Kamis, 15 Maret 2012

Indonesia Wali Dalam Hukum keluarga


INDONESIA
Oleh SUGIRI PERMANA
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk mayoritas muslim dan merupakan penduduk muslim terbesar di antara negra-negara yang berpenduduk muslim. Dengan jumlah penduduk 228,582,000 jiwa, 86,1 % nya adalah muslim. Sebagian besar muslim di Indonesia merupakan golongan sunni dengan mayoritas menganut mazhab Syafii. Banyak teori yang mengemukakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia bermazhab Syafii.
Tahir Mahmood menyebutkan Malaysia sebagai pusat pengembangan dari mazhab Syafii,Dari sudut pandang sejarah, meskipun terjadi silang pendapat mengenai Islam masuk ke Indonesia baik menurut abad ke tujuh menurut versi sejarawan muslim atau abad ke empat belas menurut versi sejarah Barat, menurut Amir Syarifudin[1], ternyata yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafii.[2]
Setidaknya ada dua kondisi yang memberikan dukungan terhadap perkembangan mazhab Syafii di Indonesia di mana perkembangan Islam di Indonesia (bila memakai teori pertama) pada abad 12 -13 Masehi, menunjukkan bahwa masa tersebut adalah masa di mana perkembangan hukum Islam sedang mengalami stagnan dan mengarah pada pintu ijtihad yang tertutup. Kedua disinyalir bahwa para penyebar Islam waktu itu mereka yang bermazhab Syafii.[3]Demikian juga dengan para kyai sepertinya dengan “sengaja” lebih mengutamakan ajaran dan pendekatan tentang hukum-hukum Islam yang dikembangkan oleh Imam Syafii bila dibandingkan dengan kitab-kita lainnya.[4]

Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga di Indonesia
Hukum keluarga di Indonesia telah hadir sejak tahun 1882, yakni sejak Stb 152 Tahun 1882 di mana pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan peradilan agama sebagai lembaga peradilan yang menyelesaikan sengketa hukum keluarga berkenaan dengan nikah, talak, waris dan waqaf. Sedangkan dalam segi hukum materiil, baru muncul pada tahun 1971 yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975. Sebenarnya sebelum undang-undang perkawinan lahir, telah ada ketentuan mengenai pencatatan nikah dan sanksinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahuun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk. Akan tetapi ketentuan ini kurang efektif dan ternyata undang-undang perkawinan yang dianggap sebagai cikal bakal hukum keluarga di Indonesia. Selain undang-undang perkawinan, sumber hukum keluarga di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam. Meskipun landasannya KHI ini adalah Inpres Nomor 1 Tahun 1991, namun dalam pelaksanaannya sudah menjadi bagian dari living law bahkan kedudukannya sudah menjadi bagian penting dari berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
30 Rumadi, Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri Penerbitan Hasil Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI 2007), h. 67-68 31 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 149.
Ketentuan wali dalam hukum pernikahan di Indonesia dapat ditemukan pada Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 23. Wali merupakan rukun (hal yang mesti ada) dalam suatu perkawinan. Tidak adanya wali dalam perkawinan menyebabkan pernikahannya batal. Wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah ayah, kakek dari pihak ayah, kemudian laki-laki dari pihak saudara, dari pihak paman dan laki-laki dari pihak saudara kakek. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali apabila tidak ada wali bagi calon mempelai istri atau karena adlolnya (tidak mau menikahkan) wali yang ada.


[1] 28Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesa, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 27
[2] 29Pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia sejak abad XIII, menyatakan bahwa orang-orang Arab bermazhab Syafi‟i bermigrasi dan menetap di daerah India, kemudian mereka membawa Islam ke Nusantara. Menurut Arnold yang menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari Coromandel dan Malabar menjelaskan bahwa ada kesamaan madzhab fiqh di antara kedua wilayah (Coromandel dan Malabar dengan Nusantara) yaitu mayoritas penduduknya bermazhab Syafi‟i,lihat Mumuh Muhsin Z, Teori Masuknya Islam ke Nusantara Sebuah Diskusi Ulang, (Bandung:2007), h. 5
[3] Rumadi, Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri Penerbitan Hasil Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI 2007), h. 67-68
[4] Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 149.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar