari 18 tahun, sehingga
apabila perempuan tersebut lebih dari usia 18 tahun ia dapat menikahkan dirinya
sendiri. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 22 menyebutkan bahwa, ….seorang
gadis atau janda yang berusia 18 tahun dan tidak ada walinya, kemudian ia
menikahkan dirinya…. Dengan demikian, kedudukan wali bukan menjadi suatu
keharusan dalam akad nikah.
Meskipun wali bukan satu kewajiban dalam
pernikahan, dalam beberapa hal, kedudukan wali menjadi penting, yaitu :
1. Seorang wali
(juga pihak istri) dapat mengajukan fasakh nikah, dalam hal seorang wali
menikahkan anaknya (gadis/janda) dengan seseorang yang telah diketahuinya dan
dipersyaratkan adanya sekufu dalam pernikahan, namun kemudian ternyata si suami
tidak sekufu (pasal 21). Sebaliknya apabila tidak dipersyaratkan sekufu dalam
akad, maka ketidak tahuan tidak sekufunya tersebut tidak memberikan hak bagi
wali ataupun pihak istri untuk mengajukan fasakh nikah.
2. Seorang wali
dapat mengajukan pembatalan fasakh nikah, apabila ternyata anaknya
(gadis ataupun janda) yang menikahkan dirinya kepada seorang lelaki yang tidak
sekufu. Penilaiannya terletak pada kufu, bukan pada besarnya mahar,
karena meskipun maharnya bukan mahar mitsil akan tetapi masih sekufu, wali
tidak dapat mengajukan fasakh nikah (pasal 22). Hakim akan mengabulkan
permohonan fasakh tersebut apabila si istri tidak ternyata dalam keadaan hamil
(Pasal 23). Penilaian kafaah dilihat pada saat akad nikah yakni kemampuan
untuk membayar mahar kontan serta kemampuan untuk membiayai kehidupan bersama
istrinya.
3. Kedudukan
wali yang bukan haknya untuk menikahkan menyebabkan pernikahannya menjadi
fasid.
Yang menjadi wali nikah adalah ayah dan
kakek serta laki-laki dalam garis ashobah binafsihi. Seseorang dapat menjadi
wali setelah diketahui bahwa dia adalah mukallaf. Meskipun Jordan mayoritas
bermazhab Hanafi, namun hukum keluarga Jordan menganggap penting posisi wali
dalam pernikahan padahal dalam mazhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban dalam
melakukan pernikahan.[11]
Terlepas dari usaha penghargaan terhadap kualifikasi perempuan di depan hukum,
dengan berpedoman pada mazhab Hanafi Jordania selangkah lebih maju dalam
menempatkan perempuan untuk melakukan pernikahan. Bagi seorang perempuan yang
telah berusia 18 tahun atau lebih (tingkat kedewasaan perempuan), ia dapat
menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki yang ia pilih. Adanya
kewenangan orang tua/wali dalam pernikahan bagi perempuan yang berusia kurang
dari 18 tahun, menunjukkan adanya tanggung jawab orang tua bagi anaknya yang
belum dewasa.
C. SAUDI ARABIA
Saudi Arabia terletak
di bagian Barat Daya benua Asia, dan menempati bagian terbesar dari semenanjung
Jazirah Arab (2.000.000 km2). Letak yang istimewa ini menjadikannya memiliki
hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan kuno yang telah terbentuk di Timur
Tengah. Berbatasan di sebelah utara dan timur laut dengan Yordania, Kuwait dan
Irak. Di sebelah selatan berbatasan dengan Republik Yaman. Di sebelah Timur
Teluk Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kesultanan Oman. Di sebelah
barat laut Merah.[12]
Sistem pemerintahan di
Saudi Arabia adalah Kerajaan (Monarki). Kabinet bersama Raja merupakan
kekuasaan eksekutif dan regulatif dalam Negara. Perdana Menteri adalah Khadim
al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul
Aziz Al-Saud, dan Putra Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud,
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur
Jenderal. Sistem Judikatif bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. [13]
Akar sejarah Kerajaan
Saudi Arabia bermula
sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu,
di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat
terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad
bin Saud di "Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh
pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah
Arabia. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818
M. Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi
kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309
H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan
kejayaan kerajaan para pendahulunya, kembali kota Riyadh yang merupakan ibu
kota bersejarah kerajaan ini. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan
pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud
pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti
Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam. Di atas
prinsip inilah, para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin
Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja
Fahd. [14]
Sejarah panjang
kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran seseorang bernama
Muhammad bin Abdul Wahab yang bermazhab Hanbali dan berusaha keras memurnikan
ajaran ketauhidan. Ia berasal dari dari keluarga klan Tamim yang menganut
mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi
Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dar‟iyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Pada sekitar tahun
1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dar‟iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir
Muhammad bin Saud dan Muhammad bin „Abdul Wahab saling membaiat dan saling
memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin
Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud.
Muhammad bin „Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah
kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil
mengawini salah seorang putri Muhammad bin „Abdul Wahab. [15]
Tahir Mahmood
mengkatagorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam
secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan
perundang-undangan. Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah
jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki.[16] Namun
sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab
menyebabkan mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh
karena tidak adanya peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi
Arabia, maka untuk melacak hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh
Imam Ahmad bin Hanbal. Wali dalam mazhab Hanbali hukumnya wajiib, bahkan
pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali.[17]
Seorang perempuan tidak dapat menikahkan
dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang
perempuan tidak dapat menikahkan untuk perempuan yang lainnya baik atas izin
walinya ataupun tidak. Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur
pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri,
pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam hal hukuman, mengingat pernikahan
tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga tidak ada hukuman bagi pelaku
pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek kemudian saudara.
Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih dekat masih
ada, menyebabkan pernikahannya batal.[18]
D. MAROKO
Saat ini penduduk Maroko berjumlah
33.723.418 jiwa, 99 % adalah muslim penganut sunni Maliki.[19] Maroko adalah negara
yang berbentuk kerajaan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-mamlakah al-maghribiah
(kerajaan yang di Barat), terkadang juga disebut dengan al maghrib al
aqsha (kerajaan yang terjauh di Barat). Dalam Bahasa Inggris disebut dengan Marocco, yang berasal dari
bahasa Spanyol Maruecos, bahasa latinnya Morroch, di masa pra
modern Arab dikenal dengan Marrakesh. Maroko mencapai kemerdekaannya
dari Prancis pada tahun 1956 dengan sistem kerajaan konstitusional yang berada
di Barat Laut Afrika[20].
Sejak
awal abad 20, Maroko berada di bawah kekuasaan “perlindungan” Prancis. Pada
bulan Agustus 1953, Ahmed Belbachir Haskouri, salah seorang tangan kanan Sultan
Muhammad V memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah.
Pada Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang
dibentuk oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung
pertahanan dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di
atas, bersama peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di
kalangan orang Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa
revolusi yang digerakkan oleh Raja dan Rakyat atau Taourat al-Malik wa Shaab
dan dirayakan setiap tanggal 20 Agustus.[21]
Kedudukan
Wali dalam Hukum Keluarga Maroko
Bentuk peraturan hukum keluarga di Maroko
dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah lama mendominasinya yaitu
Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut adalah adanya kodifikasi hukum
keluarga yang dikenal dengan code of Personal Status atau mudawwanah al
ahwal al shakhsiyyah yang terjadi pada tahun 1957-1958. Terakhir hukum
keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2004 yang disebut mudawwanah
al ahwal al shakhsiyyah al jadidah fil al maghrib. Undang-Undang ini
berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang
ditetapkan pada tahun 1957.
Wali nikah dalam hukum
keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam
perkawinan harus terpenuhi : kebolehannya seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya
wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan
untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan
adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18,
seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi
walinya.
Penjelasan kedudukan
wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan
menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan
yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia
menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan
wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai
perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus
ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya).
Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali
adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya.
Apabila dibandingkan
dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab Hanafi dalam masalah wali,
tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan pemahaman terhadap kewenangan
perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap bahwa perwalian bukanlah hak dari
orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu sendiri.
E. MALAYSIA
Kekuasaan Malaysia terletak pada Yang
di-Pertuan Agong[22].
Sedangkan pelaksanaan eksekutif dilakukan oleh Perdana Menteri. Kekuasaan
negara terletak pada kerajaan pusat yang beribu kota di Kuala Lumppur dengan
terdiri dari 13 kerajaan negeri federasi yaitu Johor, Kedah, Kelantan, Malaka,
Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak, Selangor
dan Trengganu dan tiga wilayah persektuandiantaranya Kuala Lumpur, Labuan dan
Putra Jaya.[23]
Malaysia berpenduduk sekitar 27.300.000 jiwa dengan penduduk muslim 60,4 % dari
total penduduknya. Muslim Malaysia mayoritas bermazhab Syafi‟i.[24]
Pemerintah Negeri Melayu. Malaysia telah
melakukan pemilihan raja sejak merdeka dari Inggris pada 1957.[25] Dalam
tatanan unik, raja dipilih oleh dan digilir di antara para raja dari sembilan
negara bagian Malaysia yang masih dipimpin raja. Empat negara bagian lain tak
dipimpin oleh raja. Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem
Pergiliran kekuasaan.
Negara Malaysia pernah berada di bawah
kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris sejak
akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada tahun 1824
di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai
Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini adalah penerus wilayah-wilayah yang
pada masa penjajahan disebut Straits Settlement ( Penang, Singapura dan
Malaka), Federated Malay States ( Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan
Unfederated Malay States (Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor).
Sabah dan Serawak yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung
dengan Malaysia. Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada
tanggal 31 Agustus 1957.
Hukum Keluarga Malaysia
Sejak tahun 1880
Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan
memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk
diberlakukan di Negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore).
Sebelum masuknya Inggris hukum yang berlaku adalah hokum Islam yang masih
bercampur dengan hukum adat, menurut Abdul Munir Yaacob mengatakan bahwa
undang-undang yang berlaku dinegara-negara bagian sebelum campur tangan inggris
adalah adat pepatuh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negarasembilan dan
beberapa kawasan di Malaka, dan adapt Temenggung dibagian semenanjung.
Sedangkan orang Melayu di Serawak mengikuti Undang-undang Mahkamah Melayu
Serawak.
Undang-undang tersebut
sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam maslah perkawinan,
perceraian dan jual beli. Sementara untuk Negara-negara Melayu bersekutu (
perak, Selangor, Negeri sembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of
Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885 dan untuk Negara-negara Melayu
tidak bersekutu atau Negara-negara bernaung (kelantan, terengganu, perils,
Kedah dan Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907. Menurut
Khoiruddin Nasution bahwa setelah terjadinya pembaharuan UU Keluaraga Malaysia
maka apabila dikelompokan maka Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di
Malaysia akan lahir dua kelompok besar:
1. UU yang mengikuti
akta persekutuan yakni Selangor, Negeri Sembilan, pulau Pinang, Pahang, Perlis,
Terengganu, Serawak dan Sabah
2. Kelantan, Johor,
Malaka, dan Kedah meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada perbedaan
yang cukup menyolok, yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan sebanyak
49 kali.
Kedudukan Wali Dalam
Hukum Keluarga Malaysia
Pada kurun waktu
1983-1985 terdapat beberapa peraturan hukum keluarga di Malaysia. Tahun 1983,
dikeluarkan hukum keluarga Islam di Klantan, Negri Sembilan dan Malaka. Tahun
1984 di Kedah, Selangor dan wilayah Persekutuan serta tahun 1985 di Penang.
Hukum Keluarga Islam Malaysia tahun 1984 (yang berlaku di wilayah federal)
telah menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu Selangor Enactment tahun 1952
yang terdiri dari 135 Pasal. Undang-Undang ini isinya hampir sama dengan
undang-undang yang berlaku di wilayah lainnya yang ditetapkan antara tahun
1983-1985. [26]
Latar belakang mazhab
yang dianut di sebagian besar masyarakat muslim Malaysia yaitu mazhab Syafi‟i [27]sangat
berpengaruh pada hukum keluarganya27. Perempuan tidak mempunyai hak sama sekali
untuk menikahkan dirinya dengan orang lain, karena hak wali berada pada ayahnya
(dan seterusnya) bukan pada dirinya sendiri. Hukum keluarga di Malaysia
mengenal adanya wali mujbir yaitu ayah dan kakek serta wali raja yang dalam
fiqh di kenal wali hakim. Kedudukan wali dalam hukum keluarga Malaysia sangat
penting, hal ini dituangkan pada Pasal 7 yang menerangkan bahwa untuk sebuah
pernikahan dapat dilakukan oleh seorang wali di depan petugas, oleh wakil wali
atau oleh petugas pencatat nikah yang bertindak atas nama wali. Apabila wali
nasab tidak ada, wali raja bertindak untuk menjadi wali pernikahan.
F. INDONESIA
Indonesia merupakan
negara kepulauan dengan penduduk mayoritas muslim dan merupakan penduduk muslim
terbesar di antara negra-negara yang berpenduduk muslim. Dengan jumlah penduduk
228,582,000 jiwa, 86,1 % nya adalah muslim. Sebagian besar muslim di Indonesia
merupakan golongan sunni dengan mayoritas menganut mazhab Syafi‟i. Banyak teori yang mengemukakan bahwa
masyarakat muslim di Indonesia bermazhab Syafi‟i.
Tahir Mahmood
menyebutkan Malaysia sebagai pusat pengembangan dari mazhab Syafi‟i,Dari sudut pandang sejarah, meskipun
terjadi silang pendapat mengenai Islam masuk ke Indonesia baik menurut abad ke
tujuh menurut versi sejarawan muslim atau abad ke empat belas menurut versi
sejarah Barat, menurut Amir Syarifudin[28],
ternyata yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi‟i.[29]
Setidaknya ada dua
kondisi yang memberikan dukungan terhadap perkembangan mazhab Syafi‟i di Indonesia di mana perkembangan Islam
di Indonesia (bila memakai teori pertama) pada abad 12 -13 Masehi, menunjukkan
bahwa masa tersebut adalah masa di mana perkembangan hukum Islam sedang
mengalami stagnan dan mengarah pada pintu ijtihad yang tertutup. Kedua
disinyalir bahwa para penyebar Islam waktu itu mereka yang bermazhab Syafi‟i.[30]Demikian
juga dengan para kyai sepertinya dengan “sengaja” lebih mengutamakan ajaran dan
pendekatan tentang hukum-hukum Islam yang dikembangkan oleh Imam Syafi‟i bila dibandingkan dengan kitab-kita
lainnya.[31]
Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga di
Indonesia
Hukum keluarga di
Indonesia telah hadir sejak tahun 1882, yakni sejak Stb 152 Tahun 1882 di mana
pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan peradilan agama sebagai lembaga
peradilan yang menyelesaikan sengketa hukum keluarga berkenaan dengan nikah,
talak, waris dan waqaf. Sedangkan dalam segi hukum materiil, baru muncul pada
tahun 1971 yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975. Sebenarnya sebelum
undang-undang perkawinan lahir, telah ada ketentuan mengenai pencatatan nikah
dan sanksinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahuun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, Cerai dan Rujuk. Akan tetapi ketentuan ini kurang efektif dan ternyata
undang-undang perkawinan yang dianggap sebagai cikal bakal hukum keluarga di
Indonesia. Selain undang-undang perkawinan, sumber hukum keluarga di Indonesia
adalah Kompilasi Hukum Islam. Meskipun landasannya KHI ini adalah Inpres Nomor
1 Tahun 1991, namun dalam pelaksanaannya sudah menjadi bagian dari living
law bahkan kedudukannya sudah menjadi bagian penting dari berbagai
yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
30 Rumadi, Post Tradisionalisme Islam,
Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri Penerbitan Hasil Penelitian
Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Depag RI 2007), h. 67-68 31 Zamaksyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h.
149.
Ketentuan wali dalam hukum pernikahan di
Indonesia dapat ditemukan pada Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 20 sampai
Pasal 23. Wali merupakan rukun (hal yang mesti ada) dalam suatu perkawinan. Tidak
adanya wali dalam perkawinan menyebabkan pernikahannya batal. Wali terdiri dari
wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah ayah, kakek dari pihak ayah,
kemudian laki-laki dari pihak saudara, dari pihak paman dan laki-laki dari pihak
saudara kakek. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali apabila tidak ada wali
bagi calon mempelai istri atau karena adlolnya (tidak mau menikahkan) wali yang
ada.
G. KAJIAN FIQH DAN HUKUM KONTEMPORER ATAS
KEDUDUKAN WALI
Dalam pandangan mazhab
Maliki, Syafi‟i dan Hanbali,
wali merupakan syarat dalam pernikahan[32],
sehingga dianggap tidak sah apabila pernikahan tidak memakai wali.[33] Para
ulama sepakat mengenai kedudukan wali untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila
ataupun yang kurang kemampuan akalnya. Akan tetapi apabila anaknya sudah balig,
berakal Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Menurut Abu
Hanifah, bagi yang berakal, baligh apalagi statusnya janda ia berhak untuk
menikahkan dirinya sendiri. Jumhur ulama tetap dengan pendapatnya semula, yaitu
pernikahan akan sah jika adanya wali baik anak tersebut kecil, dewasa, balig
ataupun janda. Menurut mazhab Hanabilah, tetap harus ada izin (persetujuan)
baik janda ataupun gadis, sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi‟i persetujuan hanya untuk janda, apabila
masih gadis tidap perlu mendapat persetujuan dari anak tersebut meskipun adanya
persetujuan akan lebih baik bagi pernikahan yang akan dilangsungkan.[34]
Dalam pandangan Abu
Hanifah dan Abu Yusuf, meskipun izin wali tidak diperlukan dalam sebuah
pernikahan, wali mempunyai kewenangan apabila pernikahan yang dilangsungkan
oleh anaknya ternyata dilakukan dengan lelaki yang tidak sekufu. Perbedaan yang
cukup jauh antara pendapat Abu Hanifah dengan jumhur ulama, lebih karena
disebabkan metodologi dalam pengambilan hukum. Aqad nikah dalam mazhab
Hanafiyah dipersamakan dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup
ijab dan qabul, kedudukan wali hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri
yang masih kecil. Di sisi lain ulama Hanafiyah memandang tidak adanya ketentuan
yang tegas mengenai status wali baik dalam al Quran maupun hadits. Beberapa
hadits Rasulullah yang menjelaskan mar’ah tidak boleh menikahkan
sendiri, memberi makna sesuai lafadnya di mana mar’ah merupakan anak
kecil yang belum dewasa sehingga tidak sah apabila ia menikahkan dirinya.[35]
Di samping itu, dalam
ushul fiqh mazhab Hanafiyah, hanya menganggap sebagai suatu kewajiban (fardl)
ketika dalil yang ditetapkan berasa dari Al Quran ataupun hadits mutawatir dengan
penunjukkan hukum yang tegas.[36]
Dalil-dalil al Quran yang menjadi hujjah keharusan wali oleh ketiga Imam,
dipandang memberikan petunjuk secara langsung (z}onniy al dilalah)
sehingga tidak dapat diambil kesimpulan bahwa wali adalah satu keharusan dalam
sebuah pernikahan. Demikian halnya dengan hadits-hadits yang mengharuskan
adanya wali statusnya tidak termasuk dalam kelompok mutawatir. Penerapan hukum
keluarga pada negara Saudi Arabia, Jordania, Maroko dan Malaysia merupakan
cerminan dari ke empat mazhab sunni. Demikian halnya dengan penerapan kedudukan
wali dalam hukum perkawinan. Jordania merupakan negara hasil penetrasi Inggris
(dengan corak common law), namun dalam menerapkan hukum keluarga lebih
bersifat legalistik mengikuti Turki yang terpengaruh dengan sistem hukum
Prancis code cipil, di mana hukum terwujud dalam sebuah
perundang-undangan. Dengan latar belakang mazhab Hanafi, Jordania menerapkan
hukum keluarga dengan pengaruh yang kuat dari mazhab Hanafi. Diantara penegasan
mazhab Hanafi berkenaan dengan urutan wali dan hukum waris yang menisbahkan
langsung pada mazhab Hanafi.
Dalam pembahasan
mengenai wali nikah, hukum keluarga Jordania tidak mengharuskan wali pada
pengantin perempuan di atas usia 18 tahun. Wali mujbir ayah dan kakek hanya
sampai batas usia 18 tahun, sedangkan bagi selain ayah dan kakek hingga usia 15
tahun.[37] Seperti
halnya dalam mazhab Hanafii, wali dapat mengajukan pembatalan nikah apabila
anaknya menikah dengan lelaki yang tidak sekufu. Demikian pula dengan batasan
umur untuk menikahkan sendiri, Imam Abu Hanifah memberi batasan 18 tahun bagi
perempuan yang dapat menikahkan dirinya sendiri. Di Saudi Arabia dengan latar
belakang penduduknya yang bermazhab Hanbali, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dengan pelaksanaannya, karena hukum yang berlaku pun bersifat
tradisional (hukum adat dalam katagorisasi sistem hukum Indonesia) yakni
tidak dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Hukum diterapkan
merujuk pada Al Quran dan hadits dengan mengedepankan mazhab Hanbali dalam
penerapannya. Malaysia termasuk negara yang cenderung memegang teguh mazhab
yang selama ini berkembang di negaranya. Ketentuan mengenai perkawinan
cenderung menerapkan apa yang terdapat dalam mazhab Syafi‟i. Demikian halnya dengan ketentuan wali, menjadi satu
keharusan dalam pelaksanaan pernikahan. Ketentuan wali di dalam hukum keluarga
di Indonesia jauh lebih rinci bila dibandingkan dengan Malaysia yang sama-sama
mayoritas muslimnya bermazhab Syafi‟i. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali di bahas mengenai wali nasab dan wali
hakim. Wali nasab dijelaskan mengenai kedudukan dan golongannya secara rinci.
Demikian pula dengan status wali hakim yang dapat bertindak ketika wali nasab
tidak ada atau karena adlolnya wali. Perbedaan ini terjadi karena sistem administrasi
pernikahan di Malaysia dan Indonesia berbeda.
Di Malaysia pendaftaran
pernikahan dapat saja dilangsungkan setelah pernikahan tersebut dilakukan
sebelumnya. Sedangkan di Indonesia untuk melangsungkan pernikahan terlebih
dahulu harus didaftarkan minimal 10 hari sebelumnya dan pada saat akad nikah
harus dihadiri oleh pejabat Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karenanya pengaturan
wali nikah yang rinci merpakan pedoman bagi pegawai pencatat nikah dalam
memeriksa sebuah pendaftaran (rencana) pernikahan.
Pemberlakuan hukum keluarga di Maroko
berbeda dengan tiga negara sebelumnya. Di
mana pada tiga negara tersebut menerapkan hukum keluarga yang diwarnai oleh
corak mazhab yang menjadi pegangan sebagian besar umat muslimin di negara
tersebut. Selama ini, muslim Maroko mayoritas penganut mazhab Maliki. Namun
dalam hukum keluarga cenderung mengikuti mazhab Hanafi. Perbedaan wali nikah
dalam mazhab Hanafi dengan hukum keluarga di Maroko berkenaan dengan status
wali dan kewenangan menikahkan. Wali dalam hukum keluarga di Maroko, tidak
menjadi hak ayah ataupun kakek, tetapi menjadi hak anak perempuan yang sudah
baligh dan berakal. Kalaupun si ayah menikahkan anak perempuannya, tindakan
ayah tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari anaknya.
H.
Kesimpulan
Dari
uraian yang sudah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai
penerapan wali dalam pernikahan di negara Jordania, Maroko, Saudi Arabia dan
Malaysia.
1. Penerapan hukum wali dalam hukum keluarga
sangat dipengaruhi oleh mazhab mayoritas yang dianut oleh masyarakat muslim di
negara tersebut, kecuali di Maroko yang mayoritas mengikuti mazhab Maliki,
tetapi berkenaan dengan wali mengikuti mazhab Hanafi seperti di Jordania.
Sementara itu di Saudi Arabia mempergunakan mazhab Hanbali secara tradisional
(tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan) sedangkan di Malaysia dan
Indonesia, benar-benar mempergunakan mazhab Syafi‟i dalam mengatur wali nikah.
2. Jordania dan Maroko merupakan negara yang
berpenduduk muslim yang memberikan penghargaan lebih kepada status perempuan
dengan memberikan hak kepada perempuan yang sudah dewasa untuk menikahkan
dirinya dengan orang lain. Arab Saudi dengan latar belakang mazhab Hanbali,
Malaysia dan Indonesia yang berlatar mazhab Syafi‟i termasuk negara yang tidak memberikan hak
kepada perempuan untuk menikahkan dirinya, karena wali nikah dipandang sebagai
rukun dalam pernikahan.
[2] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the
Moslem World (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972), hlm. 17.
[3]
http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/penjajahan-militer-barat-atas-dunia-islam/
[4] Tahir Mahmood, Status of Personal Law in
Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised Edition (New
Delhi:ALR, 1995), hlm. 84
[5] M. Atho Muzdhor (Ed), Hukum Keluarga di
Dunia Muslim Modern, studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari
Kitab-kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
[6] Tahir Mahmood, Family law Reform in the
Muslim World (Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD, 1972), hlm. 3-8.
[7] Potensi Jordania Menjadi Negara Adi Daya,
http://jokoyordania.wordpress.com/potensi-yordania-menjadi-negara-adidaya/
[9] Tahir Mahmood, Family law
Reform in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis (New
Delhi:Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 73-76 Oleh karena landasan
walinya berdasarkan hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki
hingga derajat ke bawah, ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandaung
dan saudara seayah. Apabila anak dari wali dan ayahnya ada,
yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya (saudara dari perempuan/mempelai
istri), lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul Ahwal al Syakhsiyyah fii
Syari’ati al Islamiyah, Kuwait: Darul Qolam, 1990, hal. 60
[10] Oleh karena landasan walinya berdasarkan
hukum ashobah, maka urutan wali adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah,
ayah sampai derajat ke atas, kemudian saudara sekandaung dan saudara seayah. Apabila anak
dari wali dan ayahnya ada, yang didahulukan menjadi wali adalah anaknya
(saudara dari perempuan/mempelai istri), lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ahkamul
Ahwal al Syakhsiyyah fii Syari’ati al Islamiyah, Kuwait: Darul Qolam, 1990,
hal. 60
[11] Hukum keluarga dalam mazhab Hanafi tidak
memasukan wali sebagai rukun pernikahan, karena ijab dapat dilakukan mempelai
istri atau wakilnya, atau oleh wali, lihat Abdu al Wahha>b Khala>f, Ahka>m
al ahwa>l al syakhsiyyah ‘ala wafqi maz\habi Abi> Hani>fah wama al
‘amal fil al muha>kam, (Kuwait: Da>r al Qolam, 1990), hal. 22. Jumhur ulama
berpendapat bahwa wali menjadi syarat dalam pernikahan, seorang perempuan tidak
dapat menikahkan dirinya kecuali mazhab Abu Hanifah dan Abu Yusuf, bahwa
perempuan yang baligh dan berakal dapat menikahkan dirinya, lihat Sayyid Sabiq,
Fiqh Al Sunnah, (Mesir: al Fath li al ‘llamil ‘Arab, tanpa
tahun), hal. 84
[12] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82597,
acessed 13 Desember 2010 13
http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82600
[13] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
[14]http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
Dari
Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/
data.asp?lang=12&id=198218 16 lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan
nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin
Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. 17 Ahmad bin Qudamah Al
Maqdisi, Umdatu al fiqh fi mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah,
2003), hal. 90
[15] Dari
Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/
data.asp?lang=12&id=198218
[16]
lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan nama Abu abdullah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin
al-Haris Dzi Ashbah.
[17] Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, Umdatu al fiqh fi
mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah, 2003), hal. 90
[18] Ibn
Qudamah, Al Kafi fiqh Ahmad ibn Hanbal, kitab nikah, hal 1.
[19]
http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries
[20]
http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco
[21] Sejarah
singkat Maroko, http://www.sahabatmaroko.com/
index.php?option= com_ content&view= article&id=112&Itemid=55
[22] Yang
Dipertuan Agong adalah gelar raja tertinggi Malaysia, Jabatan ini digilirkan
setiap lima tahun antara sembilan Pemerintah Negeri Melayu. Malaysia telah melakukan pemilihan raja sejak
merdeka dari Inggris pada 1957. Dalam tatanan unik, raja dipilih oleh dan
digilir di antara para raja dari sembilan negara bagian Malaysia yang masih
dipimpin raja. Empat negara bagian lain tak dipimpin oleh raja. Malaysia
merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem Pergiliran kekuasaan. Lihat
Yang di-Pertuan Agong, http://id.wikipedia.org/wiki/Yang_di-Pertuan_Agong
[23]
Sistem Pemerintahan di Malaysia,
http://oneforallblog.blogspot.com/2008/12/sistem-pemerintahan-di-malaysia.html
[24]4http://wikimediafoundation.org/wiki/Special:LandingCheck?landing_page=WMFJA1&language=en&country=ID&utm_source=20101202_JA006A_EN&utm_medium=sitenotice&utm_campaign=20101202JA008
[25]5Hukum
Keluarga Islam Di Malaysia,http://fathudin.blogspot.com /2010/02/
hukum-keluarga- islam- di-malaysia.html
[26] Tahir
Mahmood, 1987, hal. 221
[27] Malaysia, Brunei, Singapore termasuk Indonesia
merupakan negara di bagian Asean yang sebagian besar menganut mazhab Syafi‟i,
Tahir Mahmood, 1972, hal. 199, dalam edisi 1987, Tahir Mahmood menyebutkan
Malaysia sebagai pusat pengembangan dari mazhab Syafi‟i, Tahir Mahmood, 1987,
hal. 219.
[28] 28Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad,
Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesa, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), h. 27
[29] 29Pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke
Indonesia sejak abad XIII, menyatakan bahwa orang-orang Arab bermazhab Syafi‟i
bermigrasi dan menetap di daerah India, kemudian mereka membawa Islam ke
Nusantara. Menurut Arnold yang menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari
Coromandel dan Malabar menjelaskan bahwa ada kesamaan madzhab fiqh di antara
kedua wilayah (Coromandel dan Malabar dengan Nusantara) yaitu mayoritas
penduduknya bermazhab Syafi‟i,lihat Mumuh Muhsin Z, Teori Masuknya Islam ke
Nusantara Sebuah Diskusi Ulang, (Bandung:2007), h. 5
[30] Rumadi,
Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri
Penerbitan Hasil Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI 2007),
h. 67-68
[31] Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren,
StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 149.
[32] Hal ini didasarkan pada surat al Baqarah ayat 221 Dan
janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musyrik sebelum
mereka beriman, ayat ini ditujukan kepada wali nikah. Demikian pula dalam
surat al Baqarah ayat 232 Janganlah kamu menghalang-halangi mereka (para
isteri) untuk menikah kembali dengan bekas suami mereka jika mereka saling
meridoi dengan cara yang ma’ruf. Ma'qil bin Yasar menceritakan bahwa ayat
ini turun berkenaan dengan dirinya. Katanya, "Saya menikahkan salah
seorang saudara perempuanku dengan seorang pria, tetapi kemudian diceraikannya.
Ketika iddahnya habis, ia datang lagi meminangnya."Maka saya jawab,“Dulu
kamu saya jodohkan, saya nikahkan dan saya muliakan, tetapi kemudian kamu
ceraikan. Dan kini kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah kamu tidak
dapat kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya. Lelaki ini orangnya biasa
saja, tetapi bekas istrinya itu ingin kembali kepadanya. Dalam hadits Abu Musa
sesungguhnya Rasulullah telah bersabda Tidak syah nikah tanpa wali.
[33] Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa
adillatuhu Juz VII, (Berut: Darul Fikr, 1985), hal 192
[35] Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum
Perkainan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Al Fikris, 2009, hal. 3 36 Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir:
Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal 33
[36]
Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubro.
1969, hal 33
[37] Sebagai pemahaman dari ketentuan wali adhol
bagi anak usia kurang dari 15 tahun dan usia 15-18 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar