SAUDI ARABIA
Oleh SUGIRI PERMANA
Oleh SUGIRI PERMANA
Saudi Arabia terletak
di bagian Barat Daya benua Asia, dan menempati bagian terbesar dari semenanjung
Jazirah Arab (2.000.000 km2). Letak yang istimewa ini menjadikannya memiliki
hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan kuno yang telah terbentuk di Timur
Tengah. Berbatasan di sebelah utara dan timur laut dengan Yordania, Kuwait dan
Irak. Di sebelah selatan berbatasan dengan Republik Yaman. Di sebelah Timur
Teluk Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kesultanan Oman. Di sebelah
barat laut Merah.[1]
Sistem pemerintahan di
Saudi Arabia adalah Kerajaan (Monarki). Kabinet bersama Raja merupakan
kekuasaan eksekutif dan regulatif dalam Negara. Perdana Menteri adalah Khadim
al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul
Aziz Al-Saud, dan Putra Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud,
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur
Jenderal. Sistem Judikatif bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. [2]
Akar sejarah Kerajaan
Saudi Arabia bermula
sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu,
di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat
terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad
bin Saud di "Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh
pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah
Arabia. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818
M. Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi
kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309
H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan
kejayaan kerajaan para pendahulunya, kembali kota Riyadh yang merupakan ibu
kota bersejarah kerajaan ini. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan
pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud
pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti
Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam. Di atas
prinsip inilah, para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin
Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja
Fahd. [3]
Sejarah panjang
kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran seseorang bernama
Muhammad bin Abdul Wahab yang bermazhab Hanbali dan berusaha keras memurnikan
ajaran ketauhidan. Ia berasal dari dari keluarga klan Tamim yang menganut
mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi
Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dar‟iyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Pada sekitar tahun
1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dar‟iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir
Muhammad bin Saud dan Muhammad bin „Abdul Wahab saling membaiat dan saling
memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin
Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud.
Muhammad bin „Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah
kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil
mengawini salah seorang putri Muhammad bin „Abdul Wahab. [4]
Tahir Mahmood
mengkatagorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam
secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan
perundang-undangan. Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah
jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki.[5] Namun
sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab
menyebabkan mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh
karena tidak adanya peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi
Arabia, maka untuk melacak hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh
Imam Ahmad bin Hanbal. Wali dalam mazhab Hanbali hukumnya wajiib, bahkan
pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali.[6]
Seorang perempuan tidak dapat menikahkan
dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang
perempuan tidak dapat menikahkan untuk perempuan yang lainnya baik atas izin
walinya ataupun tidak. Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur
pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri,
pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam hal hukuman, mengingat pernikahan
tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga tidak ada hukuman bagi pelaku
pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek kemudian saudara.
Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih dekat masih
ada, menyebabkan pernikahannya batal.[7]
[1] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82597,
acessed 13 Desember 2010 13
http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82600
[2] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
[3]http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
Dari
Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/
data.asp?lang=12&id=198218 16 lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan
nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin
Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. 17 Ahmad bin Qudamah Al
Maqdisi, Umdatu al fiqh fi mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah,
2003), hal. 90
[4] Dari
Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/
data.asp?lang=12&id=198218
[5]
lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan nama Abu abdullah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin
al-Haris Dzi Ashbah.
[6] Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, Umdatu al fiqh fi
mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah, 2003), hal. 90
[7] Ibn
Qudamah, Al Kafi fiqh Ahmad ibn Hanbal, kitab nikah, hal 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar