Minggu, 11 Maret 2012

Hukum Keluarga di Dunia islam Modern (Sistem Peradilan Islam, Turki dan Indonesia)

Hukum Keluarga di Dunia islam Modern (Sistem Peradilan Islam, Turki dan Indonesia)
HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM MODERN
(Telaah Perbandingan atas Sistem Peradilan Islam
Turki, Mesir dan Indonesia)
Oleh Muhammad Julijanto, S. Ag., M. Ag.

A. Pendahuluan
Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi “hukum-hukum” agamanya, mulai dari yang paling “ekstrim kiri” sampai yang “ekstrim kanan” . Ekstrim kiri yang dimaksud adalah negara-negara muslim yang sangat kental dengan faham sosialismenya dalam menerapkan hukum Islam dalam ranah kehidupan negara. Sedangkan ekstrim kanan merupakan kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang dengan visi dan misi menerapkan syariat Islam sebagai paradigma hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sistem sosial yang dibangun berlandaskan kepada hukum Islam.

Upaya untuk melaksanakan hukum Islam di berbagai kawasan yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum keluarga. Meskipun dalam bidang-bidang lain seperti hukum muamalah atau tata perekonomian yang berdasakan syari’ah juga sedang diperjuangkan, hukum pidana Islam (jinayah) serta politik hukum Islam (siyasah syar’iyah). Hukum ekonomi Islam mengembangkan sistem ekonomi yang berdasar syari’ah; sistem bagi hasil. Hukum pidana Islam (jinayah) merupakan hukum publik yang berdasarkan syari’ah Islam.

Politik hukum Islam merupakan strategi dalam memperjuangkan hukum Islam dan pelaksanaannya melalui sistem hukum dan sistem peradilan di kawasan tertentu. Di beberapa kawasan yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum keluarga. Sebab hukum keluarga dirasakan sebagai garda terdepan dalam pembinaan masyarakat muslim yang diawali dari pembentukan keluarga sakinah. Pembinaan masyarakat muslim yang paling awal berasal dari keluarga, dengan asumsi bahwa keluarga yang sejahtera dan berhasil membina seluruh anggotanya akan memberikan kontibusi kepada kemajuan di tengah masyarakat serta dalam komunitas yang lebih besar.

Untuk melaksanakan hukum keluarga atau perundang-undangan hukum perseorangan (personal status), maka keberadaan suatu sistem peradilan merupakan dua sisi dari mata uang, keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari legislasi Islam melalui perundang-undangan dan pendirian pengadilan.

Di beberapa kawasan untuk menyebutkan sistem peradilan Islam yang melaksanakan hukum keluarga dengan beraneka nama; di Indonesia dengan nama Peradilan Agama, Mahkamah Syari’ah, Kerapatan Qadhi, Peradilan Ugama, Raad Agama, Family Court, Peradilan Surambi, Pristeraad, Majelis Syara’ dan lain-lain.

Tulisan ini akan menjawab pertanyaan sekitar sistem peradilan yang melaksanakan hukum keluarga Islam di beberapa negara. Metode yang digunakan ialah dengan mengkaji naskah undang-undang mengenai hukum keluarga yang kini berlaku di negeri-negeri muslim (khususnya Turki, Mesir dan Indonesia) itu, khususnya mengenai berbagai pasal yang berhubungan dengan sistem peradilan hukum keluarga. Dan mencoba membandingkan antar beberapa negara. Mengapa dimana ada komunitas muslim, maka pelaksanaan hukum keluarga menjadi sebuah kebutuhan bagi keberadaan masyarakat tersebut? Bagaimana hukum keluarga dilaksanakan secara kelembagaan oleh negara sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang pemerintahan dan kehakiman.
Pertanyaan di atas dibahas dengan cara mendeskripsikan sistem peradilan hukum keluarga di negara-negara muslim modern. Untuk menjawab permasalahan di atas disusun sistematika pembahasan sebagai berikut: Pendahuluan akan dikemukakan masalah konstitusi negara Turki, Mesir dan Indonesia, hal ini dimaksudkan melihat gambaran secara global tentang negara tersebut. Kemudian akan dikemukakan masalah sketsa politik di ketiga negara tersebut, hal ini dimaksudkan sebagai bahan analisis tentang pengaruh politik terhadap hukum keluarga di ketiga negara tersebut. Selanjutnya dikemukakan tentang hukum keluarga di ketiga negara serta sistem peradilan hukum keluarganya. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan analisis apakah hukum keluarga itu sesuai dengan madzhab fikih, terutama mazhab yang dominan di ketiga negara tersebut. Studi ini akan ditutup dengan kesimpulan.

B. Sejarah Peradilan
Hukum Islam mempunyai akar-akarnya dari dalam masyarakat Arab pra-Islam. Masyarakat ini berikut hukum-hukumnya menunjukkan ciri-cirinya yang profan dan magis. Hukum ini berciri magis mengingatkan kaidah-kaidah untuk penyidikan dan pembuktian yang dikuasai oleh prosedur-prosedur sakral, seperti ramalan, sumpah dan kutuk. Sedangkan ciri profan mengingat bahwa hukum pidana pun dipersempit menjadi masalah ganti rugi dan pembayaran. Tidak ada bukti-bukti bahwa hukum agama telah berlaku di dalam kegiatan bangsa Arab penyembah berhala. Oleh karena itu hal ini menjadi lapangan pembaharuan bagi Islam.

Di dalam masyarakat Arab pra Islam tidak ada kekuasaan politik yang terorganisir, juga tidak ada sistem peradilan yang terorganisasi . Namun demikian jika sengketa timbul mengenai hak milik, hak waris dan pelanggaran hukum lain selain pembunuhan, sengketa demikian umumnya tidak diputus oleh upaya sendiri, melainkan oleh pertolongan seorang wasit, dalam perundingan antara pihak-pihak yang bersengeta sendiri tak berhasil. Keputusan wasit bukanlah merupakan keputusan yang bisa dipaksakan berlakunya, tetapi merupakan pernyataan tentang apa kata hukum adat, atau bagaimana seharusnya. Fungsi wasit menjadi menyatu dengan fungsi pembentuk undang-undang, pengurai yang berwenang terhadap kebiasaan hukum yang normatif atau sunnah.

Fungsi wasit yang demikian dalam masyarakat pra Islam dialihkan ke dalam konteks Islam. Konsep sunnah menjadi sangat penting dalam pembentukan hukum Islam. Dan ulama menjadi pengurai hukum yang berwenang bukan seksedar pada dataran teoritis melalinkan praktis menjadi pembentuk undang-undang dalam Islam.
Muhammad SAW memulai kegiatan umumnya di Mekah sebagai seorang pembaharu agama. Beliau menjadi penguasa serta pembuat undang-undang bagi masyarakat baru yang berdasarkan keagamaan, dimana sistem kemasyarakatan yang dibangun sebagai pengganti masyarakat kesukuan Arab. Pada periode Madinah Muhammad SAW memprotes terhadap pandangan kaum penyembah berhala yang sekedar melihat sebagai seorang juru nujum belaka. Sehingga timbullah pada awal periode Madinah penolakan terhadap praktek perwasitan yang berlaku di kalangan bangsa Arab penyembah berhala. Tetapi ketika Muhammad dimohon untuk memutus sengketa di kalangan umatnya sendiri ia meneruskan peranan sebagai seorang wasit.

Peradilan Islam pada awal perkembangannya berdasarkan teori keberadaan peradilan sebagai berikut: Pertama, Peradilan Agama tumbuh dan berkembang seirama dengan tumbuh serta perkembangan masyarakat Islam. Kedua, Tahap perkembangan Peradilan Agama ialah tahkim, peradilan masjid (kuasi peradilan) dan peradilan yang sebenarnya. Ketiga, Pertumbuhan eksistensi serta kewenangan Peradilan Agama dipengaruhi oleh politik hukum negara. Keempat, Peradilan Agama tidak pernah sirna dari masyarakat Islam, kalau tekanan politik hukum negara sangat kuat, maka Peradilan Agama merupakan wujud terendahnya .

Setiap negara, bagimana bentuknya selalu memerlukan hukum yang berlaku di negera masing-masing, dan setiap hukum memerlukan peradilan untuk menegakkannya. Islam adalah aqidah dan syari’ah, keyakinan dan hukum. Karena itu pulalah masyarakat Islam memerlukan peradilan yang akan menegakkan hukum .

C. Perbandingan Sistem Hukum keluarga dan Sistem Peradilan
Perkembangan hukum Islam di negara modern terutama yang berhubungan dengan ahwal al Syahsiyah (nikah, cerai, rujuk, warisan, wakaf, hibah dan shadaqah) dapat disebutkan sebagai format baru yang mengakomodasikan gagasan-gagasan pembaharuan pemikiran Hukum Islam yang relatif fenomenal.
Yordania, misalnya merumuskan Jordanian Law of Family Right tahun 1951, Syiria dengan Syirian Law of Personal Status tahun 1953, Maroko mengundangkan Family Law of Marocco tahun 1957, Pakistan dengan Family Law of Pakistan pada tahun 1955, Irak mengundangkan Law of Personal Status for Iraq tahun 1955, Tunisia dengan Code of Personal Status tahun 1957 dan Sudan dengan Sudan Family Law tahun 1960 .

Beberapa hal yang baru pada waktu itu dalam Hukum perkawinan, meliputi pencatatan perkawinan, pembatasan usia perkawinan, persetujuan kedua calon mempelai, izin poligami, perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, dan tindakan hukum yang merupakan upaya untuk mewujudkan perkawinan dengan segala akibatnya.

Hal baru dalam hukum keluarga tersebut bisa dapat dilihat dari keberanjakannya dari hukum fikih menuju hukum positif yang berupa perundang-undangan di negara muslim tersebut.

D. Kompetensi peradilan
Bagian ini membahas tentang yurisdiksi peradilan hukum keluarga di tiga negara. Indonesia yurisdiksi peradilan hukum keluarga berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi; perkawinan, kewarisan, sadaqah infaq dan wakaf yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Perkara perkawinan yang dimaksud ada 22 jenis, antara lain: 1) Izin beristeri lebih dari seorang, 2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat, 3) Dispensasi kawin, 4) Pencegahan perkawinan, 5) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah, 6) Pembatalan perkawinan, 7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri, 8) Perceraian karena talak, 9) Gugatan perceraian, 10) Penyelesaian harta bersama, 11) Mengenai penguasaan anak-anak, 12) Ibu dapat memilkul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya. 13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri, 14) Putusan tentang sah atu tidaknya sorang anak, 15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, 16) Pencabutan kekuasaan wali, 17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, 18) Menunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggalkan ke dua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya, 19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yatim ada di bawah kekuasaannya, 20) Penetapan asal-usul seorang anak, 21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, dan 22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Yurisdiksi peradilan agama dalam bidang waris ialah hal-hal penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Perkembangan baru dari Peradilan Agama di Indonesia, kini sudah dalam satu atas dengan semua lembaga peradilan, dimana sebelum berlakunya UU No 4 Tahun 2004, peradilan agama secara administrasi umum berada di bawah Deaprtemen Agama dan teknis yuridis berada di bahwa Mahkamah Agung RI. Setelah diberlakukannya UU Mo 4 Tahun 2004 kini peradilan Agama baik secara administrasi umum maupun yuridis di bahwa pembinaan Mahkmah Agung RI. Termasuk di dalamnya perluasan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah atau ekonomi Islam.

Di Mesir yurisdiksi peradilan mulai 1874 telah menerima yurisdiksi atas kasus-kasus sipil dan komersial antara orang mesir dan orang-orang asing, antara orang asing yang mempunyai kebangsaan berbeda, atau ketika kepentingan asing terlibat di dalamnya.

Pengadilan nasional Mesir yang diorganisasi pada 1884, berfungsi seiring dengan pengadilan campuran. Masalah stutus personal tetap dilimpahkan kepada pengadilan syariat. Pemerintah melakukan pengaturan organisasi pengadilan syariat dan kualifikasi para hakimnya. Untuk itu pemerintah membangun sekolah baru untuk pendidikan dan pelatihan hakim pada tahun 1907. Sementara itu, berbagai pengadilan millah tetap dipertahankan hidup. Pengadilan ini mempunyai yurisdiksi guna melayani kasus-kasus yang berhubungan dengan komunitas religius non-muslim sebagai forum untuk menyelesaikan perselisihan status personal mereka; ini berada di luar pengaturan negara. Tetapi baru tahun 1955 Mesir menyatukan sistem peradilannya, yang meletakkan semua perkara hukum di bawah kewenangan pengadilan nasional. Akan tetapi dalam kasus-kasus status personal hukum yang diberlakukan masih ditunjukkan oleh afiliasi religius pihak-pihak yang berselisih.

Dari Undang-undang Dasar Republik Arab Mesir tahun 1980 disimpulkan bahwa Mesir adalah negara sosialis demokratis. Islam merupakan agama negara, prinsip-prinsip hukum Islam merupakan salah satu sumber utama hukum. Sistem hukum di Mesir dalam bidang-bidang tertentu seperti perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan masih berlaku hukum Islam cukup utuh, sedangkan bidang-bidang perdata yang lain dan pidana. Prinsip hukum Islam (hanya) merupakan salah satu sumber utama hukum disamping sumber-sumber yang lain termasuk hukum barat .

Di Turki yurisdiksi yang berhubungan dengan hukum keluarga (ahwal asy syahsiyah) menjadi yurisdiksi Mahkamah Syari’ah. Materi hukum tersebut diambil dari Majjalat al Ahkam al ‘Adliyah sebagai hukum materiil.
.
E. Hukum Materiil (Fikih), Hukum Formil/Acara dan Keberanjakannya
Dalam fikih perceraian disebut dengan istilah talak, yaitu perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum putusnya hubungan perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri yang sah. Dalam fikih perceraian dapat terjadi dengan berbagai macam kondisi yang sangat sederhana dan begitu mudahnya sehingga gurauan saja dalam fikih dapat menyebabkan seseorang bercerai dari isterinya. Selain itu talak seakan-akan hanya menjadi hak mutlak suami untuk menjatuhkannya, sedangkan isteri tidak dapat berkutik dan berbuat apapun meskipun menderita dalam perkawinannya. Fikih juga menjelaskan bahwa talak bisa dilakukan dimana saja. Sehingga demikian mudahnya orang untuk memutuskan hubungan perkawinan padahal resikonya adalah terlantarnya anggota keluarga yang ditinggalkan akibat perceraian tersebut.

Masalah ini menjadi keprihatinan pada masa sekarang dimana tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan rahmah, saling asah, asih dan asuh sesama anggota keluarga.
Perceraian barangkali merupakan bidang hukum yang terpenting dalam pembaharuan hukum. Di antara perubahan-perubahan pokok yang disahkan adalah diperbanyaknya alasan-lasan yang membolehkan wanita menunutut perceraian (talak) dari suami dan pembatasan hak suami untuk menjatuhkan talak secara sepihak, perceraian harus di hadapan pengadilan.

Pencatan perkawinan. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam kitab-kitab fikih belum ada – untuk menyatakan tidak ada – yang membicarakan pentingnya pencatatan oleh petugas yang diserahi wewenang oleh pemerintah yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN) untuk orang Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi selain pemeluk Islam.
Tujuan pencatatan perkawinan adalah sebagai langkah perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan salah satu pihak, terutama pihak perempuan. Dalam konteks inilah negara sebagai kepanjangan tangan dari realisasi konsep ulil amri berkewajiban mempersiapkan peraturan perundang-undangan untuk menjaga kepentingan rakyatnya guna mewujudkan kemaslahatan.

Perceraian harus dilakukan di depan Pengadilan. Hak untuk menceraikan isteri dalam fikih klasik menjadi hak dan wewenang suami di mana saja dapat dilakukan. Anggapan ini berangsur-sangsur berubah dimana perkawinan adalah sebuah perjanjian suci, yang perlu dipertahankan keutuhannya. Dan isteri juga memiliki hak untuk menuntut cerai, jika suami melakukan tindakan sewenang-wenang. Yang jauh lebih penting sesungguhnya adalah agar masing-masing memahami tugas, fungsi dan tanggungjawabnya.

F. Pelaksanaan Hukum Islam dalam Sistem Peradilan
Menurut J.N.D. Anderson tipologi pembaharuan Hukum Islam di kawasan dunia muslim ada tiga corak, yaitu (1) negera-negara yang masih menganggap Syari’ah sebagai hukum dasar dan masih dapat diterapkan seluruhnya, (2) Negara yang membatalkan hukum Syari’ah dan telah menggantinya dengan hukum yang seluruhnya sekuler (Hukum Barat) dan (3). Negara yang menempuh jalan kompromi antara Syari’ah dan Hukum sekuler . Adapun negara yang termasuk kategori pertama adalah Saudi Arabia, kategori kedua adalah Turki dan kategori yang ketiga negara seperti Mesir, Tunisia, Pakistan dan Indonesia.

1. Turki
Turki dikenal sebagai negara muslim sekuler pertama sebagai salah satu negara pengganti yang tercipta dari reruntuhan Kesultanan Utsmaniah setelah perang dunia pertama. Turki mengumumkan jati dirinya sebagai negara republik pada oktokber 1923. Pembatalan syariat dan pengambilan sebuah sistem hukum sekuler berdasarkan aturan-aturan Hukum Barat, serta pendeklarasian sebuah republik sekuler pada tahun 1928 merupakan penyimpangan radikal dari tradisi.

Turki baru didominasi oleh kaum muslim dengan jumlah kaum non-muslim hanya 2,6 persen dari jumlah penduduk pada tahun 1927. Pada saat dimulainya revolusi, pemerintahan Mustofa Kemal Attaturk memang mendeklarasikan akan diberlakukannya undang-undang baru yang bersumber dari warisan Islam Turki, tetapi setelah program tersebut berjalan beberapa bulan, perbedaan pendapat di antara anggota komite (legislatif) tidak habis-habisnya untuk merumuskan tujuan ini, pemerintah kehilangan kesabarannya. Pada saat inilah mereka menetapkan untuk membawa negaranya ke dunia Barat bukan ke Timur. Secara drastis mereka mengambil alih Hukum Eropa.
Pada tahun 1926 Hukum Swiss ditetapkan sebagai pengganti Syari’ah termasuk hukum keluarga; monogami ditetapkan sebagai pengganti poligami, dan perceraian atas ketetapan hakim, berdasarkan alasan-alasan tertentu yang sama bagi suami atau isteri yang berperkara diterapkan sebagai pengganti talak yang dijatuhkan secara sepihak oleh pihak suami atau yang dijatuhkan atas kesepakatan kedua suami isteri yang bersangkutan.

Lebih dari itu sekularisasi di Turki bukan saja dalam bidang institusi, tetapi juga dalam bidang kebudayaan. Pada tahun 1924 jabatan khalifah dihilangkan, jabatan syaikhul Islam dihapuskan, dan kemudian disusul dengan penghapusan mahkamah-mahkamah Islam . Dengan kata lain yurisdiksi peradilan agama dibatasi.

2. Mesir
Mesir, agama berperan besar di Mesir dewasa ini. Hampir 90 persen dari kira-kira 61 juta penduduk Mesir modern adalah muslim sunni .
Di Mesir Undang-undang No. 44 tahun 1979 dikeluarkan melalui dektrit persiden yang mengamandemen Undang-undang 1920 dan 1929. Pernyataan talak oleh suami harus dicatat dan pemberitahuan talak harus diberikan kepada isteri. Perceraian tidak terjadi jika pemberitahuan belum sampai kepada isteri. Jika isteri memohon cerai ke pengadilan, yang diurus oleh arbritor, pengadilan berwenang mengakhiri pernikahan meskipun isteri harus membayar kompensasi .
Reformasi hukum status personal dikukuhkan oleh Dekrit Presiden Anwar Sadat 1979, antara lain yaitu; hukum menghilangkan hak suami untuk memaksa isterinya yang tidak patuh untuk kembali ke rumah orang tuanya, menuntut agar suami mendaftarkan talak dan memberi tahun kepada isterinya bahwa ia dicerai, memperbolehkan isteri pertama untuk meminta perceraian dengan alasan pengambilan isteri kedua oleh seorang suami, dan menjunjung tinggi hak isteri dalam masalah pemeliharaan, pengasuhan anak dan pembagian harta pasca cerai.

Bahkan reformasi seperti itu menyulut reaksi balik kaum konservatif. Pada tahun 1985, Pengadilan Konstitusional Tinggi Mesir menyatakan bahwa cara pemakluman undang-undang itu tidak konstitusional. Hal ini menimbulkan kekecewaan besar terhadap gerakan feminis Mesir yang sedang tumbuh. Setelah Undang-undang tahun 1979 dalam upaya mendamaikan kedua belah pihak, diberlakukan undang-undang kompromi yang mecairkan reformasi tahun 1979 oleh Majelis Rakyat .

3. Indonesia
Indonesia merupakan negara yang jumlah mayoritas penduduknya beragama Islam, namun konstitusi negaranya tidak menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi sebagai negara yang mengakui otoritas agama dalam membangun karakter bangsa. Sehingga Indonesia mengakomodir hukum-hukum agama sebagai sumber legislasi nasional, selain Hukum Adat, dan Hukum Barat.

Indonesia bila merujuk identifikasi tipologi pembaharuan hukum Islam merupakan tipologi yang ketiga, sebab menempuh jalan kompromi antara syariah dan hukum sekuler. Hukum keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu pada kitab-kitab fikih klasik, fikih modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan (yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia. Pengambilan terhadap Hukum Barat sekuler memang tidak secara langsung dapat dibuktikan, tetapi karena di Indonesia berjalan cukup lama Hukum Perdata (Burgelijk Wetbook) yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata (Reglemen Indonesia yang diperpaharui) warisan Belanda, dan hukum-hukum lain, berdasarkan asas konkordansi, adanya pengaruh hukum Barat yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Seperti halnya bidang pencatatan dalam perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat dan sebagainya.
Persoalan pencatatan dalam fikih klasik bukan menjadi sesuatu yang signifikan bila dibandingkan dengan tolok ukur kehidupan modern saat ini, akan tetapi bila idea moral mengacu kepada semangat al Qur’an sangat jelas sekali bahwa al Quran secara langsung memerintahkan perlunya sistem administrasi yang rapi dalam urusan hutang piutang maupun transaksi perjanjian, sehingga masalah yang berhubungan dengan perbuatan hukum seseorang seperti perkawinan, kewarisan, perwakafan yang mempunyai akibat hukum lebih kompleks, pencatatan mempunyai peran yang lebih penting.

Indonesia merupakan negara yang mayoritas muslim di dunia, sedangkan madzhab fikih yang paling dominan adalah madzhab Syafi’i.

G. Kesimpulan
Pembaharuan hukum keluarga Islam di negara-negara muslim khususnya Turki, Mesir dan Indonesia mempunyai corak atau tipologi yang berbeda, meskipun ada perbedaan dan kesamaan di sana-sini.
Perbedaan itu adalah Turki masuk dalam kategori negara yang membatalkan hukum Syari’ah dan menggantinya dengan hukum yang seluruhnya sekuler atau berasal dari Hukum Barat. Sedangkan Mesir dan Indonesia masuk dalam kategori negara yang menempuh jalan kompromi antara syari’ah dan hukum sekuler.

Sedangkan kesamaan pembaharuan hukum keluarga merupakan upaya untuk mengatur sistem hukum keluarga yang lebih manusiawi sejalan dengan tujuan syari’ah agar kehidupan di dunia ini lebih lestari dan membawa kebahagiaan bagi umat manusia, serta menjaga nilai-nilai secara baik di tengah masyarakat. Sebagaimana tujuan untuk mempersulit terjadinya perceraian dengan harapan terjaminya hak-hak setiap individu dalam keluarga dapat menjaga kehormatan dan hak asasinya.

Upaya tersebut dengan pencatatan maupun perceraian harus di depan pengadilan maupun didaftarkan. Sedangkan tujuan pembaharuan dalam bidang hukum keluarga Islam adalah meningkatkan status atau kedudukan kaum wanita dan memperkuat hak-hak para anggota keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Basri,Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, cetakan II
_____________, Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998, Cetakan I
_____________, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: PT. Rosdakarya, 1997, cetakan I
Calder, Norman, “Hukum: Pemikiran Hukum dan Yurisprudensi dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000, jilid 5, hlm. 191-199
Donoue, Ohn J., Esposito, John L., Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, Penerjemah Machnun Husein, Penganta M. Amin Rais, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994, cetakan IV.
Doumanto, Eleanor Abdella, “ Pernikahan dan Perceraian: Paraktik Modern” dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000, jilid 5, hlm. 346-350
Al-Hibri, Azizah Y., “ Pernikahan dan Perceraian: Landasan Hukum”, dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000, jilid 5, hlm. 343-346
Hooker, M.B., Undang-Undang Islam di Asia Tenggara, Penerjemah Rohani Abdul Rahim, Raja Rohana Raja Mamat, Anisah Che Ngah, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid fi Nihayat al Muqtasyid, Syirkah al Nur Asia: Tanpa Tempat, Tanpa Tahun
Lev,Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3ES, 1990
_____________, Peradilan Agama Islam Di Indonesia Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, Jakarta: Penerbit Intermasa,1980, cetakan I
Mackeen, Abdul Majeed Nohamed, “The Syari’ah Law Courts in Malaya”, dalam Readings on Islam in Southeast Asia, Compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yasmin Hussain, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies Heng Mui Keng Terrace, 1990, cetakan I
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World, N.M. Tripahti Pvt.: New Delhi, 1972
______________, Personal Law In Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987
Masrani, “Perjanjian Perkawinan (Taklik Talak) dalam Perkawinan Islam di Indonesia Pasca Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, K.H.I (Inpres No. Tahun 1991 dan UU No. 7 Tahun 1989)” dalam Jurnal Hukum Islam Volume No. 2 Nomor 2 tahun 2000, hlm. 77-83
Mayer, Ann Elizabeth, “Hukum: Reformasi Hukum Modern” dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000, jilid 5, hlm. 209-218
Mudzhar,M. Atho Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, cetakan I
Nafis, Muhammad Wahyuni dkk. (ed.) ,Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof.Dr.H. Munawir Sadjzali, MA., Jakarta: Paramadina, 1995, cetakan I
Pearl, David Stephen, “Keluarga, Hukum” dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000, jilid 6, hlm. 159-163
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Pengantar K.H. M.A. Sahal Mahfudh, Yogyakarta: Gama Media, 2001, cetakan I
Sachedina, Abdulaziz “Hukum: Mazhab-Mazhab Syi’ah” dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000, jilid 5, hlm. 207-209
Shiddieqy, T. M. Hasbi As Peradilan dan Hukum Acara Islam, Bandung : PT. Alma’arif, 1964
Syamsuhadi, Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2000, cetakan II.
Taufiq, “Prospek Peradilan Agama” dalam Jurisdiksi, Jakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah, Edisi I/Tahun I 1996, hlm. 24-29.
Tebba, Sudirman, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Penerjemah Hendro Prasetyo, Bandung: 1993, cetakan I
Ullah, Al-Haj Muhammed, The Administration of Justice in Islam An Introduction to The Muslim Conception of The State, New Delhi: Nusrat Ali Nasri fo Kitab Bhavan, 1990, Third Edition.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2001, cetakan I
Ziadeh, Farhat J. “Hukum: Mazhab-Mazhab Hukum Sunni” dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), Bandung: Mizan, 2000, jilid 5, hlm. 199-207
Rasyidi, Lilik, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaisia dan Indonesia, Bandung: Rosyda Karya, 1996, Cetakan I
Jurnal Al Ahkam Volume 6, Nomor 2, September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar