Selasa, 20 Maret 2012

Hukum Islam di Negara Brunei Darussalam

Hukum Islam di Negara Brunei Darussalam

20 Mei 2009 12:39

Oleh: Inna Zunia Fauziana dan Harsani
http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-brunei-darussalam/

I. PENDAHULUAN

Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara Kalimantan berbatasan dengan Lautan Cina Selatan di utara, dan Serawak di barat, dan timur. Luas : 5765 km. Penduduk: 264.000 (1991). Komposisi penduduk: Melayu (69%), Asli (5%), Cina (18%), dan bangsa-bangsa lain (8%). Agama resmi Islam (67%) dengan bermazhab Syafi’i.[1]

Sedang yang lainnya Budha (14%), Kristen (9,7%) dan lainnya (12%) termasuk agama pribumi suku dayak. Bahasa resmi Melayu. Ibukota Bandar Sribegawan. Mata uang: Dollar Brunei (100 Cents). Sumber utama penghasilan negara: gas bumi dan minyak.[2]

Populasi penduduk Brunei adalah 301.000 yang terdiri dari 70,5 % orang Melayu yang umumnya bekerja di pemerintahan dan sipil, orang Cina 16 % dimana 80 % nya tidak terakomodasi sebagai warga negara resmi, dan beberapa kelompok lokal seperti orang Iban, Kedayan, Kayan, Kenyah, Kiput, Muru dan Tutung, pendatang yang berjumlah 8,2 % umumnya sebagai pekerja industri yang berasal dari Inggris 6.000 orang, Asia Selatan 4.200 orang, Gurkha 1.000 orang, Korea dan Fhilipina.

Bahasa Melayu menjadi bahasa utama, disertai bahasa Inggris, Cina, Iban, dan belasan dialek daerah yang berjumlah 17 bahasa. Brunei dikenal sebagai salah satu negara terkaya di Asia karena hasil minyak buminya.[3]

Negara ini mempunyai otoritas tidak hanya meliputi seluruh Pulau Borneo tetapi juga beberapa bagian pulau-pulau Suluh dan Fhilipina namun mulai abad ke-17 lebih-lebih pada abad ke-18 dan ke-19. Kekuasaan kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North borneo Company dan serangan-serangan para pembajak. Pada abad ke-19 wilayah negar Brunei Darussalam tereduksi menjadi sangat ecil smpai batas-batas yang ada sekarang.

Pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak. Perjanjian berikutnya diadakan pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara Brunei berada dibawah proteksi Inggris Raya. Pada tahun 1963 negara Brunei berbentuk negara Merdeka Melayu Inggris dengan tidak bergabung dengan federasi Malaysia. Sampai akhirnya tanggal 1 Januari 1984 Brunei Darusalam menjadi negara Kesulatanan yang merdeka dan berdaulat.[4]

Bentuk pemerintahan Brunei menurut konstitusi di kesultanan dijalankan oleh Majelis Umum, Dewan Menteri, dan Badan Legislatif. Sultan mempunyai kekuasaan yang sangat besar kuasa eksekutif tertinggi berada di tangan Sultan sebagai Menteri Besar (Ketua Menteri).

II. PEMBAHASAN

Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada tahun 1977 melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedgang-pedagang dari Cina. Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408).[5] Perkembangan islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam, Malak jatuh ketangan portugis (1511) sehingga banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei. Kemajuan dan perkembangan Islam semakian nyata pada masa pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke-5), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh Pulau Kalimantan (Borneo), Kepulauan Sulu, Kepulauan Balakac, Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matanani, dan Utara Pulau Pallawan sampai ke Manila.

Pada masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan beberapa hal yang menyangkut tata pemerintahan: 1) menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka, disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian. Pada tahun 1888-1983 Brunei di bawah penguasaan Inggris. Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31 Desember 1983. Setelah merdeka, Brunei Darussalam menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja “ melayu” diartikan dengan unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan. “Islam” diartikan sebagai suatu kepercayaan yang dianut negara yang bermadzhab Ahlussunnah Wal Jamaah sesuai dengan konstitusi dan cita-cita kemerdekaannya. “Beraja” adalah suatu sistem tradisi melayu yang telah lama ada.

Brunei merdeka sebagai negara Islam dibawah pimpinan Sultan ke-29, yaitu Sultan Hasanah Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan Sultan adalah “Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan Negara.” Gelar Mu’izzadin Waddaulah “(penata agama dan negara) menunjukkan ciri keIslaman yang selalu melekat pada setiap raja yang memerintah.

Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam masalah agama Islam. Langkah ini yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara. Untuk itu, dibentuk jabatan hal ikhwal agama yang tugasnya menyebarluaskan paham Islam, baik kepada pemerintah beserta aparatnya maupun kepada masyarakat luas. Untuk kepentingan penelitian agama Islam, pada tanggal 16 september 1985 didirikan pusat Dakwah, yang juga bertugas melaksanakan program dakwah serta pendidikan pada pegawai-pegawai agama serta masyarakat luas dan pusat pameran perkembangan dunia Islam. Di Brunei, orang-orang cacat dan anak yatim menjadi tanggungan negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari TK sampai perguruan tinggi) dan pelayanan kesehatan diberikan secara gratis. Brunei juga mengembangkan hubungan luar negeri dengan masuk Organisasi Konferensi Islam, ASEAN, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[6]

Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul jabbar (1619-1652 M).[7]

Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan :
Bidang kuasa sivil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.

Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-Uuan, Pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.

Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara’ dirasa tidak begitu jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya menuntut:
Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim setempat.
Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak, dipindah, dan dilanggar selama-lamanya.

Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari’ah yang akan mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya.

Untuk seterusnya Mahkamah Syari’ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibdat (khusus) saja. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.

Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam yang dikenal dengan “Muhammadans Marriages and Divorce Enactement.” Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967.[8] Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang inipun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.[9]

Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada perundangan yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang :
pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)
Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)
Mahkamah syari’ah (Bagian III pasal 45-96)
Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)
Masjid (Bagian V pasal 123-133)
Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156)
Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)
Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)
Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)
Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204)

Undang-undang keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-undang Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya masih sama dengan undang-undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage and Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163.[10]

Untuk lebih memberikan wawasan, sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di bawah ini dengan diberikan perbandingan dengan negara yang berada diwilayah Asia Tenggara yaitu Malaysia dan Singapura. Alasannya karena ketiga negara ini bertetangga dan mempunyai kesamaan dalam warisan sosial, budaya dan adatnya, disamping itu madzhab yang dianut oleh penduduknya adalah madzhab Syafi’i.[11]

a. Pembatalan Pertunangan

Perbuatan membatalkan perjanjian pertunangan oleh pihak laki-laki yang dibuat baik secara lisan maupun secara tertulis yang dilakukan mengikuti hukum muslim, akan berakibat pada pihak laki-laki, yaitu harus membayar sejumlah sama dengan banyaknya mas kawin, ditambah dengan perbelanjaan yang diberikan secara suka rela untuk persiapan perkawinan. Apabila yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua pembayaran baik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui perkawinan. Hal ini tidak dijelaskan dalam fikih Syafi’i secara eksplisit.

b. Pendaftaran Nikah

Dalam Undang-undang Brunei orang yang bisa menjadi pendaftar nikah cerai selain kadi besar dan kadi-kadi adalah imam-imam masjid, disamping imam-imam itu merupakan juru nikah yang diberi tauliah untuk menjalankan setiap akad nikah. Orang biasa melangsungkan sebuah pernikahan adalah orang yang diberi kuasa (tauliah) oleh sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam. Tetapi dalam hal kehadiran dan kebenaran pendaftaran juga diperlukan. Walaupun demikian pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan hukum muslim dianggap sah dan hendaknya didaftarkan. Sedangkan yang dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum madzhab yang dianut oleh kedua belah pihak. Aturan-aturan yang berlaku di atas merupakan reformasi hukum keluarga Islam yang sifatnya regulatory, karena dengan tidak adanya pencatatan dan pendaftaran tidak menyebabkan batalnya suatu perkawinan bahkan dalam hal ini ternyata di Brunei terasa lebih longgar dibanding dengan negara tetangganya, karena dengan tidak mendaftarkan perkawinan tersebut tidak merupakan suatu pelanggaran. [12]

c. Wali Nikah

Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan selain itu wali pengantin perempuan harus memberikan persetujuan atau kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu apabila tidak ada wali nasab atau wali naab tidak menyetujui dengan alasan yang kurang tepat hal ini juga terjadi di Malaysia, yang memberikan aturan tentang keharusan adanya izin wali dalam nikah. Jika tidak ada wali nasab atau wali tidak memberikan izin dengan alasan yang tidak masuk akal pengadilan dapat memberikan izin kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Di Singapura aturan ini ditetapkan melalui ordonansi muslim 1957 yang memberikan otoritas kepada kadi untuk menyelenggarakan pernikahan seorang perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, atau walinya tidak memberikan izin denagn alasan yang tidak masuk akal, asalkan tidak ada halangan berdasarkan hukum islam.

d. Perceraian yang dilakukan suami

Jika perempuan cerai sebelum disetubuhi maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa iddah. Kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa dimana ia tinggal.

Dalam Undang-undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi perempuan yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh nikah lagi dengan suaminya yang terdahulu. Kecuali ia kawin dengan laki-laki lain denagn cara yang sah dan bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang sah sesuai dengan undang-undang. Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya denagn talak 1, 2, 3, denagn hukum Muslim seorang suami mesti memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada kadi dengan mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela hendaknya dia mengucapnya cerai. Kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta perceraian kepada kedua belah pihak sebagai perbandingan di negara malaysia hukum yang berlaku ternyata membatasi kebebasan seorang suami muslim untuk menceraikan istriny, lain hal denag hukum yang berlaku di serawak, jika suami menuntut perceraian pada istrinya maka ketika dibuktikan bahwa ia tidak bersalah pengadilan akan memberikan waktu 15 hari untuk mempertimbangkan kembali seandainya waktu yang diberikan habis sedang ia masih dalam keputusannya maka di izinkan kepadanya untuk menceraikan istrinya dengan membayar denda.

e. Perceraian dengan talak tebus

Di Brunei juga diberlakukan aturan yang menyatakan bahwa jika pihak tidak menyetujui perceraian denagn penuh kerelaan maka kedua belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak kadi akan menilai jumlah yang dibayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut. Serta mendaftarkan perceraian itu. Perceraian dengan cara ini ternyata berlaku juga di Malaysia.

f. Talak tafwid, fasakh dan perceraian oleh pengadilan

Perempuan di Brunei bisa memohon kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat fasakh. Yaitu suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim pernyataan fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum Islam dan pihak perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan sekurang-kurangnya dua saksi denagn mengangkat sumpah atau membuat pengakuan. Bagi para istri di Malaysia, pihak istri diberikan hak untuk mengajukan perceraian dengan alasan bahwa suaminya impoten sedangkan di Singapura pengadilan dapat menerima tuntutan dari kaum perempuan muslimah untuk mengadakan perceraian (fasakh) dan memutuskannya berdasarkan hukum keluarga Islam.

g. Hakam (Arbitrator)

Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri maka kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya. Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbiterase dan harus melaksanakannya sesuai dengan hukum Muslim, apabila kadi tidak sanggup atau tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam kadi akan mengganti dan mengangkat hakam yang lain. Haruslah di angkat seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, kedua hakam yang diangkat itu adalah orang yang terpercaya dengan persetujuan suami istri dan kedua suami istri itu mewakilkan kepada kedua hakam untuk kumpul lagi atau bercerai apabila kedua hakam itu berpendapat demikian.

h. Rujuk

Dalam Undang-undang ini disebutkan adanya rujuk setelah dijatuhkannya talak, yaitu apabila cerainya dengan talak satu atau dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan kerelaan kedua belah pihak denagn syarat tidak melanggar hukum Muslim dan kadi harus mendaftarkan untuk tinggal bersama. Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri maka ia tidak dapat diminta untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara itu. Kemudian jika setelah menjatuhkan talak yang masih bisa dirujuk kembali pihak suami mengucapkan rujuk dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan kadi untuk tinggal bersama tetapi pihak tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan.

i. Nafkah dan tanggungan anak

Pembicaan nafkah hanya dipakai dlam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk kedalam ini adalah para istri, anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak diluar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum Muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi Besar.

III. PENUTUP

Dapat kita ambil kesimpulan bahwa hukum Islam di Brunei Darussalam mengalami perubahan setelah adanya perjanjian-perjanjian dengan Inggris yang menyebabkan Inggris campur tangan dalam urusan kekuasaan kehakiman, keadilan, hukum serta perundang-undangan. Pelaksanaan hukum Islam secara khusus diserahkan kepada pemerintah Brunei, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan mahkamah Syari’ah. Negara Brunei Darussalam mengakomodasi hukum Islam, adat, dan barat tetapi yang sering sekali digunakan adalah hukum Muslim (Islam). Pengambilan hukum Islam di brunei secara utuh dikembangkan dari mazhab Syafi’i dan sebagian besar bersifat regulatory, meskipun demikian ternyata pembaharuan hukum yang bersifat substansial tidak sejalan dengan Syafi’i sendiri bahkan dengan mazhab lain seperti masalah iddah yang belum disetubuhi oleh suaminya, kemudian ganti rugi batalnya perjanjian pertunangan. Kita ketahui hukum di Brunei dipengaruhi oleh Inggris melalui perjanjian-perjanjian sehingga memungkinkan Inggris campur tangan dan Brunei menjadi pemerintahan bergantung pada Inggris. Andaikan pada waktu itu Kesultanan Brunei tegas tidak lemah, serta mampu menangani konflik yang ada di negara brunei mungkin Bruneei menjadi negara-negara yang mempunyai undang-undang hukum Islam yamg kuat. Strategi kuatnya kekuatan negara dalam menghadapi persoalan menjadi hal yang penting di Brunei dan seluruh negara. Semoga Brunei terus-menerus melakukan pembaharuan hukum dan tidak menyimpang jauh dari hukum islam sehingga tidak tertinggal dwengan negara-negara lainnya dan diharapkan pengetahuan hukum Islam di brunei menjadikan kita lebih yakin dan percaya bahwa hukum Isalm yang kita gunakan adalah hukum yang benar yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah katrena negara lain seperti Brunei berprinsip yang sama dengan umat Islam di Indonesia.

IV. PENGANTAR DISKUSI

Negara Brunei mempunyai otoritas tidak hanya meliputi seluruh pulau Borneo tetapi juga beberapa bagian pulau-pulau Sulu dan Fhilipina. Pada abad ke-18 dan ke-19 kekuasaan kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company.

Perlu diketahui di Brunei Darussalam terjadi perjanjian kurang lebih sekitar lima perjanjian yaitu:
Perjanjian pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak.
Perjanjian kedua pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara brunei berada dibawah proteksi Inggris Raya.
Perjanjian pada tahun 1856 intervensi Inggris dalam tulisan hukum Brunei (intervensi )
Perjanjian pada tahun 1888 tentang bidang kekuasaan kehakiman di Brunei (pembagian kekuasaan kehakiman dengan pihak Inggris)
Perjanjian pada tahun 1906 tentang kekuasaan dalam bidang hukum (kekuasaan intervensi perundangan-undangan, pentadbiran keadilan, dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan )

Perjanjian-perjanjian tersebut menimbulkan efek yang sangat jelas bagi perkembangan hukum di negara Brunei. Brunei Darussalam memiliki kekuasaan kehakiman yang terpisah yaitu kekuasaan kehakiman Inggris dan kekuasaan kehakiman Brunei. Sungguh mengherankan bukan suatu negara mempunyai kekuasaan kehakiman yang lain disamping kekuasaan kehakiman Brunei. Disamping itu pula Inggris mempunyai kekuasaan untuk intervensi dalam urusan perundang-undangan kehakiman masalah negara terkecuali perkara-perkara agama islam. Terlihat jelas sekali bahwa perjanjian-perjanjian denagn pihak Inggris banyak berdampak negatif yaitu merugikan bangsa Brunei dalam hal mereka sebagai bangsa yang ingin merdeka.faktor-faktor yang menyebabkan Brunei selalu terposok atau tersudut dalam perjanjian kemungkinan karna lemahnya sultan dalam menghadapi tekanan-tekanan Inggris dan juga lemahnya pengetahuan strategis politik sehingga terjadi ketidak adilan dalam pembagian kekuasaan. Seperti pada [etisi yang diajukan pada Kesultanan Brunei kepada seluruh Jaya British pada 2 Juli 1986 dimana petisi itu berisi dua tuntutan dari kedua petisi hanya masalah nomor satu yang disetujui oleh Inggris dan tidak dilanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari'ah sedangkan yang kedua ditolak karena isinya bertentangan dengan isi perjanjian tahun 1906.

Mahkamah syari'ah Bunei hanya dibenarkan melaksanakan Undang-undang Islam yang berkaitan denagn perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadah (khusus). Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayah diserahkan kepada Undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.

Untuk seterusnya peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus-menerus mengalami perombakan.


[1] David Leake, JR., Dalam John L. Eposito (Ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), Cet. 1, hal. 232

[2] Redaksi Ensiklopedia, Ensiklopedia Islam, hal.256.

[3] http// :www hukumislamdibruneidarussalam. Com.

[4] Inamulah khan (Ed), The World MuslimGazeteer, (Delhi: International Islamic publisher, 1992), p. 175/

[5] Ibid

[6] Ensiklopedia Islam, Op.Cit., hal. 257-258

[7] Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar hukum No. 23 Tahun VI, 1995, p. 41-42

[8] Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), h. 198-199.

[9] Haji Salim bin Haji Besar, Pelaksanaan Undang-undang keluarga Islam di Negara Brunei Daruss alam dan Permasalahannya dalam Mimbar Hukum, h. 9-10

[10] Prof. Dr. Atho Mudzhar dan Dr. Khoerudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), Cet. I, h. 178-182

[11] Tahir Mahmood,Family Law Reform in the muslim world, (Bombay: N.M. Tripathi pvt. Ltd., 1972), h. 198.

[12] Prof, Dr. Atho Mudzar, op. cit., hal. 184-185

HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

Oleh : Moh. Fathudin, Lc, S.HI.
http://fathudin.blogspot.com/2010/02/hukum-keluarga-islam-di-malaysia.html
Pendahuluan
Berbicara tentang Negara Malaysia ada keunikan tersendiri,. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia menyuguhkan suatu pengalaman Islam yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat yang multi-etnik, multi-komunal dan multi-agama tempat bangsa Melayu yang merupakan 45 persen dari seluruh penduduknya. Namun demikian bangsa melayu mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan dan yang terbesar adalah komunitas Cina (35 persen) dan India (10 persen). Tidak dapat dielakan bahwa keberadaan dua etnik tersebut di Malaysia merupakan produk sejarah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia (Melayu) berada pada persimpangan jalur perdagangan Asia Tenggara, semenananjung Melayu menjadi pusat berkumpulnya berbagai pengaruh Agama dan Kebudayaan karena disinilah para pedagang dari India, Arab, dan Cina serta kaum penjajah Portugis, Belanda dan Inggris membawa serta ajaran Hindu, Budha, Kristen dan Islam ke Asia sehingga membentuk mozaik kebudayaan yang sangat kaya warna.
Dua proses kebudayaan yang paling kuat membentuk wilayah tersebut adalah Indianisasi yang berlangsung selama berabad-abad yang kemudian disusul dengan Islamisasi dari abad keempatbelas disaat para pedagang Muslim dan para Sufi dari Arab dan India mengajak para penguasa (sultan) Melayu untuk memeluk Agama Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara.
Karena Negara Malaysia juga merupakan bekas daerah jajahan Portugis dan Belanda yang kemudian disusul dengan kedatangan Inggris pada akhir abad ke-18. Tentunya hal tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap produk hukum yang dibuat Malaysia , karena tidak menutup kemungkinan hukum yang dibawa penjajah juga membumi di Malaysia. Dari beberapa uraian diatas merupakan pijakan penulis untuk membahas Hukum Keluarga Islam di Malaysia karena disamping menengok sejarah Malaysia ke belakang tentunya juga harus melihat kondisi sosio politik yang berkembang di Malaysia yang kesemuanya itu merupakan faktor penentu dari produk hukum yang dihasilkan

Gambaran Umum Tentang Negara Malaysia
Malaysia merupakan Negara bagian yang memiliki tigabelas Negara Federasi diantaranya Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak, Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuandiantaranya Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya. Negara Malaysia pernah berada di bawah kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits Settlement ( Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States ( Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States (Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan Malaysia. Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957. Penganut Agama Islam pada tahun 2004 sekitar 60 persen dari keseluruhan jumlah penduduk, sebagian besar umat Islam di Malaysia bermazhab Syafi'I sekalipun ada juga yang menganut mazhab Hanafi walau dalam jumlah sedikit. Agama-agama lain yang ada di Malaysia diantaranya Budha ( Cina dan India), Hindu dan Kristen. Sebagaimana termaktub dalam konstitusi Malaysia pada bagian 1 Pasal 3 dinyatakan bahwa " Islam adalah agama Federasi", tetapi agama-agama lain diterima dan diperkenankan . Dalam konstitusi Malaysia juga menetapkan bahwa Kepala Negara bagian adalah kepala agama Islam. Dalam pasal 11 juga disebutkan bahwa Malaysia menerima prinsip kebebasan beragama.
Hal yang menarik dari Konstitusi Malaysia sebagaimana dikatakan John L. Esposito adalah bahwa konstitusi tersebut mengabadikan identifikasi agama dan etnik( kedudukan istimewa bagi Islam, Sultan dan kaum Muslim Melayu). Menurutnya konstitusi tersebut mendefinisikan orang melayu sebagai " Orang yang mengaku memeluk agama Islam, terbiasa berbicara dengan bahasa melayu, dan menyesuaikan diri dengan adat-isitiadat Melayu".Orang-orang melayu menikmati hak istimewa yang mencakup system kuota Melayu dalam pendidikan, pemerintahan, dan bisnis.

Sosio Politik Negara Malaysia
Sebagaimana kita ketahui bahwa Malaysia merupakan Negara multi-komunal, Sejak awalnya dengan adanya dua etnis yakni Cina dan India merupakan masa dimana Malaya dalam proses Indianisasi, yang kemudian disusul pula upaya Islamisasi dari beberapa pedagang muslim dan para Sufi dari Arab. Atas dasar itu maka John L. Esposito menganggap bahwa sejak periode paling awal di Malaysia, Islam mempunyai ikatan erat dengan politik dan Masyarakat, secara tradisional di Negara-negara bagian Melayu, seluruh aspek pemerintahan , jika tidak diambil langsung dari sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh aura kesucian agama. Islam menjadi unsur inti identitas dan kebudayaan Melayu, memberikan kesadaran tentang agama, nilai-nilai tradisonal, kehidupan pedesaan dan kehidupan keluarga secara terpadu. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa Islam merupakan sumber legitimasi para sultan, yang memegang peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan pelindung hokum Islam, sekaligus pendidikan dan nilai-nilai adat. Islam dan identitas Melayu saling berjalin berkelindan, menjadi orang Melayu berarti menjadi Muslim.
Pada saat Melayu dijajah oleh Inggris nilai-nilai Islam sebagaimna tersebut diatas menjadi terusik, karena memang watak kolonialisme inggris adalah politik pecah belah, dismping itu juga adanya upaya Inggris untuk memisahkan antara Agama dan Negara hal ini terwujud dengan diperkenalkannya administrasi sipil dan sistem hukum yang berbeda dengan sistem hukum dan peradilan Islam. Pada saat yang sama, masyarakat juga menjadi lebih pluralistis yang disebabkan adanya imigrasi besar-besaran orang-orang non- Muslim Cina dan India. Usulan –usulan Inggris kepada serikat Melayu untuk bersatu dengan kesamaan hak warga Negara bagi semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, karena dikhawatirkan adanya pertumbuhan populasi, kekuatan ekonomi, serta pengaruh komunitas Cina dan India .
Dari serentetan gejolak politik bangsa Melayu maka pada saat yang sama yakni pada tahun 1951 munculah Partai Islam pan Melayu (PMIP : Pan Malaya Islamic party) yang kini dinamakan dengan PAS( Partai Islam Se-Malaysia) yang menawarkan pesan dan program partai yang menggabungkan nasionalisme Melayu dan Islam. Menurut Taufik Adnan bahwa partai ini lebih bersifat konservatif karena ingin menjadikan Islam sebagai landasan perjuangannya serta menjadikan Islam yang mereka pahami sebagai sistem cara hidup sempurna, yang mencakup aturan-aturan pidana Islam, sebagai konstitusi dan hukum yang berlaku di Malaysia. Sementara UMNO ( United Malaya National Organization) yang didukung oleh ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) lebih kepada menggunakan pendekatan akomodatif dan moderat dan tidak kaku dalam memaknai Islam. Dapat penulis simpulakan bahwa dalam kancah perpolitikan nasional Malaysia terdiri dari dua kubu yang bersimpangan pendangan mengenai Islam. PAS lebih cendurung untuk menjadikan Negara Islam dalam arti Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai hukum yang berdaulat yang berarti syariat islam menjadi konstitusi Negara. Sedangkan UMNO dan ABIM lebih kepada upaya menghidupkan nilai-nilai islam dalam konteks masyarakat yang pluralis serta bersikap akomodatf terhadap dua etnis ( Cina dan India) yang ada di Malaysia.

Hukum Keluarga Islam di Malaysia
Menurut Khiruddin Nasution bahwa setelah terjadinya pembaharuan UU Keluaraga Malaysia maka apabila dikelompokan maka Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di Malaysia akan lahir dua kelompok besar:
1. UU yang mengikuti akta persekutuan yakni Selangor, Negeri Sembilan, pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Serawak dan Sabah.
2. Kelantan, Johor, Malaka, dan Kedah meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada perbedaan yang cukup menyolok , yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan sebanyak 49 kali.

UU Perakawinan di Malaysia dalam Sejarah

• Sebelum Penjajahan Inggris
Sebelum masuknya Inggris hokum yang berlaku adalah hokum Islam yang masih bercampur dengan hukum adat, menurut Abdul Munir Yaacob mengatakan bahwa undang-undang yang berlaku dinegara-negara bagian sebelum campur tangan inggris adalah adat pepatuh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negarasembilan dan beberapa kawasan di Malaka, dan adapt Temenggung dibagian semenanjung. Sedangkan orang Melayu di Serawak mengikuti Undang-undang Mahkamah Melayu Serawak. Undang-undang tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam maslah perkawinan, perceraian dan jual beli.
• Masa Penjajahan Inggris
Pada tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk diberlakukan di Negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore) yang isinya :
BAB I : Pendaftaran Perkawinan dan perceraian ( Pasal 1 sd 23)
BAB II : Pelantikan Qadi ( pasal 24 s.d 26)
BAB III : Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 27)
BAB IV : Ketentuan Umum ( Pasal 28 s,d 33)
Sementara untuk Negara-negara Melayu berskutu ( perak, Selangor, Negerisembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885. dan untuk Negara-negara Melayu tidak bersekutu atau Negara-negara bernaung (kelantan, terengganu, perils, Kedah dan Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907.

• Setelah Merdeka
Setelah Malaysia merdeka upaya pembahruan hukum keluarga sudah mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, bukan hanya pendaftaran perkawinan dan perceraian seperti pada undang-undang sebelumnya. Usaha tersebut dimulai pada tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negeri sembilan yang kemudian diikuti oleh Negara-negara bagian lain. Undang-undang perkawinan Islam yang berlaku sekarang di Malaysia adalah undang-undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan undang-undang masiang negeri. Undang-undang Keluarga tersebut diantaranya : UU Keluarga Islam Malaka 1983, UU Kelantan 1983, UU Negeri Sembilan 1983, UU Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak 1984 ( No.1), UU kedah 1979, UU Pulau Pinang 1985, UU Trengganu 1985, UU Pahang 1987, UU Selangor 1989, UU johor 1990, UU Serawak 1991, UU Perlis 1992, dan UU Sabah 1992.

Materi Hukum Keluarga Islam di Malaysia

Pencatatan Perkawinan di Malaysia
Hukum Perkawinan di Malaysia juga menharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah Akad Nikah. Hanya saja dalam prakteknya proses pencatatan ada tiga jenis diantaranya :
Pertama: Untuk yang tinggal di Negara masing-masing pada dasarnya pencatatan dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali Kelantan yang menetapkan tujuh hari setelah akad nikah dan pencatatan tersebut disaksikan oleh wali dan dua orang saksi dan pendaftar. Sebagaimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 22 Ayat 1 dinyatakan :
Selepas Sahaja akad nikah sesuatu perkahwinan dilakukan, Pendaftar hendaklah mencatat butir-butir yang ditetapkan dan ta'liq yang ditetapkan atau ta'liq lain bagi perkahwinan didalam daftar perkahwinan.

Kedua: Orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan dikedutaan Malaysia yang ada diluar negeri. Untuk kasus ini proses pencatatan secara prinsip sama dengan proses orang Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya. Perbedaanya adalah hanya pada petugas pendaftar, yakni bukan oleh pendactar asli yang angkat di Malaysia , tetapi pendaftar yang diangkat di kedutaan atau konsul Malaysia di Negara yang bersangkutan. Sebagimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 24 Ayat 1 dinyakatakan :
(1) Tertakluk kepada subsyksen. (2) perkahwinan boleh diakadkan mengikuti hokum syara oleh pendaftar yang dilantik dibawah seksyen.

Dalam Pasal 28 Ayat 3 dinyatakan :

Dikedutaan Suruhhanjaya Tinggi atau pejabat konsul Malaysia dimana-mana Negara yang telah memberitahu kerajaan Malaysia tentang bentahannya terhadap pengakad nikahan perkawinan di kedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul itu.


Ketiga : Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan tidak di kedutaan atau konsul Malaysia yang ada di Negara bersangkutan. Proses untuk kasus ini adalah bahwa pria yang melakukan perkawinan dalam masa enam bulan setelah akad nikah, mendaftarkan kepada pendaftar yang diagkat oleh kedutaan dan konsul terdekat. Apabila yang bersangkutan pulang ke Malaysia sebelum habis masa enam bulan maka boleh juga mendaftar di Malaysia. Ketentuan ini berdasarkan UU Serawak pasal 29 ayat 1, UU Kelantan dan UU Negara sembilan.

Pembatasan Usia Perkawinan
Dalam peraturan perundang-undangan Malaysia membatasi usia perkawinan minimal 16 tahun bagi mempelai perempuan dan 18 tahun bagi mempelai laki-laki. Ketentuan ini berdasarkan UU Malaysia yang berbunyi :
Had umur perkahwinan yang dibenarkan bagi perempuan tidak kurang dari 16 tahun dan laki-laki tidak kurang daripada 18 tahun. Sekiranya salah seorang atau kedua-dua pasangan yang hendak berkahwin berumur kurang daripada had umur yang diterapkan, maka perlu mendapatkan kebenaran hakim syariah terlebih dahulu.


Perceraian di Malaysia
Adapun alas an –alasan perceraian dalam undang-undang keluarga di Malaysia adalah sama dengan alas an-alasan terjadinya fasakh. Sebagaimana dalam UU Perak dan UU Pahang disebutkan ada lima alas an yang menyebabkan terjadinya perceraian, diantaranya :
a. Suami gila /mengidap penyakit kusta.
b. Suami impotent.
c. Izin/perstujuan perkawinan dari istri secara tidak sah, baik karena paksaan.
d. Pada waktu perkawinan istri sakit jiwa.
e. Atau alasan –alasan yang sah untuk fasakh menurut sayri'ah.
Sementara yang berlaku di Negarasembilan, Persekutuan Pulau Pinang dan Selangor , tercatat beberapa alas an sama seperti di Perak dan Pahang tetapi ada beberapa tambahan alas an diantaranya :
a. Tidak diketahui tempat tinggal suami selama satu tahun.
b. Suami tidak memberi nafkah selama tiga bulan.
c. Suami dipenjara selama tiga tahun atau lebih.
d. Suami tidak memberikan nafkah batin selama satu tahun.
e. Isteri dinikahkan bapak sebelum berumur enambelas tahun menolak perkawinan tersebut dan belum disetubuhi suami.
f. Suami menganiaya isteri.
Dari beberapa alas an tersebut diatas ada tiga hal yang perlu dperhatikan. Pertama, meskipun semua undang-undang menjadikan unsure gila sebagai alas an perceraian. Undang-undang Negeri sembilan, Pulau Pinang, Selangor dan Serawak mensyaratkan sakitnya minimal 2 tahun. Sementara UU Kelantan, Pahang, Perak tidak mensyaratkan batas minimal. Kedua, semua undang-undang mencantumkan alas an-alasan lain untuk fasakh. Ketiga, Undang-undang kelantan, Negeri sembilan, perskutuan Pulau Pinang, Selangor dan Serawak mencantumkan perkawinan paksa sebagai salah satu alasan perceraian.

Poligami di Malaysia
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan di Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami. Adapun mengenai syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang hendak melakukan poligami adalah adanya izin tertulis dari Hakim, ketentuan ini hamper tercantum di semua undang-undang perkawinan Negara bagian. Namun demikian ada beberapa berbedaan yang secara garis besar dapat dikelompokan menjadi diantaranya :
Pertama, yang merupakan kelompok mayoritas ( UU Negeri sembilan Pasal 23 ayat 1, UU Pulau Pinang Pasal 23 ayat 1, UU Selangor pasal 23 ayat 1, UU Pahang Pasal 23 ayat 1, UU Wilayah Persekutuan Pasal 21 ayat 1, UU Perak Pasal 21 ayat1 dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan:
Tiada seorang laki-laki boleh berkahwin dengan seorang lain dalam masa dia masih beristrikan istrinya yang sedia ada kecuali dengan terlebih dahulu mendapatkan kebenaran secara tertulis daripada hakim syari'ah, dan jika dia berkahwin sedemikian tanpa kebenaran tersebut maka perkawinan itu tidak boleh didaftarkan dibawah
Enakmen.

Dalam UU Perak pasal 21 ayat 1 ada tambahan kalimat :
Mendapat pengesahan lebih dahulu dari Hakim bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya.


Kedua, Poligami tanpa adanya izin dari pengadilan boleh didaftarkan denga syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan. Ketentuan ini berlaku terhadap Negara-negara seperti Serawak dan Kelantan> Pertimbangan pengadilan memberi izin atau tidak, dilihat dari pihak isteri dan suami. Adapun beberapa alas an yang dapat dikemukakan isteri diantaranya, karena kemandulan, udzur jasmani, tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh, isteri gila. Sedangkan beberapa alas an yang dapat dikemukakan suami diantaranya, kemampuan secara ekonomi, berusaha untuk bias berbuat adil, perkawinan yang dilakukan tidak membahayakan agama, nyawa, badan, akal, atau harta benda isteri yang lebih dahulu dinikahi.

Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan di Malaysia
Ketentuan piadana UU Perkawinan di Malaysia secara tegas diatur dalam perundang-undangannya, seperti dalam beberapa masalah seperti berikut :
1. Poligami
Suami yang melakukan poligami tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenakan hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgitatau kurungan maksimal 6 bulan atau kedua-duanya sekaligus. Demikian juga bagi suami yang tidak mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dapat digolongkan sebagai orang yang melanggar hokum dapat dikenakan sangsi hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.
2. Pencatatan Perkawinan
Bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia dan tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah perbuatan melnaggar hukum maka dapat dihukum dengan membayar denda sebesar seribu ringgit atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.
3. Perceraian
Bagi orang yang malanggar peraturan tentang perceraian, baik suami atau isteri, misalnya melakukan perceraian di luar pengadilan dan tidak mendapatkan pengesahan atau pengakuan dari pengadilan, atau membuat surat pengakuan palsu bias dihukum dengan hukuman denda sebesar seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya.

Perkawinan Beda Agama
Larangan perkawinan beda Agama di Malaysia didasarkan pada ketentuan yang termuat dalam seksyen 51 Akta pembaharuan UU ( Perkawinan dan Perceraian) 1976 sebagaimana disebutkan :
Jika salah satu pihak kepada suatu perkahwinan telah masuk Islam, pihak yang satu tidak masuk Islam boleh untuk perceraian. Dengan syarat bahwa tiada suatu permohonan dibawah syeksen boleh diserahkan sebelum tamat tempo tiga bulan dari tarikh masuk Islam itu.


Diposkan oleh MOH. FATHUDIN di 20:31

Kamis, 15 Maret 2012

KAJIAN FIQH DAN HUKUM KONTEMPORER ATAS KEDUDUKAN WALI


KAJIAN FIQH DAN HUKUM KONTEMPORER ATAS KEDUDUKAN WALI
Oleh SUGIRI PERMANA
Dalam pandangan mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali, wali merupakan syarat dalam pernikahan[1], sehingga dianggap tidak sah apabila pernikahan tidak memakai wali.[2] Para ulama sepakat mengenai kedudukan wali untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila ataupun yang kurang kemampuan akalnya. Akan tetapi apabila anaknya sudah balig, berakal Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Menurut Abu Hanifah, bagi yang berakal, baligh apalagi statusnya janda ia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Jumhur ulama tetap dengan pendapatnya semula, yaitu pernikahan akan sah jika adanya wali baik anak tersebut kecil, dewasa, balig ataupun janda. Menurut mazhab Hanabilah, tetap harus ada izin (persetujuan) baik janda ataupun gadis, sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafii persetujuan hanya untuk janda, apabila masih gadis tidap perlu mendapat persetujuan dari anak tersebut meskipun adanya persetujuan akan lebih baik bagi pernikahan yang akan dilangsungkan.[3]
Dalam pandangan Abu Hanifah dan Abu Yusuf, meskipun izin wali tidak diperlukan dalam sebuah pernikahan, wali mempunyai kewenangan apabila pernikahan yang dilangsungkan oleh anaknya ternyata dilakukan dengan lelaki yang tidak sekufu. Perbedaan yang cukup jauh antara pendapat Abu Hanifah dengan jumhur ulama, lebih karena disebabkan metodologi dalam pengambilan hukum. Aqad nikah dalam mazhab Hanafiyah dipersamakan dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup ijab dan qabul, kedudukan wali hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri yang masih kecil. Di sisi lain ulama Hanafiyah memandang tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai status wali baik dalam al Quran maupun hadits. Beberapa hadits Rasulullah yang menjelaskan mar’ah tidak boleh menikahkan sendiri, memberi makna sesuai lafadnya di mana mar’ah merupakan anak kecil yang belum dewasa sehingga tidak sah apabila ia menikahkan dirinya.[4]
Di samping itu, dalam ushul fiqh mazhab Hanafiyah, hanya menganggap sebagai suatu kewajiban (fardl) ketika dalil yang ditetapkan berasa dari Al Quran ataupun hadits mutawatir dengan penunjukkan hukum yang tegas.[5] Dalil-dalil al Quran yang menjadi hujjah keharusan wali oleh ketiga Imam, dipandang memberikan petunjuk secara langsung (z}onniy al dilalah) sehingga tidak dapat diambil kesimpulan bahwa wali adalah satu keharusan dalam sebuah pernikahan. Demikian halnya dengan hadits-hadits yang mengharuskan adanya wali statusnya tidak termasuk dalam kelompok mutawatir. Penerapan hukum keluarga pada negara Saudi Arabia, Jordania, Maroko dan Malaysia merupakan cerminan dari ke empat mazhab sunni. Demikian halnya dengan penerapan kedudukan wali dalam hukum perkawinan. Jordania merupakan negara hasil penetrasi Inggris (dengan corak common law), namun dalam menerapkan hukum keluarga lebih bersifat legalistik mengikuti Turki yang terpengaruh dengan sistem hukum Prancis code cipil, di mana hukum terwujud dalam sebuah perundang-undangan. Dengan latar belakang mazhab Hanafi, Jordania menerapkan hukum keluarga dengan pengaruh yang kuat dari mazhab Hanafi. Diantara penegasan mazhab Hanafi berkenaan dengan urutan wali dan hukum waris yang menisbahkan langsung pada mazhab Hanafi.
Dalam pembahasan mengenai wali nikah, hukum keluarga Jordania tidak mengharuskan wali pada pengantin perempuan di atas usia 18 tahun. Wali mujbir ayah dan kakek hanya sampai batas usia 18 tahun, sedangkan bagi selain ayah dan kakek hingga usia 15 tahun.[6] Seperti halnya dalam mazhab Hanafii, wali dapat mengajukan pembatalan nikah apabila anaknya menikah dengan lelaki yang tidak sekufu. Demikian pula dengan batasan umur untuk menikahkan sendiri, Imam Abu Hanifah memberi batasan 18 tahun bagi perempuan yang dapat menikahkan dirinya sendiri. Di Saudi Arabia dengan latar belakang penduduknya yang bermazhab Hanbali, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan pelaksanaannya, karena hukum yang berlaku pun bersifat tradisional (hukum adat dalam katagorisasi sistem hukum Indonesia) yakni tidak dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Hukum diterapkan merujuk pada Al Quran dan hadits dengan mengedepankan mazhab Hanbali dalam penerapannya. Malaysia termasuk negara yang cenderung memegang teguh mazhab yang selama ini berkembang di negaranya. Ketentuan mengenai perkawinan cenderung menerapkan apa yang terdapat dalam mazhab Syafii. Demikian halnya dengan ketentuan wali, menjadi satu keharusan dalam pelaksanaan pernikahan. Ketentuan wali di dalam hukum keluarga di Indonesia jauh lebih rinci bila dibandingkan dengan Malaysia yang sama-sama mayoritas muslimnya bermazhab Syafii. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali di bahas mengenai wali nasab dan wali hakim. Wali nasab dijelaskan mengenai kedudukan dan golongannya secara rinci. Demikian pula dengan status wali hakim yang dapat bertindak ketika wali nasab tidak ada atau karena adlolnya wali. Perbedaan ini terjadi karena sistem administrasi pernikahan di Malaysia dan Indonesia berbeda.
Di Malaysia pendaftaran pernikahan dapat saja dilangsungkan setelah pernikahan tersebut dilakukan sebelumnya. Sedangkan di Indonesia untuk melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus didaftarkan minimal 10 hari sebelumnya dan pada saat akad nikah harus dihadiri oleh pejabat Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karenanya pengaturan wali nikah yang rinci merpakan pedoman bagi pegawai pencatat nikah dalam memeriksa sebuah pendaftaran (rencana) pernikahan.

Pemberlakuan hukum keluarga di Maroko berbeda dengan tiga negara sebelumnya. Di mana pada tiga negara tersebut menerapkan hukum keluarga yang diwarnai oleh corak mazhab yang menjadi pegangan sebagian besar umat muslimin di negara tersebut. Selama ini, muslim Maroko mayoritas penganut mazhab Maliki. Namun dalam hukum keluarga cenderung mengikuti mazhab Hanafi. Perbedaan wali nikah dalam mazhab Hanafi dengan hukum keluarga di Maroko berkenaan dengan status wali dan kewenangan menikahkan. Wali dalam hukum keluarga di Maroko, tidak menjadi hak ayah ataupun kakek, tetapi menjadi hak anak perempuan yang sudah baligh dan berakal. Kalaupun si ayah menikahkan anak perempuannya, tindakan ayah tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari anaknya.

H. Kesimpulan
Dari uraian yang sudah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai penerapan wali dalam pernikahan di negara Jordania, Maroko, Saudi Arabia dan Malaysia.
1. Penerapan hukum wali dalam hukum keluarga sangat dipengaruhi oleh mazhab mayoritas yang dianut oleh masyarakat muslim di negara tersebut, kecuali di Maroko yang mayoritas mengikuti mazhab Maliki, tetapi berkenaan dengan wali mengikuti mazhab Hanafi seperti di Jordania. Sementara itu di Saudi Arabia mempergunakan mazhab Hanbali secara tradisional (tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan) sedangkan di Malaysia dan Indonesia, benar-benar mempergunakan mazhab Syafii dalam mengatur wali nikah.
2. Jordania dan Maroko merupakan negara yang berpenduduk muslim yang memberikan penghargaan lebih kepada status perempuan dengan memberikan hak kepada perempuan yang sudah dewasa untuk menikahkan dirinya dengan orang lain. Arab Saudi dengan latar belakang mazhab Hanbali, Malaysia dan Indonesia yang berlatar mazhab Syafii termasuk negara yang tidak memberikan hak kepada perempuan untuk menikahkan dirinya, karena wali nikah dipandang sebagai rukun dalam pernikahan.



[1] Hal ini didasarkan pada surat al Baqarah ayat 221 Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musyrik sebelum mereka beriman, ayat ini ditujukan kepada wali nikah. Demikian pula dalam surat al Baqarah ayat 232 Janganlah kamu menghalang-halangi mereka (para isteri) untuk menikah kembali dengan bekas suami mereka jika mereka saling meridoi dengan cara yang ma’ruf. Ma'qil bin Yasar menceritakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Katanya, "Saya menikahkan salah seorang saudara perempuanku dengan seorang pria, tetapi kemudian diceraikannya. Ketika iddahnya habis, ia datang lagi meminangnya."Maka saya jawab,“Dulu kamu saya jodohkan, saya nikahkan dan saya muliakan, tetapi kemudian kamu ceraikan. Dan kini kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah kamu tidak dapat kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya. Lelaki ini orangnya biasa saja, tetapi bekas istrinya itu ingin kembali kepadanya. Dalam hadits Abu Musa sesungguhnya Rasulullah telah bersabda Tidak syah nikah tanpa wali.
[2] Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa adillatuhu Juz VII, (Berut: Darul Fikr, 1985), hal 192
[3] Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa adillatuhu Juz VII, hal 193.
[4] Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkainan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Al Fikris, 2009, hal. 3 36 Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal 33
[5] Muhammad al Khud}ari bik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubro. 1969, hal 33
[6] Sebagai pemahaman dari ketentuan wali adhol bagi anak usia kurang dari 15 tahun dan usia 15-18 tahun.

Indonesia Wali Dalam Hukum keluarga


INDONESIA
Oleh SUGIRI PERMANA
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk mayoritas muslim dan merupakan penduduk muslim terbesar di antara negra-negara yang berpenduduk muslim. Dengan jumlah penduduk 228,582,000 jiwa, 86,1 % nya adalah muslim. Sebagian besar muslim di Indonesia merupakan golongan sunni dengan mayoritas menganut mazhab Syafii. Banyak teori yang mengemukakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia bermazhab Syafii.
Tahir Mahmood menyebutkan Malaysia sebagai pusat pengembangan dari mazhab Syafii,Dari sudut pandang sejarah, meskipun terjadi silang pendapat mengenai Islam masuk ke Indonesia baik menurut abad ke tujuh menurut versi sejarawan muslim atau abad ke empat belas menurut versi sejarah Barat, menurut Amir Syarifudin[1], ternyata yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafii.[2]
Setidaknya ada dua kondisi yang memberikan dukungan terhadap perkembangan mazhab Syafii di Indonesia di mana perkembangan Islam di Indonesia (bila memakai teori pertama) pada abad 12 -13 Masehi, menunjukkan bahwa masa tersebut adalah masa di mana perkembangan hukum Islam sedang mengalami stagnan dan mengarah pada pintu ijtihad yang tertutup. Kedua disinyalir bahwa para penyebar Islam waktu itu mereka yang bermazhab Syafii.[3]Demikian juga dengan para kyai sepertinya dengan “sengaja” lebih mengutamakan ajaran dan pendekatan tentang hukum-hukum Islam yang dikembangkan oleh Imam Syafii bila dibandingkan dengan kitab-kita lainnya.[4]

Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga di Indonesia
Hukum keluarga di Indonesia telah hadir sejak tahun 1882, yakni sejak Stb 152 Tahun 1882 di mana pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan peradilan agama sebagai lembaga peradilan yang menyelesaikan sengketa hukum keluarga berkenaan dengan nikah, talak, waris dan waqaf. Sedangkan dalam segi hukum materiil, baru muncul pada tahun 1971 yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975. Sebenarnya sebelum undang-undang perkawinan lahir, telah ada ketentuan mengenai pencatatan nikah dan sanksinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahuun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk. Akan tetapi ketentuan ini kurang efektif dan ternyata undang-undang perkawinan yang dianggap sebagai cikal bakal hukum keluarga di Indonesia. Selain undang-undang perkawinan, sumber hukum keluarga di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam. Meskipun landasannya KHI ini adalah Inpres Nomor 1 Tahun 1991, namun dalam pelaksanaannya sudah menjadi bagian dari living law bahkan kedudukannya sudah menjadi bagian penting dari berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
30 Rumadi, Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri Penerbitan Hasil Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI 2007), h. 67-68 31 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 149.
Ketentuan wali dalam hukum pernikahan di Indonesia dapat ditemukan pada Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 23. Wali merupakan rukun (hal yang mesti ada) dalam suatu perkawinan. Tidak adanya wali dalam perkawinan menyebabkan pernikahannya batal. Wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah ayah, kakek dari pihak ayah, kemudian laki-laki dari pihak saudara, dari pihak paman dan laki-laki dari pihak saudara kakek. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali apabila tidak ada wali bagi calon mempelai istri atau karena adlolnya (tidak mau menikahkan) wali yang ada.


[1] 28Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesa, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 27
[2] 29Pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia sejak abad XIII, menyatakan bahwa orang-orang Arab bermazhab Syafi‟i bermigrasi dan menetap di daerah India, kemudian mereka membawa Islam ke Nusantara. Menurut Arnold yang menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari Coromandel dan Malabar menjelaskan bahwa ada kesamaan madzhab fiqh di antara kedua wilayah (Coromandel dan Malabar dengan Nusantara) yaitu mayoritas penduduknya bermazhab Syafi‟i,lihat Mumuh Muhsin Z, Teori Masuknya Islam ke Nusantara Sebuah Diskusi Ulang, (Bandung:2007), h. 5
[3] Rumadi, Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri Penerbitan Hasil Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI 2007), h. 67-68
[4] Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 149.

Malaysia Wali Dalam Hukum Keluarga


MALAYSIA
Oleh SUGIRI PERMANA
Kekuasaan Malaysia terletak pada Yang di-Pertuan Agong[1]. Sedangkan pelaksanaan eksekutif dilakukan oleh Perdana Menteri. Kekuasaan negara terletak pada kerajaan pusat yang beribu kota di Kuala Lumppur dengan terdiri dari 13 kerajaan negeri federasi yaitu Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negerisembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, Serawak, Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persektuandiantaranya Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya.[2] Malaysia berpenduduk sekitar 27.300.000 jiwa dengan penduduk muslim 60,4 % dari total penduduknya. Muslim Malaysia mayoritas bermazhab Syafii.[3]

Pemerintah Negeri Melayu. Malaysia telah melakukan pemilihan raja sejak merdeka dari Inggris pada 1957.[4] Dalam tatanan unik, raja dipilih oleh dan digilir di antara para raja dari sembilan negara bagian Malaysia yang masih dipimpin raja. Empat negara bagian lain tak dipimpin oleh raja. Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem Pergiliran kekuasaan.

Negara Malaysia pernah berada di bawah kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris sejak akhir abad ke-18. Traktat Inggris-Belanda yang ditandatangani pada tahun 1824 di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini adalah penerus wilayah-wilayah yang pada masa penjajahan disebut Straits Settlement ( Penang, Singapura dan Malaka), Federated Malay States ( Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan Unfederated Malay States (Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor). Sabah dan Serawak yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung dengan Malaysia. Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957.

Hukum Keluarga Malaysia
Sejak tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk diberlakukan di Negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore). Sebelum masuknya Inggris hukum yang berlaku adalah hokum Islam yang masih bercampur dengan hukum adat, menurut Abdul Munir Yaacob mengatakan bahwa undang-undang yang berlaku dinegara-negara bagian sebelum campur tangan inggris adalah adat pepatuh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negarasembilan dan beberapa kawasan di Malaka, dan adapt Temenggung dibagian semenanjung. Sedangkan orang Melayu di Serawak mengikuti Undang-undang Mahkamah Melayu Serawak.
Undang-undang tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam maslah perkawinan, perceraian dan jual beli. Sementara untuk Negara-negara Melayu bersekutu ( perak, Selangor, Negeri sembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885 dan untuk Negara-negara Melayu tidak bersekutu atau Negara-negara bernaung (kelantan, terengganu, perils, Kedah dan Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907. Menurut Khoiruddin Nasution bahwa setelah terjadinya pembaharuan UU Keluaraga Malaysia maka apabila dikelompokan maka Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di Malaysia akan lahir dua kelompok besar:
1. UU yang mengikuti akta persekutuan yakni Selangor, Negeri Sembilan, pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Serawak dan Sabah
2. Kelantan, Johor, Malaka, dan Kedah meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada perbedaan yang cukup menyolok, yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan sebanyak 49 kali.

Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Malaysia
Pada kurun waktu 1983-1985 terdapat beberapa peraturan hukum keluarga di Malaysia. Tahun 1983, dikeluarkan hukum keluarga Islam di Klantan, Negri Sembilan dan Malaka. Tahun 1984 di Kedah, Selangor dan wilayah Persekutuan serta tahun 1985 di Penang. Hukum Keluarga Islam Malaysia tahun 1984 (yang berlaku di wilayah federal) telah menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu Selangor Enactment tahun 1952 yang terdiri dari 135 Pasal. Undang-Undang ini isinya hampir sama dengan undang-undang yang berlaku di wilayah lainnya yang ditetapkan antara tahun 1983-1985. [5]
Latar belakang mazhab yang dianut di sebagian besar masyarakat muslim Malaysia yaitu mazhab Syafii [6]sangat berpengaruh pada hukum keluarganya27. Perempuan tidak mempunyai hak sama sekali untuk menikahkan dirinya dengan orang lain, karena hak wali berada pada ayahnya (dan seterusnya) bukan pada dirinya sendiri. Hukum keluarga di Malaysia mengenal adanya wali mujbir yaitu ayah dan kakek serta wali raja yang dalam fiqh di kenal wali hakim. Kedudukan wali dalam hukum keluarga Malaysia sangat penting, hal ini dituangkan pada Pasal 7 yang menerangkan bahwa untuk sebuah pernikahan dapat dilakukan oleh seorang wali di depan petugas, oleh wakil wali atau oleh petugas pencatat nikah yang bertindak atas nama wali. Apabila wali nasab tidak ada, wali raja bertindak untuk menjadi wali pernikahan.


[1] Yang Dipertuan Agong adalah gelar raja tertinggi Malaysia, Jabatan ini digilirkan setiap lima tahun antara sembilan Pemerintah Negeri Melayu. Malaysia telah melakukan pemilihan raja sejak merdeka dari Inggris pada 1957. Dalam tatanan unik, raja dipilih oleh dan digilir di antara para raja dari sembilan negara bagian Malaysia yang masih dipimpin raja. Empat negara bagian lain tak dipimpin oleh raja. Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem Pergiliran kekuasaan. Lihat Yang di-Pertuan Agong, http://id.wikipedia.org/wiki/Yang_di-Pertuan_Agong
[2] Sistem Pemerintahan di Malaysia, http://oneforallblog.blogspot.com/2008/12/sistem-pemerintahan-di-malaysia.html
[3]4http://wikimediafoundation.org/wiki/Special:LandingCheck?landing_page=WMFJA1&language=en&country=ID&utm_source=20101202_JA006A_EN&utm_medium=sitenotice&utm_campaign=20101202JA008
[4]5Hukum Keluarga Islam Di Malaysia,http://fathudin.blogspot.com /2010/02/ hukum-keluarga- islam- di-malaysia.html
[5] Tahir Mahmood, 1987, hal. 221
[6] Malaysia, Brunei, Singapore termasuk Indonesia merupakan negara di bagian Asean yang sebagian besar menganut mazhab Syafi‟i, Tahir Mahmood, 1972, hal. 199, dalam edisi 1987, Tahir Mahmood menyebutkan Malaysia sebagai pusat pengembangan dari mazhab Syafi‟i, Tahir Mahmood, 1987, hal. 219.

Maroko Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga


MAROKO
Oleh SUGIRI PERMANA
Saat ini penduduk Maroko berjumlah 33.723.418 jiwa, 99 % adalah muslim penganut sunni Maliki.[1] Maroko adalah negara yang berbentuk kerajaan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-mamlakah al-maghribiah (kerajaan yang di Barat), terkadang juga disebut dengan al maghrib al aqsha (kerajaan yang terjauh di Barat). Dalam Bahasa Inggris disebut dengan Marocco, yang berasal dari bahasa Spanyol Maruecos, bahasa latinnya Morroch, di masa pra modern Arab dikenal dengan Marrakesh. Maroko mencapai kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1956 dengan sistem kerajaan konstitusional yang berada di Barat Laut Afrika[2].

Sejak awal abad 20, Maroko berada di bawah kekuasaan “perlindungan” Prancis. Pada bulan Agustus 1953, Ahmed Belbachir Haskouri, salah seorang tangan kanan Sultan Muhammad V memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah. Pada Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang dibentuk oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung pertahanan dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di atas, bersama peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di kalangan orang Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa revolusi yang digerakkan oleh Raja dan Rakyat atau Taourat al-Malik wa Shaab dan dirayakan setiap tanggal 20 Agustus.[3]

Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga Maroko
Bentuk peraturan hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah lama mendominasinya yaitu Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut adalah adanya kodifikasi hukum keluarga yang dikenal dengan code of Personal Status atau mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah yang terjadi pada tahun 1957-1958. Terakhir hukum keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2004 yang disebut mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah al jadidah fil al maghrib. Undang-Undang ini berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1957.
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi : kebolehannya seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya). Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya.
Apabila dibandingkan dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab Hanafi dalam masalah wali, tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan pemahaman terhadap kewenangan perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap bahwa perwalian bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu sendiri.


[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries
[2] http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco
[3] Sejarah singkat Maroko, http://www.sahabatmaroko.com/ index.php?option= com_ content&view= article&id=112&Itemid=55

Saudi Arabia, Wali Dalam Hukum Keluarga


SAUDI ARABIA
Oleh SUGIRI PERMANA

Saudi Arabia terletak di bagian Barat Daya benua Asia, dan menempati bagian terbesar dari semenanjung Jazirah Arab (2.000.000 km2). Letak yang istimewa ini menjadikannya memiliki hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan kuno yang telah terbentuk di Timur Tengah. Berbatasan di sebelah utara dan timur laut dengan Yordania, Kuwait dan Irak. Di sebelah selatan berbatasan dengan Republik Yaman. Di sebelah Timur Teluk Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kesultanan Oman. Di sebelah barat laut Merah.[1]
Sistem pemerintahan di Saudi Arabia adalah Kerajaan (Monarki). Kabinet bersama Raja merupakan kekuasaan eksekutif dan regulatif dalam Negara. Perdana Menteri adalah Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud, dan Putra Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur Jenderal. Sistem Judikatif bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. [2]

Akar sejarah Kerajaan
Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di "Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M. Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, kembali kota Riyadh yang merupakan ibu kota bersejarah kerajaan ini. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam. Di atas prinsip inilah, para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd. [3]
Sejarah panjang kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran seseorang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang bermazhab Hanbali dan berusaha keras memurnikan ajaran ketauhidan. Ia berasal dari dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dariyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Pada sekitar tahun 1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dariyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin „Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Muhammad bin „Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin „Abdul Wahab. [4]
Tahir Mahmood mengkatagorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki.[5] Namun sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak adanya peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka untuk melacak hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad bin Hanbal. Wali dalam mazhab Hanbali hukumnya wajiib, bahkan pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali.[6]
Seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan tidak dapat menikahkan untuk perempuan yang lainnya baik atas izin walinya ataupun tidak. Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam hal hukuman, mengingat pernikahan tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga tidak ada hukuman bagi pelaku pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek kemudian saudara. Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih dekat masih ada, menyebabkan pernikahannya batal.[7]


[1] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82597, acessed 13 Desember 2010 13 http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82600
[2] http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
[3]http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82617
 Dari Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/ data.asp?lang=12&id=198218 16 lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. 17 Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, Umdatu al fiqh fi mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah, 2003), hal. 90
[4] Dari Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi, http://www.abna.ir/ data.asp?lang=12&id=198218
[5] lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah.
[6] Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, Umdatu al fiqh fi mazhab al Hanbali, (Berut: Maktabah „Isriyah, 2003), hal. 90
[7] Ibn Qudamah, Al Kafi fiqh Ahmad ibn Hanbal, kitab nikah, hal 1.