MAROKO
Oleh SUGIRI PERMANA
Oleh SUGIRI PERMANA
Saat ini penduduk Maroko berjumlah
33.723.418 jiwa, 99 % adalah muslim penganut sunni Maliki.[1] Maroko adalah negara
yang berbentuk kerajaan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-mamlakah al-maghribiah
(kerajaan yang di Barat), terkadang juga disebut dengan al maghrib al
aqsha (kerajaan yang terjauh di Barat). Dalam Bahasa Inggris disebut dengan Marocco, yang berasal dari
bahasa Spanyol Maruecos, bahasa latinnya Morroch, di masa pra
modern Arab dikenal dengan Marrakesh. Maroko mencapai kemerdekaannya
dari Prancis pada tahun 1956 dengan sistem kerajaan konstitusional yang berada
di Barat Laut Afrika[2].
Sejak
awal abad 20, Maroko berada di bawah kekuasaan “perlindungan” Prancis. Pada
bulan Agustus 1953, Ahmed Belbachir Haskouri, salah seorang tangan kanan Sultan
Muhammad V memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah.
Pada Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang
dibentuk oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung
pertahanan dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di
atas, bersama peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di
kalangan orang Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa
revolusi yang digerakkan oleh Raja dan Rakyat atau Taourat al-Malik wa Shaab
dan dirayakan setiap tanggal 20 Agustus.[3]
Kedudukan
Wali dalam Hukum Keluarga Maroko
Bentuk peraturan hukum keluarga di Maroko
dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah lama mendominasinya yaitu
Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut adalah adanya kodifikasi hukum
keluarga yang dikenal dengan code of Personal Status atau mudawwanah al
ahwal al shakhsiyyah yang terjadi pada tahun 1957-1958. Terakhir hukum
keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2004 yang disebut mudawwanah
al ahwal al shakhsiyyah al jadidah fil al maghrib. Undang-Undang ini
berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang
ditetapkan pada tahun 1957.
Wali nikah dalam hukum
keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam
perkawinan harus terpenuhi : kebolehannya seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya
wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan
untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan
adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18,
seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi
walinya.
Penjelasan kedudukan
wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan
menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan
yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia
menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan
wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai
perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus
ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya).
Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali
adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya.
Apabila dibandingkan
dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab Hanafi dalam masalah wali,
tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan pemahaman terhadap kewenangan
perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap bahwa perwalian bukanlah hak dari
orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar