Jumat, 09 Maret 2012

PERKEMBANGAN TERAKHIR HUKUM ISLAM DI INDONESIA


Perkembangan Terakhir Hukum Islam Di Indonesia
By. Dr. H. A. Sukris Sarmadi, MH

Berkait erat tentang pembicaraan terhadap hukum Islam dalam pengertian sebagai paradigma yang terlahir dari seluruh rangkaian pemahamarn terhadap wahyu dan sunnah yang dilakukan oleh para Ulama. Dalam formulasi sejarahnya yang panjang, hukum Islam; dalam perkem­bangan terakhir di Indonesia telah memasuki tahap baru, Berlakunya UU No. 7 Tahun.1989 hingga UU N0. 3 tahun 2006 serta UU No.50 Tahun 2009 tentang peradilan Agama sangatlah cukup signifikan bagi umat Islam Indonesia. Dengan peraturan tersebut dapat dijadikan  sarana penye­lesaian perkara dalam hukum Islam bagi umat Islam Indonesia. Terlebih telah dimaterikan pula hukum Islam materil (lahirnya Inpres No,1 tahun 1991 atau Kompilasi Hukum Islam). Di samping sebagai pedoman bagi para hakim agama di lingkungan peradilan Agama, ia merupakan hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh para pencari keadilan di pengadilan, agama.
Di Dunia Islam pada umumnya, seperti di Mesir, Libanon, Yordania, Iraq, Pakistan,[1] hukum Islam telah diformulasi­kan dalam berbagai ordonansi-peraturan-peraturan hukum yang secara yuridis berlaku bagi umat Islam. Hal ini juga terjadi di Indonesia seperti berlakunya Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil Is­lam. Sejauh ini, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal ada­lah hukum perdata dalam batasan tertentu, yakni hukum perkawinan, kewarisan (termasuk wasiat dan hibah) dan, perwakafan. kemudian yang terakhir adalah Ekonomi Syariah. (UU N0. 3 tahun 2006 PA). Hanya masalah­ masalah tersebut yang dapat diperkarakan dalam Pengadilan Agama.
Dalam pasal 49 UU N0. 3 tahun 2006 bagian penjelasannya menerangkan bahwa Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Terhadap Pasal 49 tersebut diberikan keterangan lanjut dalam penjelasan pasal 49 UU N0. 3 tahun 2006, sbb :
Penjelasan pasal 49 : Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orangyang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a : Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1.      Izin beristeri lebih dari seorang;
2.      Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.      Dispensasi kawin;
4.      pencegahan perkawinan;
5.      Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6.      Pembatalan perkawinan;
7.      Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan isteri;
8.      Perceraian karena talak;
9.      Gugatan perceraian;
10.  Penyelesaian harta bersama;
11.  Penguasaan anak-anak;
12.  Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya;
13.  Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14.  Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15.  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.  Pencabutankekuasaan wali;
17.  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18.  Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19.  Pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.  Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21.  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut,
serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah Perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e
Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Huruf f
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah,meliputi:
a.       bank syari’ah;
b.      asuransi syari’ah;
c.       reasuransi syari’ah;
d.      reksadana syari’ah;
e.       obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
f.       sekuritas syari’ah;
g.      pembiayaan syari’ah;
h.      pegadaian syari’ah;
i.        dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
j.        bisnis syari’ah; dan
k.      lembaga keuangan mikro syari’ah.
Menyangkut hukum perdata Islam lainnya seperti hukum dagang atau jual beli (al Ba`i), Pajak (kharaj ), hukum perkebunan (musaqqah, muzara`ah, mukhabarah), hukum Agraria ( Tamliku al ard wa Ihyau al Mawat ), hukum perikatan umumnya, kesemuanya tidak berlaku secara yuridis formal di Indonesia, hanya sebagian di jadikan pedoman dalam prak­tek pergaulan sehari-hari antar sesama muslim, dan jika terjadi perselisihan di antara mereka, tempat pengaduan adalah pengadilan umum dengan mengunakan jalur hukum positif.
Hukum Perkawinan, kewarisan (termasuk hibah, wasiat, sadaqoh), perwakafan dan ekonomi syariah atau apa saja dalam hukum Islam, ia tetap dianggap sebagai bagian dari aturan yang mengandung unsur ibadah. Pengamalan secara benar tentang­nya sangat diperhatikan dan mengandung keharusan keagamaan(taklif).
Adalah wajar, ketika sebelum munculnya UU No.7 thn.1989 (disempurnakan dengan UU No. 3 tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009) tentang Pe­radilan Agama, setiap keputusan lembaga Penadilan Agama harus selalu diku­kuhkan-ditetapkan secara yuridis oleh pengadilan umum. Dengan kata lain, segala keputusan pengadilan agama hanya berlaku jika didukung oleh adanya keputusan pengadilan umum (fiat executie atau executoire verklaring) yang bagi umat Islam kenyataan ini sangat merugikan. Di samping tidak adanya kepastian hukum juga terkesan adanya intervensi pihak luar terhadap keputusan tentang amal keagamaan umat Islam.
Sejak lahirnya UU No. 7 tahun 1989 kemudian disempurnakan dengan berbagai perubahannya dengan UU No. 3 tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009, Kompetensi Peradilan Agama sangat luas dan bersifat obsolut dalam bidang keagamaan. Dan yang paling menarik dari UU PA yang beru tersebut adalah diberikannya hak kepada Pengadilan Agama untuk memutus sengketa hak milik terkait dengan pasal 49 (baik pada UU No.7 tahun 1989 maupun UU No.3 tahun 2006) selama subyek hukumnya adalah umat Islam.
Dulu sebelum UU PA yang baru dibentuk (No.3 tahun 2006), pada UU N0. 7 tahun 1989, kompetensi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa hak milik yang berkait dengan pasal 49 tidak dimungkinkan untuk diperiksa. Dalam pasal 50 UU No.7 tahun 1989 berbunyi, sbb :
Pasal 50 : bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 maka khusus yang menjadi objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan da­lam lingkungan. Peradilan Umum.
Penjelasan pasal 50 di atas adalah yang dimaksud menyatakan bahwa penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses Peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menja­di sengketa.
Memperhatikan; kenyataan tersebut, ketika proses peradilan ber­jalan seperti masalah kewarisan atau wasiat yang diperkarakan di Pengadilan Agama harus terhenti; ketika ada sengketa di antara ahli waris atau pihak lain yang menyatakan bahwa harta waris yang akan di bagi tidak seluruhnya harta pewaris. Maka sengketa dimaksud dalam pasal 50 ha­ruslah lebih dahulu diselesaikan di lingkungan Peradilan Umum, setidaknya harus diajukan pula ke Pengadilan Negeri setempat untuk memutus sengketa tanahnya sedangkan Pengadilan Agama memutus sengketa warisnya.
Namun, sejak berlakunya UU No. 3 tahun 2006, semua sengketa waris, perwakafan, hibah, harta bersama perkawinan maupun yang terkait dengan ekonomi syariah, Pengadilan agama dapat memutusnya secara keseluruhan. Masalah ini disebut dalam pasal 50 dan penjelasannya, sbb :
Ketentuan Pasal 50 (dari UU No.7 thn. 1989) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Penjelasan pasal 50 UU N0.3 tahun 2006 berbunyi :
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) :
Ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orangyang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama. Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
            Perubahan ini merupakan perubahan yang sangat fundamental dan benar-benar merespons kesulitan Pengadilan Agama selama ini. Dengan memberlakukan sengketa antara subyek hukumnya adalah Islam berarti keseluran masalah-masalah dalam hukum Perdata Islam pada pasal 49 UU PA yang baru dapat diputus di lingkungan Peradilan Agama.
Pemberlakuan seperti ini segi positipnya sangatlah memudahkan umat Islam, sbb :
1.      Mengurangi biaya berpekara karena bolak balik antar Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.
2.      Suatu perkara dapat sekaligus diperiksa dan diadili sesuai dengan norma hukum Islam itu sendiri.
3.      Adanya kepastian hukum berdasar hukum Islam yang sesuai dengan keyakinan umat Islam sebagai bagian dari menjalankan ibadah Islamiyah.
4.      Berlakunya prinsip beracara sederhana, cepat dan ringan.
Meskipun demikian, UU PA N0. 3 tahun 2006 tidak menyebut menyangkut pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989 tentang adanya kemungkinan sengketa dari pihak ketiga, sbb :
``(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.``
Pihak ketiga berarti siapa saja yang merasa dirugikan. Misalnya, menurut pihak ketiga bahwa tanah yang menjadi sengketa harta bersama antara pasangan suami/istri yang bercerai adalah miliknya. Menurut pasal tersebut, pengadilan Agama menunda pembagian harta bersama tersebut sampai ada putusan. Pertanyaan akan timbul, Apakah pasal tersebut masih berlaku setelah ada UU PA yang baru ? berdasar penafsiran subyektif, pasal 50 ayat (2) UU N0. 3 tahun 2006 secara otomatis telah memberikan celah bahwa semua sengketa dalam pasa 49 UU N0. 3 tahun 2006 diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Sementara masalah harta bersama termasuk dalam pasal 49 tersebut. Maka Majelis Hakim Pengadilan Agama dapat memutus sengketa itu. Sedangkan pihak ketiga, jika benar-benar merasa dirugikan, ia dapat melakukan perlawan putusan tersebut (derdenverzet) ke Pengadilan Agama mana perkara itu diputuskan.[2] Terkadang diketahuinya pada masa persidangan berlangsung. Maka ia dapat ikut campur dalam persidangan tersebut sebagai pihak ketiga (tussenkomst). Dalam hal itu pula, bisa saja terjadi di mana salah satu pihak suami atau istri ingin melibatkan orang lain untuk ikut dalam perkara tersebut (vrijwaring).
Dengan demikian, tidak diperlukan adanya penundaan persidangan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama ketika mereka menangani perkara sengketa harta bersama saat mana ada pihak ketiga melakukan suatu perlawanan (derdenverzet).
Cara penafsiran subyektif tersebut dapat diformulasikan terhadap masalah lainnya seperti sengketa perwakafan, perhibahan, perwasiatan maupun kewarisan yang berkait dengan sengketa hak milik seseorang pada pihak ketiga. Jika dulu sebelum UU PA yang baru ini berlaku, Pengadilan Agama harus menunda dulu persidangan untuk menunggu adanya putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Padahal perkara itu tersebut memungkinkan waktu yang sangat panjang ketika terjadi upaya hukum banding hingga kasasi. Sekarang dengan UU PA baru ini semua itu tidak lagi terjadi. Terkecuali pihak ketiga adalah Non Muslim. Sebab pasal 50 ayat (2) mesyaratkan subyek hukumnya adalah antar umat Islam.
Bagian terakhir dari Perkembangan hukum Islam di Indonesia sesungguhnya juga dapat dilihat dari pasal 49 UU No. 3 tahun 2006, yaitu memberlakukan penyelesaian sengketa menyangkut Ekonomi Syariah. Hal tersebut berkait dengan masalah bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, bisnis syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah. Hanya yang menjadi persoalan adalah rujukan para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan masalah ekonomi syariah. Berbeda dengan masalah Hukum Perkawinan, Kewarisan, wasiat, hibah dan perwafan, hukum materil yang menjadi rujukan para hakim adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sementara menyangkut ekonomi syariah belum ada hukum materil khusus yang tertuang dalam satu kodifikasi seperti KHI. Itu berarti para hakim akan lebih banyak mengambil banyak rujukan dengan mengambil pendapat para ulama hingga memungkinkan berijtihad.
Perlu dipikirkan untuk membuat hukum materil yang baku setidaknya seperti Kompilasi Hukum Islam tentang Ekonomi Syariah. Ini akan lebiho baik demi menjamin terjadinya kepastian hukum (rule of law) dan tanggung jawab hukum (law responsibility). Akan sangat disia-siakan amanat UU No. 3 tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009 bila umat Islam tidak meneruskannya kepada yang lebih sempurna. Kesemua ini paling tidak telah mewakili berlakunya hukum perdata Islam tertentu secara sempurna. Dikatakan tertentu karena pada dasarnya hukum perdata Islam itu sangatlah luas atas segala hal terkecuali lapangan hukum ibadah, jinayah (pidana) dan siasyah (politik). Apa yang disebut dengan Muamalat sebagai lawan dari Ubudiyah dapat diterjemahkan sebagai hukum perdata Islam.
Sementara hukum-hukum perdata Islam lainnya yang sebagian besar dipraktikkan dalam pengamalan se­hari-hari secara tidak langsung di awasi oleh Majelis Ulama Indone­sia (MUI) yang tersebar di seluruh Indonesia dengan sentral produk hukumnya berupa fatwas-fatwa MUI. Dalam bidang hukum perdata Islam sendiri sebenarnya sangat luwes, ini terbukti banyaknya sistem tran­saksi modern dapat diterima oleh norma-norrna hukum Islam. Walaupun sebagian orang terkadang melihat bahwa produk hukum berupa fatwa ten­tang halalnya suatu perbuatan dalam bidang perdata seperti masalah perbankan, saham, obligasi, masalah periklanan, beragam bentuk ja­sa dan segala transaksi lainnya dalam bidang perdagangan dan perindus­trian, produk halal dan haram, dan yang berisfat lebih individual seperti masa­lah KB, Tubektomi, vesektomi dalam bidang kesehatan dianggap hanya sebagai justifikasi dan membela kepentingan Pemerintah. Sebenarnya anggapan tersebut banyak keliru karena setiap fatwa hukum sendiri selalu bersandar kepada da­lil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, tidak kalah pentingnya, hukum Islam sesungguhnya juga telah mempengaruhi dan mrewarnai pemben­tukan hukum Nasional. Dewasa ini semaraknya umat Islam untuk berupaya mengamalkan bidang hukum amaliyah sehari-hari cukup signifikan. Orientasi pembicaraan bukan hanya pada masalah-masalah keperdataan tetapi juga mengaitkannya dengan masalah jinayah (hukum pidana) maupun siasyah (politik).


[1] Di Mesir berlaku UU No.25 thn.1920 dan thn,1929 mengenai hukum keluarga, UU No.77 thn.1943 dan No.71 tahun 19 thn..1946 mengenai hukum kewarisan dan UU No 48 thn 1946 dan N0.180 thn,1952 mengenai hukum perwakafan, Di Libanon berlaku UU mengenai hukum perwakafan thn.1947, Yordania memberlakukan UU thn.1951 dan 1953 mengenai hukum Keluar ga dan di Iraq pada thn.1947 mengeluarkan hukum keluarga dan melengkapinya dengan UU baru hukum keluarga thn,1959. Di Syiria di berlakukan UU menyangkut masalah hukum keluarga thn.1953 dan perwakafan thn. 1949 dan di Pakistan memberlakukan UU thn.1956 dan thn, 1961 mengenai hukum keluarga,

[2] Pada asasnya suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak yang berpekara dan tidak mengikat pihak ketiga (ps. 1917 BW), akan tetapi apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut (ps. 378 RV). Perlawanan itu diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa (sd. 379 Rv) apabila perlawanannya itu dikabulkan maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga (ps. 382 Rv).Lih. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, Cet. I, 2002 h. 237-238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar