Kamis, 15 Maret 2012

Saudi Arabia, Wali Dalam Hukum Keluarga


SAUDI ARABIA
Oleh SUGIRI PERMANA

Saudi Arabia terletak di bagian Barat Daya benua Asia, dan menempati bagian terbesar dari semenanjung Jazirah Arab (2.000.000 km2). Letak yang istimewa ini menjadikannya memiliki hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan kuno yang telah terbentuk di Timur Tengah. Berbatasan di sebelah utara dan timur laut dengan Yordania, Kuwait dan Irak. Di sebelah selatan berbatasan dengan Republik Yaman. Di sebelah Timur Teluk Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kesultanan Oman. Di sebelah barat laut Merah.[1]
Sistem pemerintahan di Saudi Arabia adalah Kerajaan (Monarki). Kabinet bersama Raja merupakan kekuasaan eksekutif dan regulatif dalam Negara. Perdana Menteri adalah Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud, dan Putra Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur Jenderal. Sistem Judikatif bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. [2]

Akar sejarah Kerajaan
Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di "Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M. Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, kembali kota Riyadh yang merupakan ibu kota bersejarah kerajaan ini. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam. Di atas prinsip inilah, para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd. [3]
Sejarah panjang kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran seseorang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang bermazhab Hanbali dan berusaha keras memurnikan ajaran ketauhidan. Ia berasal dari dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dariyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Pada sekitar tahun 1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dariyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin „Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Muhammad bin „Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin „Abdul Wahab. [4]
Tahir Mahmood mengkatagorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki.[5] Namun sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak adanya peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka untuk melacak hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad bin Hanbal. Wali dalam mazhab Hanbali hukumnya wajiib, bahkan pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali.[6]
Seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan tidak dapat menikahkan untuk perempuan yang lainnya baik atas izin walinya ataupun tidak. Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam hal hukuman, mengingat pernikahan tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga tidak ada hukuman bagi pelaku pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek kemudian saudara. Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih dekat masih ada, menyebabkan pernikahannya batal.[7]


[1] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82597, acessed 13 Desember 2010 13 http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82600
[2] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
[3]http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
 Dari Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/ data.asp?lang=12&id=198218 16 lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. 17 Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, Umdatu al fiqh fi mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah, 2003), hal. 90
[4] Dari Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/ data.asp?lang=12&id=198218
[5] lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah.
[6] Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, Umdatu al fiqh fi mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah, 2003), hal. 90
[7] Ibn Qudamah, Al Kafi fiqh Ahmad ibn Hanbal, kitab nikah, hal 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar